showpoiler-logo

Sinopsis dan Review Film Biografi Sang Pencerah (2010)

Ditulis oleh Dhany Wahyudi
Sang Pencerah
3.4
/5
showpoiler-logo
PERHATIAN!
Artikel ini mengandung spoiler mengenai jalan cerita dari film/drama ini.

Perjuangan Kyai Haji Ahmad Dahlan untuk meluruskan Islam di Yogyakarta sesuai Al-Qur’an dan Sunnah tidaklah mudah. Beliau mendapat pertentangan yang keras karena pemahamannya yang tidak sejalan dengan ajaran Islam yang dipahami oleh para ulama senior.

Usahanya untuk memajukan kehidupan bangsa beliau lakukan melalui bidang pendidikan dan kesehatan dengan mendirikan Muhammadiyah. Sang Pencerah adalah film drama biografi karya sutradara Hanung Bramantyo yang dirilis pada 8 September 2010.

Menampilkan kisah hidup dan perjuangan Kyai Haji Ahmad Dahlan secara kronologis, membuat film ini menjunjung tinggi nilai historis dan memiliki keautentikan yang tinggi. Berikut ini review kami dari film yang sudah bisa ditonton ulang di Netflix ini.

Baca juga: 10 Film Biografi Indonesia yang Wajib Ditonton Pecinta Film!

Sinopsis

Sinopsis

Yogyakarta, abad ke-19. Di masa penjajahan Belanda, Islam di Yogyakarta bercampur dengan kesyirikan dan bid’ah (perkara baru dalam agama).

Tahun 1868 lahirlah Muhammad Darwis dari keluarga Kyai Haji Abu Bakar yang masih keturunan Maulana Malik Ibrahim, salah satu anggota Walisongo. Sedari kecil, Darwis dikenal kritis dan diajarkan oleh ayahnya Islam yang sesuai petunjuk Rasulullah.

Di usia 15 tahun, Darwis berangkat ke Makkah untuk melaksanakan haji dan menuntut ilmu disana. Lima tahun kemudian beliau kembali ke Indonesia dengan mengganti namanya menjadi Ahmad Dahlan dan melanjutkan tugas ayahnya untuk mengajarkan Islam kepada masyarakat. Dia menikah dengan Siti Walidah dan memiliki 6 anak darinya.

Dengan ilmu agama dan pengetahuan lain yang didapatnya selama belajar di Makkah, beliau berusaha meluruskan banyak hal yang salah dalam pelaksanaan ibadah, salah satunya adalah arah kiblat.

Hal ini mengundang keresahan dari para ulama senior yang menyebut beliau terkontaminasi pemikiran kaum barat, apalagi dengan menggunakan peralatan modern seperti peta dan kompas.

Di suatu tempat beliau mengajar mengaji, jumlah muridnya terus bertambah. Metode pengajaran menggunakan biola dan alat-alat modern, banyak menarik minat anak-anak dan pemuda sekitar.

Pada saat ini, beliau dan murid-muridnya mendapat kecaman dari masyarakat dan murid-murid para ulama senior, bahkan surau mereka kemudian dirobohkan.

Sempat hendak pergi dari Yogyakarta, beliau berhasil dibujuk oleh kakaknya untuk tetap berjuang di kotanya dan membiayai penuh pendirian kembali surau miliknya.

Ahmad Dahlan kemudian naik haji untuk kedua kalinya. Sekembalinya dari haji, beliau mendengar kabar adanya perkumpulan Boedi Oetomo yang terdiri dari tokoh-tokoh pergerakan nasional dari golongan cendekiawan.

Ahmad Dahlan mulai mengubah penampilan layaknya kaum cendekiawan, tidak bersorban seperti kyai pada umumnya. Kemudian dia berhasil menjadi guru mata pelajaran Agama Islam di sekolah milik pemerintah Belanda, yang biasa disebut Kweekschool.

Metode belajarnya mampu menarik perhatian para murid yang terdiri dari anak-anak pejabat pemerintah dan keraton. Bersama murid-murid surau, beliau mendirikan Madrasah Diniyah untuk anak-anak yang tidak mampu agar bisa mempelajari Islam.

Bahkan ada beberapa murid dari Kweekschool ikut juga bersekolah di Madrasah. Ahmad Dahlan berniat untuk mendirikan perkumpulan sebagai wadah sosial untuk memajukan kehidupan bangsa lewat pendidikan dan kesehatan.

Atas saran dari rekan-rekannya di Boedi Oetomo, beliau mendirikan organisasi Muhammadiyah pada tahun 1912 yang mendapat persetujuan dari Sri Sultan Hamengku Buwono, tetapi tidak disetujui oleh Kyai Penghulu Kamaludiningrat karena salah persepsi.

Lagi-lagi beliau dan murid-muridnya dituduh kafir karena dekat dengan golongan cendekiawan dan belajar menggunakan metode ala Barat.

Tapi satu-persatu dijawab dengan tenang oleh Ahmad Dahlan. Beliau menjawab menggunakan logika dan dalil dari Al-Qur’an dan Hadits Nabi sehingga pada akhirnya tidak bisa dibantah oleh Kyai Penghulu yang memberikan izin pendirian Muhammadiyah di Kauman.

Alur Cerita dengan Pondasi yang Kuat

Alur Cerita dengan Pondasi yang Kuat

Layaknya film biografi yang mengutamakan nilai sejarah yang tinggi, Sang Pencerah dihadirkan dengan menggunakan alur cerita secara kronologis, mulai dari kelahiran Muhammad Darwis hingga berdirinya Muhammadiyah.

Dengan latar belakang yang detail dan fase demi fase kehidupan beliau menjadi pondasi yang kokoh untuk menggambarkan kehidupan Kyai Haji Ahmad Dahlan.

Lukman Sardi yang dipercaya memerankan Kyai Haji Ahmad Dahlan mampu mengemban tugasnya dengan baik. Salah satu aktor terbaik Indonesia ini mampu menampilkan akting yang kuat dalam semua adegan yang menghadirkan dirinya.

Keinginan yang kuat untuk menjaga agama Islam dan membersihkannya dari praktik-praktik syirik dan bid’ah sangat jelas terlihat di wajahnya, dan kita dibuat yakin oleh itu.

Secara keseluruhan, cerita film berdurasi 1 jam 52 menit ini berjalan dengan baik dan mengalir. Hanya saja konflik yang disuguhkan tidak menemukan puncaknya, justru konflik yang seharusnya menegangkan menjelang konklusi akhir film merupakan pengulangan dari konflik yang sama sebelumnya, justru lebih destructive yang pertama dengan robohnya sebuah surau.

Memiliki Nilai Autentik yang Tinggi

Memiliki Nilai Autentik yang Tinggi

Hanung Bramantyo adalah salah satu sutradara papan atas perfilman Indonesia yang sarat prestasi. Dalam Festival Film Indonesia, sebelum membesut film Sang Pencerah, dia masuk nominasi sutradara terbaik lewat film Kamulah Satu-Satunya (2007), Perempuan Berkalung Sorban (2009), dan Tendangan dari Langit (2010). Dan berhasil meraih sutradara terbaik lewat film Brownies (2004) dan Get Married (2007).

Sang Pencerah menjadi film biografi pertamanya, karena setelah ini dia banyak membuat film biografi para tokoh pahlawan Indonesia lainnya, yang digarap dengan serius.

Demi menjaga keautentikan, produksi film ini menghabiskan dana sebesar 12 miliar yang sebagian besarnya untuk menciptakan kostum pemain yang sesuai fakta sejarah dan budaya pada masanya.

Motif batik yang ditampilkan adalah yang sering digunakan sekitar awal 1900an, juga kain jarik dan sorban yang semuanya dibuat khusus untuk keperluan syuting.

Selain itu, untuk menghidupkan atmosfer dan lansekap Yogyakarta, proses syuting dilakukan di Kebun Raya Bogor untuk eksterior dan menciptakan interior bangunan-bangunan yang dibuat secara detail yang juga menghasilkan sinematografi yang bagus.

Kyai Haji Ahmad Dahlan dalam Bingkai Sejarah

Kyai Haji Ahmad Dahlan dalam Bingkai Sejarah

Kyai Haji Ahmad Dahlan adalah salah satu ulama terkemuka di Indonesia yang pemikirannya bersumber dari para pembaharu Islam, seperti Ibnu Taimiyyah (yang disebutkan di dalam film hanya Muhammad Abduh dan Al-Afghani).

Beliau berusaha memurnikan Islam kembali kepada Tauhid dan Sunnah Nabi yang sudah banyak ditinggalkan oleh umat Islam pada masanya.

Ajaran Islam di Yogyakarta pada saat itu tercampur dengan budaya setempat dan ajaran agama Hindu, sehingga banyak memunculkan amalan-amalan yang tidak pernah dituntunkan oleh Nabi Muhammad, seperti berdoa dengan sesajen di bawah pohon besar yang merupakan perbuatan syirik. Tetapi ketika beliau hendak meluruskan hal yang salah, justru beliau dituduh sesat dan kafir.

Di dalam film dimunculkan beberapa fatwa hasil ijtihadnya yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, seperti tidak wajibnya mengadakan syukuran pernikahan karena bukan syarat sah nikah, membaca surah Yasin untuk orang mati bukanlah sunnah Nabi, dan alat-alat modern penunjang pendidikan dan dakwah bukanlah bid’ah. Semua dijawab dengan menggunakan logika dan dalil-dalil yang kuat.

Niat tulus beliau dalam berdakwah dan juga memajukan kehidupan bangsa melalui pendidikan dan kesehatan dengan mendirikan Muhammadiyah terbukti berhasil dengan banyaknya sekolah dalam berbagai tingkatan di seluruh Indonesia, bahkan sampai ke daerah pelosok, dan juga fasilitas kesehatan seperti rumah sakit yang merata di seluruh Nusantara.

Atas jasanya, Kyai Haji Ahmad Dahlan dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1961. Semoga usaha yang telah beliau lakukan untuk bangsa Indonesia dan umat Islam diganjar pahala yang besar oleh Allah Yang Maha Esa.

Pada akhirnya, Sang Pencerah tampil lebih baik dari film-film karya Hanung Bramantyo lainnya di berbagai sisi, tapi sayangnya tidak mendapat apresiasi lebih di ajang-ajang festival film di Indonesia. Film ini sangat direkomendasikan bagi kalian yang menyukai film bertema sejarah dan biografi tokoh. Langsung play saja di Netflix, ya!

cross linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram