showpoiler-logo

Sinopsis & Review Film The Boy in the Striped Pajamas

Ditulis oleh Yanyan Andryan
The Boy in the Striped Pajamas
3.5
/5
showpoiler-logo
PERHATIAN!
Artikel ini mengandung spoiler mengenai jalan cerita dari film/drama ini.

The Boy in the Striped Pajamas adalah film keluaran Inggris tahun 2008 yang ditulis sekaligus digarap oleh sutradara Mark Herman. Cerita filmnya sendiri berdasarkan sebuah novel dengan judul yang sama karya John Boyne. Dalam situs Rotten Tomatoes, film ini mendapatkan rating 64% dari 142 ulasan, dan meraih nilai 6.30/10.

Secara singkatnya, The Boy in the Striped Pajamas berlatar belakang saat Perang Dunia II, dan menyoroti kekejaman Nazi ketika mereka melakukan genosida di kamp Yahudi Eropa. Kengerian Holocaust tersebut kemudian diceritakan lewat sudut pandang dua anak laki-laki yang bernama Bruno, putra perwira Nazi, dan Shmuel, seorang tahanan Yahudi.

Baca juga: Sinopsis dan Review Film Dunkirk tentang Perang Dunia II

Sinopsis

Review The Boy in the Striped Pyjamas

Selama Perang Dunia II, Bruno tinggal di sebuah pedesaan Polandia yang diduduki oleh Nazi Jerman bersama dengan ayahnya, Ralf, seorang perwira Schutzstaffel (SS), dan ibunya yang bernama Elsa. Mereka pun tinggal jauh dari kota, dan hidup tanpa adanya tetangga. Bruno merasa kesepian, dan bosan karena tidak mempunyai teman bermain.

Di hutan belakang tempat tinggal Bruno, ada sebuah kamp konsentrasi Yahudi Eropa. Kedua orang tua Bruno pun melarangnya untuk bermain di sana. Di dalam rumah, guru Bruno yang bernama Herr Liszt, dan kakak perempuannya, Gretel, terlihat sangat fanatik terhadap Adolf Hitler, dan keduanya juga sangat membenci orang-orang Yahudi.

Bruno merasa heran atas propaganda keduanya karena Pavel, orang Yahudi yang menjadi pembantu di keluarganya, bukanlah orang jahat seperti yang mereka katakan.

Suatu hari, karena ia benar-benar merasa bosan, Bruno memberanikan diri untuk menyelinap ke hutan belakang. Ia kemudian tiba di sebuah kamp dengan pagar kawat berduri mengelilingi tempat tersebut.

Di sana, ia bertemu dengan seorang anak laki-laki berkepala pelontos bernama Shmuel. Keduanya pun berkenalan, dan menjadi teman akrab. Akan tetapi, Bruno, dan Shmuel belum mengetahui tentang fakta sebenarnya yang ada di dalam kamp konsentrasi tersebut. Hampir setiap hari, keduanya bertemu untuk saling mengobrol dan bercerita.

Bruno juga selalu membawa makanan untuk Shmuel, dan mereka kerap bermain catur meski terhalang oleh pagar kawat.

Pada awalnya, Bruno beranggapan jika baju bergaris yang sering dikenakan oleh Shmuel, Pavel, dan seluruh orang yang ada di kamp adalah pakaian piyama mereka. Pada akhirnya, Bruno mengetahui Shmuel adalah seorang Yahudi yang dibawa ke kamp bersama orang tuanya.

Sementara itu, Elsa melihat asap hitam membumbung tinggi di kamp konsentrasi. Rekan kerja Ralf, Letnan Kurt Kotler, mengatakan kepadanya bahwa asap tersebut berasal dari orang-orang Yahudi yang dibakar di dalam kamp. Elsa pun sangat terkejut dengan tindakan itu, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa.

Beberapa waktu kemudian, Shmuel sedang bekerja di rumahnya Bruno seorang diri. Bruno melihatnya temannya itu, dan ia langsung menawarinya kue.

Saat keduanya tengah mengobrol, Kotler datang dan membentak Shmuel secara kasar karena mengambil makanan tersebut. Bruno yang ketakutan kemudian terpaksa berbohong, dan mengaku kepada Kotler jika ia tidak mengenal Shmuel sama sekali.

Setelah dari situ, Bruno mencoba meminta maaf dengan terus datang ke kamp, namun Shmuel tidak pernah muncul lagi selama beberapa hari. Akhirnya, Bruno bisa bertemu kembali dengan Shmuel, yang kini wajahnya lebam karena terkena luka pukul. Shmuel kemudian memaafkan atas perkataan Bruno, dan mereka tetap berteman seperti biasa.

Singkat cerita, Bruno mencoba masuk ke dalam kamp untuk membantu Shmuel mencari ayahnya yang menghilang. Ia lalu memakai pakaian bergaris seperti Shmuel, dan menggunakan topi untuk menutupi rambutnya yang tidak pelontos.

Saat berada di sana, Bruno melihat banyak orang-orang Yahudi yang sedang sakit parah dengan kondisi yang memprihatinkan.

Keduanya bersama dengan tahanan lain kemudian digiring oleh petugas Nazi ke sebuah ruangan tempat pemusnahan orang Yahudi.

Di lain sisi, Elsa, Gretel, dan Ralf dengan anak buahnya berusaha mencari Bruno yang menghilang. Mereka kemudian menuju kamp konsentrasi, dan Elsa pun menangis histeris setelah mengetahui anaknya menjadi korban genosida.

Menyuguhkan Realitas tentang Genosida

Menyuguhkan Realitas tentang Genosida

Menonton film The Boy in the Striped Pajamas mampu membuat kita bereaksi secara emosional. Film ini berjalan cukup mengharukan, dan juga benar-benar terasa tragis.

Alur ceritanya sendiri menggabungkan persahabatan yang hangat antara Bruno, dan Shmuel dengan fakta menyedihkan tentang pembunuhan massal orang-orang Yahudi Eropa.

Selama 90 menit, The Boy in the Striped Pajamas terlihat sangat mengesankan, dan perspektif anak-anak yang dibawa film ini membuat keseluruhan cerita menjadi bermakna.

Lewat pendekatan tersebut, Bruno memimpin jalan ceritanya dengan bertindak sebagai karakter anak kecil yang polos, dan nampak tidak memahami kenapa orang-orang disekitarnya membenci orang-orang Yahudi.

Potret kehidupan sehari-hari Bruno sebagai seorang anak tidak sebahagia yang ia bayangkan. Ia tampak tidak menyadari kenyataan mengerikan yang terjadi di lingkungan rumahnya. Ada diskriminasi, kekerasan, dan juga penghinaan yang belum Bruno pahami selama ini.

Kamp konsentrasi yang ia lihat adalah bentuk kekejaman tersebut, dan sebagai seorang anak kecil ia masih belum memahaminya secara pasti.

The Boy in the Striped Piyama mencoba memberikan konteks sejarah untuk mengingatkan kita terhadap realitas mengerikan dari peristiwa genosida selama Perang Dunia II.

Fakta sejarah tersebut lalu dibingkai secara menawan lewat sudut pandang perjalanan karakter Bruno, dan Shmuel. Dengan ending cerita yang memilukan, kita harus pasrah karena film ini berakhir dengan cara yang menyayat hati.

Karakter Dibangun Cukup Mendalam

Karakter Dibangun Cukup Mendalam

The Boy in the Striped Pajamas terasa lebih mendalam karena semua karakter dibangun secara apik, dan diberikan detail kepribadian yang jelas.

Perkembangan para karakter tersebut kemudian didukung oleh akting yang luar biasa dari setiap pemeran yang terlibat. Semua pemeran, baik karakter utama maupun pendukung, sama-sama tampil solid, dan menjadi satu kesatuan yang hebat.

Saat film tayang, Asa Butterfield (Bruno), Amber Beattie (Gretel) dan Jack Scanlon (Shmuel), masih berusia kanak-kanak. Namun, mereka mampu menunjukkan kinerja yang luar bisa untuk karakter yang dimainkan.

Ketiganya memberikan kepribadian yang meyakinkan terhadap peran yang dilakoni, dan kita bisa merasa iba terhadap perjalanan Bruno, Gretel, dan Shmuel.

Kepolosan, dan kehangatan karakter Bruno, dan Shmuel terasa sangat jujur serta sederhana. Selain itu, Vera Farmiga juga memberikan penampilan yang memilukan sebagai Elsa, ibunya Bruno.

Menjelang film berakhir, kita bisa melihat kesehatan mental Elsa lambat laut mulai merosot, dan menjadi lebih parah saat mengetahui Bruno ikut berada di ruang pemusnahan masal.

Adegan tersebut sungguh menjadi momen yang menyedihkan, dan emosi karakter Elsa terlihat meledak-ledak dalam keadaan marah, ketakutan hingga batinya pun terluka.

Karakter lainnya seperti Ralf (David Thewlis), Kurt Kotler (Rupert Friend), dan Pavel (David Hayman) terlibat dalam peran yang penting untuk membuat The Boy in the Striped Pajamas berjalan istimewa.

Film tentang Genosida yang Patut Ditonton

Film tentang Genosida yang Patut Ditonton

Selain The Boy in the Striped Pajamas, ada beberapa film yang menggambarkan tentang kekejaman Nazi terhadap orang Yahudi Eropa seperti Schindler's List (1993), dan The Pianist (2002). Kedua film itu tampil sangat baik, dan sama-sama membawa cerita yang mengharukan.

Meski sepenuhnya tidak berdasarkan kisah nyata, tetapi film ini juga tampil mumpuni, dan tidak bisa diremehkan begitu saja.

Secara simpulannya, The Boy in the Striped Pajamas rasanya menjadi film terbaik yang pernah digarap oleh sutradara Mark Herman. Film ini cukup mampu memberikan visual sinematografi yang fantastis, dan juga muram.

Lalu, narasi ceritanya pun terasa emosional menyentuh hati, dan tingkat realitas dalam penggambaran kekejaman genosida diperlihatkan dengan cukup meyakinkan.

Film ini bukan saja memberikan jalan cerita yang menarik perhatian, dan perasaan, namun juga para pemainnya tampil memikat untuk membuat kita selalu terkesima. The Boy in the Striped Pajamas pun menjadi film istimewa yang tidak boleh dilupakan dalam daftar tontonan kalian. Selamat menonton!

cross linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram