showpoiler-logo

Sinopsis dan Review Film Netflix Vampires VS The Bronx

Ditulis oleh Dhany Wahyudi
Vampires VS The Bronx
3.3
/5
showpoiler-logo
PERHATIAN!
Artikel ini mengandung spoiler mengenai jalan cerita dari film/drama ini.

Tiga remaja bersahabat dari Bronx berjuang untuk menyelamatkan daerahnya dari gentrifikasi dan vampire. Jaden Michael, Gerald W. Jones III dan Gregory Diaz IV membintangi horror comedy karya Oz Rodriguez, peraih Emmy Awards dari film dokumenter Creating Saturday Night Live [2016].

Vampires vs. the Bronx adalah salah satu original film Netflix yang menambah khazanah komedi tentang vampire. Meski miskin secara orisinalitas dan seperti potongan adegan dari film-film sejenis sebelumnya, tetapi film ini memberikan angin segar dalam celetukan khas warga Bronx dan akting memikat dari para aktor mudanya.

Sebelum kalian menontonnya di layar Netflix, boleh baca ulasan kami berikut ini tentang film yang dipuji oleh banyak kritikus ini.

Sinopsis

Vampires VS The Bronx (2020)

Tiga remaja bersahabat, Miguel (Jaden Michael), Bobby (Gerald W. Jones III), dan Luis (Gregory Diaz IV), berusaha menyelamatkan daerah mereka dari pembelian properti oleh perusahaan besar yang membeli banyak toko, apartemen, dan lainnya untuk dialihkan menjadi usaha baru pemiliknya. Cara mereka adalah mengadakan pesta musik untuk menggalang dana demi menyelamatkan bodega milik Tony.

Miguel menangkap banyak keanehan dalam bisnis properti ini, salah satunya adalah hanya satu perusahaan yang menjadi pemilik barunya. Selain itu hadir beberapa warga baru dari kota besar yang pindah ke daerah mereka. Dan akhirnya pada suatu malam, dia menyaksikan seorang anggota gang dibunuh oleh vampire yang kemudian mengikutinya hingga ke bodega.

Luis, yang disebut Harry Potter Puerto Rico, ternyata memiliki wawasan yang cukup luas tentang vampire yang sebagian besar referensinya dia dapat dari film. Blade [1998] adalah salah satu referensi utama yang mereka tonton bersama di bodega sebagai bahan persiapan menghadapi para vampire.

Berkali-kali mereka berusaha mencari informasi dan menyelidiki sendiri tentang kelompok penghisap darah ini. Pada akhirnya, bodega milik Tony sudah diberi tanda oleh pemilik barunya yang justru semakin memicu rasa penasaran mereka.

Terlebih lagi Tony tidak diketahui kabarnya. Meminta bantuan warga sekitar yang lebih dewasa, tidak membuahkan hasil. Malah mereka menjadi bahan lelucon karena bukti video yang mereka perlihatkan tidak menampakkan sosok vampire sama sekali.

Setelah mengetahui rencana para vampire untuk menguasai Bronx, mereka bertiga menyusun rencana untuk menyerang sarang vampire dan memusnahkannya. Berbagai usaha mereka lakukan demi melengkapi senjata untuk penyerangan, salah satunya adalah mencuri air suci dari gereja. Akhirnya satu-persatu vampire mereka kalahkan dan Bronx kembali hidup tanpa ada ancaman lagi.

Tidak Orisinil, tapi Tetap Menarik

Tidak Orisinil, tapi Tetap Menarik

Vampires vs. the Bronx tampil seperti potongan beberapa adegan dari film bertema vampire dan sejenisnya. Banyak sekali referensi yang ditampilkan di film, apabila kita mencermatinya dengan baik. Beberapa di antaranya akan kami paparkan secara singkat.

Perusahaan milik klan vampire bernama Murnau Properties, diambil dari nama sutradara film Nosferatu [1922], F.W. Murnau. Logo perusahaan bergambar Vlad the Impaler, yang menjadi sosok inspirasi film-film Dracula, salah satunya adalah Bram Stoker’s Dracula [1992]. Sedangkan penampilan para vampire hampir serupa dengan klan vampire di film franchise Underworld.

Aksi klan vampire, terutama dalam memangsa korban, terinspirasi dari serial TV Buffy the Vampire Slayer. Cara mereka musnah ketika ditusuk kayu tajam ke jantungnya seperti yang ditampilkan di film franchise Blade. Dan buku yang dibaca Luis di awal film, Salem’s Lot, menceritakan tentang bagaimana vampire mengambil alih kota umat manusia.

Meski banyak sekali referensi yang ditampilkan dan miskin orisinalitas, tetapi Vampires vs. the Bronx memiliki kekuatan pada celetukan ringan nan lucu dari para aktornya. Mungkin gaya bicara seperti ini adalah khas warga Bronx pada umumnya, karena di beberapa film tentang Bronx lainnya memiliki gaya bicara yang sama.

Tapi ada satu hal yang bisa jadi adalah ide orisinil dari film ini, yaitu motivasi klan vampire membeli banyak toko dan apartemen di Bronx serta membunuh para pemilik sebelumnya.

Motivasi membunuh mereka adalah karena tidak ada yang peduli dengan orang-orang yang hilang di Bronx, dikarenakan tingkat kriminalitas di sana sangat tinggi, maka tidak heran jika orang hilang atau mati seolah sudah biasa.

Hadirnya Seluruh Elemen Film Tentang Vampire

Hadirnya Seluruh Elemen Film Tentang Vampire

Sosok vampire di film ini memiliki unsur yang sama dalam mayoritas film sejenis lainnya, yaitu makhluk ini hanya keluar di malam hari dan tidur di siang hari, takut akan sinar matahari, tidak tampak di kaca dan kamera, memakai pakaian berwarna hitam, lemah dengan adanya bawang putih, salib, dan air suci, serta mati/musnah ketika jantungnya ditusuk oleh kayu tajam. Tidak ada yang berbeda, cuma copy paste.

Tidak ada kemisteriusan baru tentang vampire yang ditampilkan, semua sesuai dengan konteks dan mudah ditebak. Bahkan ketika mereka memangsa para korbannya pun tidak ada sensasi baru yang terasa oleh kita, karena sudah pernah ditampilkan di film-film lainnya. Hanya saja, kali ini lawan mereka bukanlah Van Helsing atau ksatria berpengalaman, tapi hanya tiga remaja seumuran anak SMP.

Performa Akting yang Oke

Performa Akting yang Oke

Kelebihan Vampires vs. the Bronx adalah performa akting para pemerannya, terutama tiga aktor utamanya. Mereka bertiga tampil luwes tanpa beban dan sesuai dengan usia mereka. Kita bisa lihat betapa malunya Miguel ketika dipanggil oleh ibunya di depan gadis incerannya, feel yang dia tampilkan terasa nyata.

Dari ketiga aktor remaja ini, karir Gregory Diaz IV lebih terdepan, setidaknya dia pernah tampil di serial Netflix, Unbreakable Kimmy Schmidt di tahun 2018 silam. Sedangkan Jaden Michael, meski filmography-nya lebih panjang, dia lebih banyak berakting di film-film pendek. Dan Gerald W. Jones III pernah tampil memikat di film indie berjudul Benji the Dove [2018].

Selain itu, para pemeran dewasanya tampil cukup baik, meski seperti terasa kurang maksimal. Method Man yang berperan sebagai pastor, sepertinya meniru gaya Ice Cube, dan mungkin akan lebih baik jika Ice Cube sendiri yang memerankannya. Sarah Gadon sebagai Vivian dan The Kid Mero sebagai Tony tampil santai dan sesuai dengan kebutuhan.

Justru yang mencuri perhatian adalah kehadiran Zoe Saldana di awal film sebagai pemilik salon kecantikan yang tewas dibunuh oleh vampire. Meski hanya beberapa menit saja, Saldana mampu menampilkan akting serta dialog yang lucu dan menarik. Mungkin film ini akan bisa tampil lebih baik jika saja ada beberapa bintang “tamu” lainnya ikut dihadirkan.

Vampires vs. the Bronx memang bukanlah film serius yang mengejar kualitas, tetapi lebih berorientasi kepada hiburan belaka. Jika hanya untuk faktor fun, maka film ini sudah berhasil memenuhinya. Banyak lelucon dan kelucuan yang dihadirkan yang bisa membuat kita tersenyum, jika tidak bisa tertawa karena kurang referensi tentangnya.

Jangan berekspektasi lebih ketika menontonnya. Cukup duduk santai dengan beberapa kudapan untuk menonton film dengan durasi yang pas, yaitu 1 jam 25 menit saja. Dijamin tidak akan membuang waktu kita sia-sia, kita akan terhibur, dan setelahnya kita bisa melupakannya. Masukkan dulu di watchlist, dan tonton di waktu yang tepat.

cross linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram