showpoiler-logo

Review dan Sinopsis Kisah Tanah Jawa: Pocong Gundul

Ditulis oleh Suci Maharani R
Kisah Tanah Jawa: Pocong Gundul
3.7
/5
showpoiler-logo
PERHATIAN!
Artikel ini mengandung spoiler mengenai jalan cerita dari film/drama ini.

Bagi para pecinta kisah horor, sosok Om Hao pasti tidak asing lagi. Cerita-cerita horor yang bisa kamu tonton di youtube atau baca dari novel karya Om Hao ini akhirnya diangkat ke layar lebar. 

Diproduksi oleh MD Pictures, film ini diarahkan dengan cukup baik dan memuaskan oleh Awi Suryadi. Duet antara Deva Mahenra dan Della Dartyan unexpectedly sangat memuaskan dan klop. Namun, dari sisi kualitas, ada beberapa hal yang membuat saya tertawa getir saat menonton filmnya. 

Lantas, hal apa saja yang membuat film Kisah Tanah Jawa: Pocong Gundul ini worth untuk ditonton? Simak sinopsis film dan ulasan lengkapnya di bawah ini!

Sinopsis

Sinopsis_

Berlatar di tahun 2013, hari itu Hao (Deva Mahenra) baru menyelesaikan kelas retrokognisi bersama sahabatnya, Rida (Della Dartyan). Tidak berselang lama setelah kelas di tutup, sepasang suami istri tiba-tiba mendatangi mereka. 

Ibu (Joanna Dyah) dan Bapak Sujatmiko (Muhammad Abe Baasyin) nampak cemas dan ragu saat menghadapi Hao. Mereka bertanya, jika Hao benar-benar mampu menggunakan kemampuan retrokognisinya, apakah dia bisa membawa mereka kembali ke dua hari yang lalu, sebelum anak perempuan mereka menghilang.

Sari (Nayla D. Purnama) adalah siswi SMA Budi Pertiwi. Namun, Sari tidak kunjung pulang ke rumahnya sejak dua hari yang lalu. Tidak ada satu pun yang tahu keberadaan Sari, seorang guru hanya mengatakan dia melihat gadis itu berada di sekolah setelah maghrib. 

Meski sempat ragu, akhirnya Hao bersedia untuk menolong Ibu dan Bapak Sujatmiko untuk mencari keberadaan Sari. 

Sinopsis 2_

Malam itu, Hao, Rida, bersama Ibu dan Bapak Sujatmiko mendatangi sekolah Sari. Diarahkan oleh salah satu guru, mereka datang ke kelas Sari dan di sanalah Hao memulai ritual retrokognisinya. 

Lewat benda-benda milik Sari, akhirnya Hao berhasil menemukan keberadaan gadis itu. Sari berada di sebuah sumur tua yang berada di balik pohon besar, yang lokasinya berada di belakang sekolah. Namun, yang membuat Hao kurang nyaman adalah sosok yang membawa Sari ke dalam sumur. 

Sosok itu adalah Pocong, tetapi wujudnya tidak seperti urban legend Pocong pada umumnya. Bagian kepala Pocong ini tidak terikat dengan tali; sebaliknya, kepala Pocong tersebut gundul. Kepalanya terlihat seperti tengkorak membusuk dengan dua taring kecil di pinggiran bibirnya. 

Setelah hari itu, Hao berpikir kisah Sari dan Pocong itu telah usai. Nyatanya, ini adalah awal dari teror yang hampir memakan nyawa Hao dan Sari. 

Setelah menyelamatkan Sari dari sumur, Hao kerap diteror oleh seorang pria berkepala plontos. Dalam mimpinya, pria itu menunjukkan sebuah papan nisan bertuliskan nama Hao. Bahkan, Hao dimasukkan ke sebuah liang lahat dan hampir dikubur hidup-hidup. 

Sinopsis-4_

Dari pengakuan Sari, Hao mengetahui kalau kasus hilangnya siswi di SMA Budi Pertiwi bukanlah kejadian pertama. Rupanya sudah ada dua korban lain yang hingga kini belum ditemukan. 

Hao pun memulai penelusurannya mengenai kasus hilangnya para siswi dan hubungannya dengan sosok Pocong Gundul yang dilihatnya. Dia pun bertemu dengan Pak Saman (Pritt Timothy), pensiunan penjaga sekolah SMA Budi Pertiwi. 

Pak Saman akhirnya mengakui dosa-dosanya di masa lalu. Menurut penuturannya, dulu dia pernah berguru pada seorang dukun sakti bernama Walisdi (Iwa K). Ketika aksi Walisdi diketahui oleh pihak berwajib, untuk menghindari hukuman mati, sang dukun memutuskan untuk melakukan ritual terlarang. 

Bersekutu dengan Banaspati, Walisdi melakukan ritual untuk hidup abadi. Persekutuan dan ritual inilah yang membuat Walisdi hidup abadi sebagai Pocong Gundul.

Pak Saman tidak menyangka, setelah bertahun-tahun, di atas kuburan Walisdi malah dibangun sebuah sekolah. Dua gadis yang menghilang tersebut adalah tumbal untuk membangkitkan kekuatan Walisdi. Setiap 10 tahun sekali, Pocong Gundul akan mencari tumbal yang berweton Selasa Kliwon seperti dirinya dan Sari.

Story Telling yang Memuaskan

Slow Burning, Story Telling-nya Memuaskan_

Sebenarnya saya tidak memiliki ekspektasi yang berlebihan untuk Kisah Tanah Jawa: Pocong Gundul ini. Seperti kebanyakan adaptasi yang dilakukan oleh MD Picture, selalu saja ada perubahan karakter, latar, bahkan cerita yang bikin saya kecewa. Namun, ada pengecualian untuk film ini karena saya sangat menyukai gaya story telling-nya.

Diarahkan oleh Awi Suryadi, saya yakin sang sutradara dan penulis skenario sangat memahami kisah Pocong Gundul.

Pembukanya berlatar di Yogyakarta tahun 1983, memaparkan kisah singkat mengenai sebuah ritual pemocongan yang tengah dilakukan oleh sejumlah orang. Plot ini dipotong di bagian yang pas, memperlihatkan pembukaan tali pocong di bagian kepala seseorang tanpa mengungkapkan wajah orang tersebut. Bikin penasaran, bukan? 

Plotnya loncat ke tahun 1996, tahun paling menyedihkan karena kakek Hao yang juga memiliki kemampuan retrokognisi meninggal dunia setelah gagal kembali ke raganya. Setelah itu, latar ceritanya beralih ke tahun 2013 ketika Hao bertemu dengan Sari dan Pocong Gundul.

Di sini satu persatu karakter diceritakan dan dikembangkan dengan sangat baik. Karakter Hao yang awalnya hanya tertarik dengan sejarah, perlahan-lahan menemukan passion baru yaitu membantu masyarakat lewat kemampuan retrokognisinya. 

Lalu, Rida yang diperankan oleh Della Dartyan adalah karakter yang paling saya sukai. Sosok Rida bagaikan cahaya kecil di balik kegelapan. Celetukannya sangat lucu dan berhasil membuat penonton lebih rileks setelah lelah dengan jumpscare yang disuguhkan film.

Si Pocong Gundul alias dukun bernama Walisdi juga punya background story yang kuat dan jelas. Flashback yang ditampilkan sangat fokus dan tidak bertele-tele. Sayangnya, kelanjutan kisah Sari dan keluarganya justru tidak diberikan penyelesaian yang memuaskan. Padahal, Sari adalah awal dari segalanya, dan seharusnya ada sedikit plot yang menjelaskan nasibnya.  

Alurnya juga slow burning, jadi pelan-pelan kamu akan dibuat tegang dengan berbagai fakta yang ditemukan Hao mengenai si Pocong Gundul. Di bagian ending, usaha Hao untuk menghentikan teror si pocong secara drastis meningkatkan kesan horor dan ketegangan.

Efek Visual Khas MD Picture yang Mengerikan

Efek Visual Khas MD Picture yang Mengerikan_

Saya mengakui kalau MD Picture mendengarkan berbagai kritik terutama mengenai kualitas film mereka. Namun, ada satu kekurangan dan kritik yang tidak pernah dibenahi oleh MD Picture yaitu efek visual atau CGI. Dari trilogi Danur hingga Ivanna, bahkan Sewu Dino yang memiliki banyak sekali adegan “jagal,” saya selalu mengomentari CGI mereka yang sangat amatir. 

Lagi dan lagi, MD Picture gagal untuk memberikan efek visual yang sebenarnya sangat sederhana untuk Kisah Tanah Jawa: Pocong Gundul

Pertama untuk wajah Pocong Gundul, sense horornya menghilang ketika saya sadar kalau wajahnya mirip The Necromancer di serial Amerika berjudul The Legacies. Bedanya, Pocong Gundul hanya menambahkan dua taring putih berukuran kecil.

Lalu, adegan ketika leher Walisdi ditebas oleh sebuah keris. Yang membuat saya tertawa, di lehernya tidak terlihat bekas sayatan nyata, tapi aliran darah yang keluar sangat deras. Darah tersebut dibuat dengan CGI yang sangat amatir. Alhasil, tidak ada darah yang menempel atau membekas di tubuh Walisdi.

Jujur, saya sangat kecewa karena MD Picture selalu mengeluarkan biaya fantastis untuk film-film mereka, tapi semua itu seolah dihabiskan percuma. CGI mereka lebih "mengerikan" dibandingkan sosok Pocong Gundul itu sendiri. 

Secara Keseluruhan, Kualitas Filmnya Apik

Secara Keseluruhan, Kualitas Filmnya Apik_

Seperti yang sudah saya singgung di atas, MD Picture mendengarkan kritikan dengan baik. Dari sisi sinematografi, sepertinya para sinematografer tidak lagi fokus dengan teknik tradisional yang monoton. Perubahan ini saya lihat mulai dari Ivanna, KKN Di Desa Penari, hingga Sewu Dino.

Sinematografi di Kisah Tanah Jawa: Pocong Gundul ini sangat beragam. Yang paling mencolok adalah cara kameramen memposisikan kamera seakan-akan menjadi mata Hao. Pergerakannya pun sangat lancar. Bagian ini selalu membuat saya merasa antusias karena harus menunggu dan menebak apa yang akan dilihat oleh Hao.

Beralih ke jumpscare, dibanding dengan Sewu Dino, teknik yang digunakan Awi Suryadi di film ini cukup memuaskan. Meski ada beberapa jumpscare yang terkesan di ulang-ulang, tapi cukup bikin saya terkejut dan deg-degan

Hal yang paling memuaskan dari Kisah Tanah Jawa: Pocong Gundul adalah scoring-nya. Ya, background musiknya yang kental dengan musik tradisional khas Jawa dan klenik ini bikin suasana film makin mencekam. Hanya saja, di beberapa kesempatan saya menemukan sound dari dialognya yang terlalu kecil atau suaranya pecah.

Duet Deva Mahenra dan Della Dartyan

Duet Apik Deva Mahenra dan Della Dartyan_

Saya selalu memprotes pemilihan pemeran utama di berbagai film buatan MD Pictures. Namun, keputusan untuk menduetkan Deva Mahenra dan Della Dartyan ternyata sangat tepat.

Setelah menonton beberapa film Deva Mahenra, saya sadar kalau dia lebih cocok dengan karakter yang cenderung serius. Karakter Hao di film ini dikisahkan sebagai pria Jawa yang sopan, santun, dan fokus pada tujuan hidupnya. 

Rasa ingin tahu dan kepedulian Hao yang besar tidak ditampilkan lewat karakter yang ngotot. Justru, Deva memilih untuk menampilkan ekspresi bingung dan tegang di sepanjang film. Ekspresi tersebut sesuai dengan plot cerita, karena ini adalah kali pertama Hao berhadapan dengan hal mistis yang berbahaya.

Karakter Rida yang diperankan oleh Della Dartyan juga membuat kisah ini lebih berwarna. Rida adalah sosok yang penuh semangat, dan punya karakter yang sedikit berbeda dengan Hao. Rida lebih santai dan berbagai celetukan sederhananya selalu bisa mencairkan suasana.  

Ketika mereka disatukan dalam satu frame, Hao dan Rida bagaikan sisi gelap dan terang. Karenanya, film ini tidak terasa membosankan meskipun alurnya sederhana dan durasinya cukup panjang. 

Iwa K Behasil Mencuri Spotlight

Iwa K behasil Mencuri Spotlight_

Hadir sebagai antagonis utama, Iwa K berhasil mencuri perhatian dengan kesederhanaan dan sosoknya yang misterius. Berperan sebagai Walisdi, pria ini adalah dukun yang sakti mandraguna di Yogyakarta yang hidup di tahun 1983.

Walisdi sangat terobsesi dengan kekuatan dan klenik, dia pun tidak segan untuk melakukan ritual berbahaya dan menumbalkan seseorang. Demi mendapatkan hidup yang abadi, Walisdi nekat membuat perjanjian dengan Banaspati yang membuatnya jadi “Pocong Gundul.”

Dari plot ini saja sudah terdengar menyeramkan, bukan? Namun, yang membuat saya kagum adalah akting dan penjiwaan karakter yang ditampilkan Iwa K.

Sebenarnya rapper yang terjun ke dunia akting ini tidak memiliki banyak dialog. Bahkan, seingat saya Walisdi tidak pernah berdialog secara langsung dengan seseorang. Dialog-dialog yang dikatakannya hanya berupa mantra untuk ritual-ritual yang dilakukan. Namun, pelafalan mantra dalam bahasa Jawa ini sangat lugas, jelas dan natural. 

Agar lebih menakutkan, Iwa K fokus untuk menampilkan ekspresi wajah yang menyeramkan. Sebut saja dari sorot matanya yang tajam, terasa sangat mengintimidasi. Lalu, senyumannya terlihat seperti orang gila, hal ini sangat menambah kengerian. 

Itulah ulasan saya mengenai film ini. Sosok Pocong Gundul dalam film tidak akan menyeramkan jika Iwa K gagal memerankan Walisdi. Bagi saya, Iwa K adalah ujung tombak dari kengerian sosok Pocong Gundul dan filmnya.

Fyi, Kisah Tanah Jawa: Pocong Gundul menggunakan 70 persen bahasa Jawa. Tapi tenang saja! Terjemahan bahasa Indonesia-nya sangat jelas dan mudah dipahami, kok. Apakah setelah membaca ulasan ini kamu jadi tertarik untuk menonton filmnya juga?

cross linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram