bacaterus web banner retina

Sinopsis & Review Film The Theory of Everything (2014)

Ditulis oleh Yanyan Andryan
The Theory of Everything
3.5
/5
PERHATIAN!
Artikel ini mengandung spoiler mengenai jalan cerita dari film/drama ini.

The Theory of Everything merupakan sebuah film drama biografi yang menceritakan perjalanan hidup fisikawan asal Inggris bernama Stephen Hawking, sekaligus kisah cinta dengan istri pertamanya, Jane Wilde Hawking. Film ini diadaptasi dari buku yang ditulis oleh Jane pada tahun 2007 lalu berjudul Traveling to Infinity: My Life with Stephen.

Aktor Eddie Redmayne berperan sebagai Stephen Hawking, dan aktris Felicity Jones memerankan sosok Jane Hawking. The Theory of Everything sendiri memulai penayangannya secara perdana pada Festival Film Internasional Toronto di bulan November tahun 2014 lalu.

Film ini mendapatkan apresiasi yang cukup positif, dan respon yang baik dari para kritikus. Pada ajang Academy Award, The Theory of Everything masuk nominasi Best Picture, Best Actress untuk Felicity Jones, Best Adapted Screenplay, Best Original Score, dan Eddie Redmayne memenangkan penghargaan untuk kategori Best Actor.

Baca juga: 10 Film yang Bakal Menyemangati Perjuangan Hidupmu

Sinopsis

Sinopsis

Stephen Hawking adalah mahasiswa jurusan astrofisika di Universitas Cambridge. Ia memiliki hubungan asmara dengan seorang mahasisiwi sastra yang bernama Jane Wilde.

Hawking bersama dengan professor Dennis Sciama kemudian menghadiri sebuah kuliah seminar yang membahas tentang lubang hitam alias black holes.

Selepas dari sana, Hawking lalu menyimpulkan jika lubang hitam kemungkinan besar adalah bagian dari penciptaan alam semesta. Lewas kesimpulannya itu, Hawking selanjutnya melakukan penelitian yang akan ia gunakan untuk menulis tesis tentang lubang hitam.

Saat mengerjakan penelitiannya, Hawking tiba-tiba merasakan bahwa otot-otot di tubuhnya mulai melemah, dan akibatnya ia terjatuh keras ketika sedang berjalan di sekitar kampusnya.

Setelah melewati pemeriksaan, dokter mengatakan padanya jika dirinya menderita penyakit saraf motorik, dimana saraf di seluruh tubuhnya tidak akan bisa berfungsi dengan baik.

Sang dokter juga memprediksi jika Hawking memiliki waktu hidup sekitar dua tahun. Namun, ia mengungkapkan kepada Hawking bahwa otaknya masih bisa berfungsi sehinga ia tetap mampu berpikir, dan kecerdasaannya tidak hilang meski pada akhirnya ia tidak akan bisa berbicara lagi.

Dengan fakta yang seperti itu, Hawking menutup diri, dan hanya fokus pada penelitiannya saja. Akan tetapi, Jane masih tetap setia mencintainya, mereka pun menikah, dan mempunyai dua orang anak yang bernama Robert Hawking, dan Lucy Hawking.

Setelah menyelesaikan penelitiannya, Hawking lalu mempresentasikan hasil tesisnya itu ke dewan ujian universitas. Ia lalu menjelaskan jika lubang hitam telah menciptakan alam semesta dalam peristiwa Big Bang alias Ledakan Besar.

Presentasi berjalan dengan lancar, dan tesis yang dibuat oleh Hawking pun mendapatkan pujian yang brilian dari para penguji.

Jane beserta Hawking, dan juga teman-temannya kemudian merayakan momen tersebut dengan makan bersama. Di satu sisi, kemampuan berjalan dari Hawking mulai menurun, dan ia sudah tidak sanggup lagi hingga akhirnya harus menggunakan kursi roda.

Hawking selanjutnya menjadi seorang fisikawan yang terkenal hingga di seluruh dunia. Sementara itu, Jane sekarang fokus untuk membesarkan Robert serta Lucy, dan juga menjaga kesehatannya Hawking. Tetapi, Jane cukup merasa frustasi dan kewalahan karena ia tidak mampu menyelesaikan tesisnya sendiri.

Suatu waktu, Jane memilih untuk ikut kelompok paduan suara gereja. Di sana, ia bertemu dengan seorang pria bernama Jonathan, dan singkat ceritanya keduanya menjadi teman dekat. Jane lalu meminta dia untuk mengajarkan kedua anaknya dalam bermain piano.

Jonathan sendiri lambat laun cepat akrab dengan keluarganya Jane, termasuk Hawking, dan juga kedua anak mereka, Robert serta Lucy.

Ibu dari Hawking curiga terhadap hubungan antara Jane dan Jonathan. Saat Jane melahirkan anak ketiganya, Timothy Hawking, sang mertua menduga jika Timothy adalah anak dari Jonathan.

Namun, persoalan tersebut kemudian disangkal oleh Jane. Akan tetapi juga, Jane dan Jonathan saling mengungkapkan jika mereka saling menyukai satu sama lain.

Beberapa waktu kemudian, Hawking harus dilarikan ke rumah sakit, dan dokter pun memberitahu kepada Jane bahwa sang suami menderita radang paru –paru, dan harus melakukan operasi yang menyebabkan dirinya tidak bisa berbicara lagi.

Lebih Banyak Mengeksplorasi Drama

Lebih Banyak Mengeksplorasi Drama_

Satu hal yang harus diakui dalam film ini adalah Eddie Redmayne terlihat sangat bagus dalam perannya sebagai Stephen Hawking. Ia memberikan penampilan karakter yang mempesona untuk Hawking mulai dari fisik, gimik, dan begitu emosional dalam menjiwai perannya terhadap sosok ilmuwan tersebut.

Saat ia duduk di kursi rodanya, kita seolah sedang melihat sosok Hawking yang benar-benar nyata. Sementara itu, Felicity Jones Sebagai Jane Wilde Hawking bermain sangat apik, dan begitu hangat. Karakter Jane digambarkan sangat penuh cinta dan kasih sayang terhadap sang suami.

Jones pun rasanya berhasil memainkan perannya itu dengan memukau. Meskipun ia berpisah dengannya, namun kita masih bisa merasakan kehangatan kasih sayangnya yang terus ia berikan sepanjang film ini berjalan.

Di sisi lain, The Theory of Everything tidak sepenuhnya menggambarkan pemikiran-pemikiran ilmiah yang inovatif dari Hawking secara gamblang. Film ini tidak terlalu sering memberikan teori-teori astrofisika, dan bahkan tentang ilmu kosmologi yang rumit hingga membuat kita pusing mendengarnya.

The Theory of Everything nampaknya adalah sebuah film drama roman yang mengisahkan perjalanan kisah cinta Hawking dan Jane. 

Namun selain itu, selama dua jam lamanya kita dapat melihat perjuangan Hawking yang mesti bertahan dari penyakit saraf motorik, cerita suksesnya dalam bidang fisika, hingga momen-momen perpisahannya dengan Jane. 

Dari sisi sains, film ini tidak terlalu berfokus pada aspek kecerdasan dari kehidupan Hawking secara teoritis, dan akademis. The Theory of Everything sendiri dipoles dengan sangat konvensional sebagai film biopik lewat alur cerita yang mudah dipahami, dan tidak terlalu menonjolkan proses ilmiah yang rumit.

Kisah Cinta Penuh Lika-Liku

Kisah Cinta Penuh Lika-Liku

The Theory of Everything dimulai dengan hari-hari normal yang mesti dihadapi oleh dua mahasiswa yang saling jatuh cinta, Hawking dan Jane.

Kehidupan cinta mereka menjadi lebih rumit setelah Hawking yang sangat cerdas tiba-tiba mesti kehilangan kontrol atas tubuhnya, dan ia pun didiagnosis penyakit saraf motorik.

Melalui sudut pandang Hawking, kehidupan dirinya mulai berubah menjadi tertutup hingga sedikit kehilangan harapan. Ia bagaimanapun juga harus berjuang menyelesaikan tesisnya tentang lubang hitam, dan Hawking juga mesti mengatasi penyakitnya yang secara tidak langsung telah merenggut kehidupan normalnya.

Ketika saraf di tubuhnya benar-benar sudah tidak bisa berfungsi dengan baik, sudut pandang beralih ke Jane yang kini menjadi istrinya yang sah.

Jane nyatanya tulus mencintai Hawking, dan ia berani mengambil tantangan untuk merawat sang suami yang cacat secara fisik, dan juga membesarkan ketiga anak mereka, Robert, Lucy, dan Timothy.

Di momen-momen sulit tersebut, Hawking menjadi lebih terkenal sebagai seorang fisikawan, dan Jane secara pelan-pelan merajut hubungan asmara dengan Jonathan Hellyer Jones (Charlie Cox), yang nantinya menjadi suami Jane.

Tetapi di sisi lain juga, Hawking semakin dekat dengan perawatnya, Elaine Mason (Maxine Peake), yang kemudian menjadi istri keduanya.

Mereka pun bersama-sama memutuskan untuk bercerai karena menyadari pernikahan yang sudah dibangun tidak berjalan dengan baik. Meski begitu, keduanya saling mendukung satu sama lain, dan subplot tersebut kemudian tersaji tanpa drama berlebihan yang merusak jalan cerita.

Menawan Secara Visual

Menawan Secara Visual_

Fokus cerita film ini nampaknya cukup baik dalam menyoroti persoalan yang mesti dihadapi oleh Hawking, dan Jane. Kedua karakter tersebut terasa sangat hidup sepanjang film ini, dan kita serasa ikut tertarik untuk mengikut perjalanan mereka masing-masing.

Lewat dua sudut pandang keduanya, fokus cerita pun tidak tumpang tindih, dan kisah mereka menjadi kesatuan yang solid pada film biopik ini.

Di bagian lainnya, komposisi visual sinematografi dalam The Theory of Everything terlihat megah, dan sangat konsisten. Tekstur akademik dalam universitas tempat Hawking belajar diperlihatkan begitu indah serta menawan. 

Semua visual yang disuguhkan semakin mempesona karena didukung oleh akting semua pemerannya dengan cukup baik, dan sangat menyatu ke dalam suasana seting yang artistik.

Pada akhirnya, The Theory of Everything merupakan film biopik tentang Stephen Hawking yang sangat mudah untuk dinikmati. Jalan ceritanya cukup inspiratif, dan juga lumayan mengharukan ketika melihat perjuangan Hawking, dan Jane lewat persoalan mereka masing-masing.

Film ini pun rasanya menjadi salah satu film terbaik yang pernah dibintangi oleh Eddie Redmayne, dan Felicity Jones.

cross
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram