showpoiler-logo

5 Perbedaan Film dan Novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck

Ditulis oleh Suci Maharani R

Kisah cinta Zainuddin dan Hayati dalam film Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (2013) bukanlah remake dari Titanic (1997). Justru, film ini mengadaptasi kisahnya dari novel roman populer yang berjudul sama karya Buya Hamka.

Diproduksi oleh Soraya Intercine Films, film garapan Sunil Soraya ini berhasil memukau penonton, apalagi kemistri Herjunot Ali dan Pevita Pearce memang luar biasa.

Meski mengadaptasi kisahnya dari novel karya Buya Hamka, ternyata ada banyak sekali perbedaan antara film dan novelnya. Mulai dari alur cerita, penokohan hingga latar yang digunakan, semuanya memiliki perbedaan yang signifikan.

Ada beberapa alur yang dihilangkan, ditambah hingga dimodifikasi sehingga kisah cinta Zainuddin dan Hayati terasa lebih mengenaskan.   

Memiliki banyak perbedaan, kali ini Showpoiler bakalan mengajak kamu untuk mencari tahu apa saja perbedaan antara film dan novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (2013). Penasaran dong? Yuk, intip informasi lebih lengkapnya hanya di bawah ini.

Baca juga: Review dan Sinopsis Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

1. Modifikasi Alur Agar Lebih Padat

Modifikasi Alur Agar Lebih Padat

Menjadikan sebuah novel menjadi film bukanlah hal yang mudah, seperti itulah yang dirasakan oleh penulis skenario film Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (2013).

Faktanya, Donny Dhirgantoro dan Imam Tantowi memulai penulisan skenario sejak tahun 2008 dan melakukan penyuntingan selama 4-5 bulan. Ada banyak hal yang harus mereka telaah agar pesan-pesan utama dalam novel ini tersalurkan.

Alhasil mereka pun harus mengerucutkan beberapa plot dan menambahkan plot baru agar pengisahannya terasa smooth.

Beberapa adegan tambahan yang ada dalam filmnya ada di scene, ketika Zainuddin di usir saat hendak mengikuti diskusi dengan pemuda Batipuh. Lalu alasan Zainuddin pergi ke Surabaya, dalam novel dan filmnya ternyata sangat berbeda lho.

Di novelnya, Zainuddin memutuskan pindah ke Surabaya karena kehendaknya sendiri. Sementara di film, Zainuddin pindah karena ingin mengurusi usaha percetakannya yang ada di Surabaya.

Pertemuan Hayati, Aziz dan Zainuddin pun seharusnya terjadi di Gedong Club dan bukan di rumah Zainuddin. Tidak ada adegan Aziz memarahi Hayati karena tidak menyambutnya saat pulang kerja dalam novelnya.

Dalam versi filmnya, berbagai kebetulan dalam hidup Hayati dan Zainuddin hadir dari orang-orang yang mereka kenal. Sementara dari versi novelnya, semua kebetulan itu memang datang dari orang asing.

Contohnya saat Hayati mendapatkan buku Teroesir dari Laras yang datang ke rumahnya, di novelnya Hayati mendapatkan buku itu dari orang lain yang tidak dikenalnya di Surabaya.

2. Perbedaan Penokohan

Perbedaan Penokohan

Fokus pada kisah cinta Zainuddin dan Hayati, film garapan Sunil Soraya ini akhirnya harus memangkas beberapa karakter dari novelnya.

Salah satunya adalah tokoh Kakek Hayati yang benar-benar dihilangkan dalam versi filmnya. Lalu karakter Daeng Masiga, yaitu sosok tetangga Zainuddin yang tinggal di Mengkasar juga dihilangkan.

Di sisi lain, Sunil Soraya, Donny Dhirgantoro dan Imam Tantowi memutuskan untuk memodifikasi karakter yang ada, hingga menambahkan karakter baru.

Modifikasi ini terjadi juga pada karakter utamanya seperti Zainuddin hingga Aziz yang lebih emosional dibandingkan dengan versi novelnya. Untuk jajaran karakter tambahan, ada sosok Mak Ipih yang dikisahkan sebagai paman Zainuddin.

Datuk Garang yaitu penasihat Datuk Paduka Emas, Engku Labay sebagai guru ngaji Zainuddin dan masih banyak lagi. Bahkan tokoh Laras dan Upiak Banun sebagai sahabat Hayati, sebenarnya kedua tokoh ini fiktif alias karakter tambahan di filmnya.

Jadi untuk penokohan, bisa dikatakan dalam film Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (2013) memang mengubah secara signifikan.

3. Perbedaan Latar yang Digunakan

Perbedaan Latar yang Digunakan

Ketika menonton film Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (2013), nuansa era tahun 1930-an ditampilkan dengan baik oleh sutradara Sunil Soraya. Bahkan untuk properti Kapal Pesiar yang digunakan, mereka sampai meminta dibuatkan replika kapal Van der Wijck ke produsen aslinya di Belanda.

Hal ini jelas membuat upaya totalitas yang ingin ditampilkan oleh Sunil Soraya patut untuk diacungi jempol. Tak hanya itu, riset mengenai gaya berpakaian, gaya rambut, gaya berbicara hingga properti otentik seperti mobil dan barang-barang lainnya juga harus pas dengan era 1930-an.

Sebenarnya hal ini memang tidak salah, karena hampir kebanyakan kisahnya berlatar di era 1930-an. Tapi jika ditelisik lebih dalam lagi, ternyata kisah ini dimulai pada tahun 1910-an.  

Hal ini termasuk kisah awal mengenai siapa Zainuddin yang sesungguhnya. Di dalam novelnya diperlihatkan, siapa orang tua Zainuddin dan bagaimana ia menghabiskan masa kecilnya.

Sementara di versi film, kedua plot tersebut dihilangkan dan dipersingkat. Sehingga latar utama seharusnya dimulai sekitar tahun 1910-an, sedangkan 1930-an adalah latar kisah Zainuddin dan Hayati.

4. Nasib Zainuddin Sepeninggal Hayati

Nasib Zainuddin Sepeninggal Hayati

Salah satu hal yang paling penting dalam film Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (2013) adalah kisah akhir dari tokohnya yang bernama Zainuddin.

Setelah bersusah payah berusaha untuk move on dari Hayati, akhirnya Zainuddin dipertemukan lagi dengan sang pujaan hati. Nahas, Hayati meninggal dunia pasca menjadi salah satu korban tenggelamnya kapal Van der Wijck.

Dalam film ini juga dikisahkan, bahwa Zainuddin akhirnya berhasil bangkit dari rasa kehilangannya atas wafatnya Hayati. Zainuddin membangun sebuah panti asuhan yang diberikan nama Rumah Yatim Piatu Hayati, lalu ia meneruskan karirnya sebagai seorang penulis.

Zainuddin merilis novel terbarunya yang ia beri nama “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck”. Sedangkan dalam novelnya, kisah akhir Zainuddin tidaklah seindah itu. Zainuddin yang mengetahui bahwa Hayati telah wafat, menguburkan jenazahnya di dekat rumahnya di Surabaya.

Setiap harinya, Zainuddin selalu mendatangi makam Hayati untuk berdoa dan menabur bunga. Bahkan Zainuddin menjadi sakit-sakitan, hingga satu tahun kemudian ia menyusul Hayati ke keabadian.

5. Karakter Zainuddin yang Dimodifikasi

Karakter Zainuddin yang Dimodifikasi

Dalam film Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (2013) penonton disuguhkan dengan era kebangkitan Zainuddin yang kini dikenal sebagai penulis populer. Ia mendapatkan kehidupan yang lebih layak dan dihormati oleh banyak orang.

Hidupnya termasyur, apalagi dengan bisnis percetakan dan penulisan yang dilakukannya berjalan dengan sangat baik. Namun dalam versi novelnya, kehidupan Zainuddin tidak meroket dengan begitu pesatnya.

Alih-alih dikenal sebagai penulis terkenal yang karyanya diterima oleh masyarakat Nusantara, awalnya Zainuddin hanyalah seorang wartawan. Ia menulis di majalah bernama Pedoman Masyarakat dan namanya mulai populer karena hikayat-hikayat yang ditulisnya di surat kabar.

Perjalanan karirnya cukup panjang, apalagi pasca Zainuddin terpaksa berpisah dengan Hayati. Tapi berkat semangat dari Bang Muluk, Zainuddin yang baru saja pindah ke Tanah Jawa akhirnya bisa mengembangkan bakatnya.

Zainuddin mendapatkan inspirasi baru sebagai seorang pengarang cerita dan tulisan-tulisannya menjadi populer.

Ternyata ada banyak sekali perbedaan mencolok dalam film dan novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (2013). Meski banyak hal yang diubah dan ditambahkan, setidaknya film garapan Sunil Soraya ini tetap bisa menyampaikan semangat dan pesan moral dari novel karya Buya Hamka ini.

Buat kamu yang sudah menonton filmnya, kira-kira lebih suka versi film atau novel? Bagikan jawabannya di bawah ini ya!

cross linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram