bacaterus web banner retina

Sinopsis & Review Film The Green Mile, Dongeng dalam Sel

Ditulis oleh Glen Sahetapy
The Green Mile
4.3
/5
PERHATIAN!
Artikel ini mengandung spoiler mengenai jalan cerita dari film/drama ini.

Tidak disangka-sangka memang bahwa salah satu penulis kelas dunia yang bisa dibilang rajanya cerita horror lah yang menulis kisah ini. Stephen King merilis serial novel The Green Mile pada tahun 1996 dan karyanya ini kemudian diangkat ke layar lebar pada tahun 1999 oleh sutradara Frank Darabont. Frank sendiri dikenal sebagai pengembang serial TV The Walking Dead.

Jadi, The Green Mile adalah film horror? Tentu bukan. Membesut nama Tom Hanks sebagai pemeran utamanya, tentu kita menjadi penasaran. Seperti apa film yang sudah berusia beberapa dekade ini dan sekarang dapat disaksikan di Netflix.

Namun saat menyadari durasinya yang lumayan, mungkin kamu jadi urung menyaksikannya. Jika memang begitu, siapa tahu saja pembahasan kami kali ini akan membantu kamu untuk mengenal The Green Mile sebelum menyaksikannya.

Sinopsis

The Green Mile

Tahun 1999. Paul Edgecomb tua (Dabbs Greer) hidup di sebuah panti jompo yang ada di kawasan Louisiana. Ia memiliki kebiasaan untuk membawa roti jagung dingin, dan berjalan-jalan di kawasan bukit yang tidak jauh dari tempat tinggalnya tersebut.

Suatu ketika saat ia dan teman-temannya sesama para lansia tengah menyaksikan televisi, salah satu penghuninya mengganti tayangan tersebut hingga menemukan sebuah channel yang menayangkan film klasik berjudul Top Hat. Tanpa diduga-duga, Paul nampak menjadi emosional dan menangis.

Melihat hal tersebut, sahabatnya yang bernama Elaine (Eve Brent) berniat menemani Paul untuk sekedar berbagi tentang apa yang ia rasakan hingga pria tersebut menuturkan kenangan tentang masa-masa saat dirinya menjadi seorang sipir penjara pada tahun 1935.

Pada masa itu, Paul (Tom Hanks) bekerja sebagai seorang ketua sipir di penjara bernama Cold Mountain. Penjara ini merupakan sebuah rutan yang dikhususkan bagi para penjahat kelas berat, dan Paul bekerja di blok E yang disebut dengan Green Mile, karena memiliki lantai berwarna hijau muda.

Suatu hari, datanglah tahanan baru bernama John Coffey (Michael Clarke Duncan). Seorang pria kulit hitam yang memiliki tubuh tinggi besar lagi menyeramkan yang menempati sel paling pojok yang ada di Green Mile. John merupakan terpidana kasus perkosaan dan pembunuhan dua anak perempuan kulit putih di bawah umur. Namun, ada fakta yang mengherankan dari kasus John.

Saat ditemukan, John tengah mendekap kedua anak perempuan tersebut seraya menangis tersedu-sedu dan mengaku bahwa seharusnya, ia dapat menyelamatkan nyawa korban. Namun tentu saja, keberadaan orang kulit hitam di masa yang disebut sebagai Great Depression tersebut tidak menguntungkan bagi John. Karena kala itu, isu rasialisme tengah menjadi-jadi terutama di wilayah Selatan Amerika Serikat.

Di blok E, Paul tidak bertugas sendirian. Ia memiliki empat rekan yang senantiasa membantunya yaitu Brutus "Brutal" Howell (David Morse), Dean Stanton (Barry Pepper), Harry Terwilliger (Jeffrey DeMunn), dan Percy Wetmore (Doug Hutchison). Para sipir ini juga bertugas melakukan eksekusi mati kursi listrik bagi para penjahat kelas berat tersebut.

Kemudian, datanglah hari-hari di mana Paul dan kawan-kawan harus menjalankan tugas untuk mengeksekusi para narapidana. Satu kali, hadirlah seekor tikus yang dijadikan bahan mainan bagi mereka hingga tikus itu akhirnya menjadi peliharaan Eduard Delacroix (Michael Jeter), salah satu tahanan berkebangsaan Perancis di blok tersebut.

Kondisi blok E semakin ‘berwarna’ dengan kedatangan William "Wild Bill" Wharton (Sam Rockwell), salah satu terpidana yang merepotkan. Ia bahkan mengungkap sifat asli dari Percy yang kasar dan merupakan keponakan gubernur negara bagian tersebut. Ternyata, Percy adalah seorang pengecut.

Suatu ketika, kondisi Paul yang tengah menderita infeksi saluran kemih menjadi semakin parah. Namun secara ajaib, John mampu menyembuhkan sang kepala sipir. Bukan hanya itu, sang tahanan juga mampu menghidupkan kembali Mr. Jingles, tikus peliharaan Eduard setelah Percy menginjaknya hingga mati.

Kemampuan dan sifat lemah lembut John tersebut mulai membuat Paul sangsi. Apakah John memang bersalah atau tidak. Sementara, sang narapidana mulai terus menunjukan kemampuan yang ia miliki. Bukan hanya di hadapan John, tapi juga para sipir dan kepala penjara.

Kisah Dongeng

Kisah Dongeng

Bisa jadi, kamu akan merasa kurang bergairah jika hanya melihat poster film ini. Diperankan oleh Tom Hanks dan sempat menjadi perbincangan pada masanya, kita mungkin akan membayangkan sebuah film kelas penghargaan yang penuh dialog dalam dan agak membosankan. Tapi, setelah menyadari bahwa film ini diangkat dari karya Stephen King, kamu mungkin menjadi penasaran.

Adegan pembukanya yang mengingatkan kita akan sebuah film bergenre thriller juga sangat menarik. Tapi siapa yang menyangka bahwa The Green Mile adalah sebuah film dengan nuansa dongeng yang kental. Suasana di Cold Mountain juga akan membuat kita berpikir bahwa Tom Hanks dan kawan-kawan kemungkinan bakal menghadirkan sebuah kisah drama humanis.

Kemudian segala prasangka tersebut terbukti salah. Kita bagai disuguhkan oleh semacam kisah dongeng fantasi yang mengambil setting di panti asuhan dengan segala tingkah laku penghuninya yang unik. Bedanya, kita akan dibawa untuk melihat kehidupan para tahanan. Menggambarkan kehidupan di balik penjara yang keras? Pasti. Tapi masih dalam batas yang wajar.

Memainkan Emosi

Menggetarkan Hati

Kita tahu bahwa para narapidana yang masuk dalam blok E memang melakukan pelanggaran hukum yang tidak dapat ditawar sehingga mereka harus menjalani hukuman mati di atas kursi listrik. Dan di sinilah The Green Mile seolah sukses membuat para penonton merasa pilu. Mungkin kamu akan langsung berpikir bahwa hukuman mati melalui kursi listrik sangatlah tidak berprikemanusiaan.

Terutama, ketika tiba saatnya bagi Eduard Delacroix harus menjalani hukumannya tersebut. Meski tokoh Eduard seharusnya memang melakukan tindak kriminal yang tidak dapat mungkin diampuni, perasaan mengharu biru akan menghinggapi kamu ketika ia harus berpisah dengan Mr. Jingles. Lantas, rasa pilu yang tercipta itu juga disertai dengan perasaan dongkol, karena tingkah Percy yang menyebalkan.

Durasi yang Kepanjangan

Durasi yang Kepanjangan

Banyak orang yang mencari versi uncut dari The Lord of the Rings yang durasinya hampir mencapai 4 jam. Wajar, para fans mungkin ingin untuk melihat lebih banyak keseruan dari dunia fantasi hasil kreasi penulis kenamaan J.R.R Tolkien tersebut. Dan The Green Mile memiliki durasi 3 jam 9 menit. Mengejutkan, bukan?

Untuk sebuah kisah yang tidak terlalu banyak berpindah latar belakang tempat, hal ini bisa jadi bakal membuat kamu merasa bosan. Apalagi, jika kamu tidak termasuk orang yang suka dengan film drama disertai banyak dialog. Tapi jangan khawatir, karena The Green Mile juga menghadirkan adegan-adegan yang bisa dibilang cukup menghibur.

Frank selaku sutradara memasukan adegan-adegan jenaka yang bakal membuat kamu, tidak sampai ngakak memang, tapi setidaknya dibuat terkekeh sekali-sekali. Perpindahan adegan demi adegannya juga cukup cepat, sehingga kita tidak sampai dibuat tertidur, mungkin.

Menggetarkan Hati

Memainkan Emosi

Setelah melalui segala dinamika dalam blok E dari penjara fiksi Cold Mountain, kamu akan disuguhkan dengan adegan puncak yang membuat penontonnya berharap The Green Mile memiliki happy ending. Apalagi kalau bukan adegan di mana saat John Coffey mesti berhadapan dengan hari-hari menjelang eksekusinya.

Para sineas The Green Mile akan menyeret kita dalam adegan dimana Paul dan kawan-kawan harus memenuhi permohonan-permohonan terakhir John. Lantas, bagaimana sang pria kulit hitam mengungkapkan bahwa memiliki anugerah yang luar biasa bukanlah sebuah jaminan baginya untuk hidup bahagia.

Dan kesemuanya itu disajikan dengan sangat menyentuh. Salah satu yang membuat mata kita ingin berair adalah, akhirnya penonton akan mengetahui alasan mengapa di awal film, Paul sekonyong-konyong menitikan air mata saat menyaksikan film kuno Top Hat. Para calon penonton bersiaplah, karena bagian akhir film ini adalah ‘tantangan mental’ buat kalian.

bisa bikin kita ciut. Dibutuhkan waktu khusus untuk menyaksikannya. Terlepas dari durasinya tersebut, film ini tergolong sebagai sebuah film ringan. Dengan setting rumah tahanan, tidak ada elemen dari The Green Mile yang depresif. Meski begitu, ada sedikit unsur psychological thriller juga. Harap maklum, novelnya ditulis oleh Stephen King.

Dari segi akting, Michael Clark Duncan memang tampil memukau dalam film ini. Tidak mengherankan jika dia dinominasikan dalam berbagai penghargaan sebagai aktor pendukung terbaik. Singkatnya, The Green Mile merupakan sebuah drama fantasi yang mampu membuat kita merasa tersentuh.

Bagi para pemilik akun Netflix yang belum nonton, siapkan waktu 3 jam untuk larut dalam sebuah kisah yang bisa bikin kamu mengeluarkan berbagai ekspresi saat menikmatinya.

cross
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram