showpoiler-logo

Sinopsis & Review The Art of Self-Defense, Komedi tentang Karate

Ditulis oleh Dhany Wahyudi
The Art of Self-Defense
3.3
/5
showpoiler-logo
PERHATIAN!
Artikel ini mengandung spoiler mengenai jalan cerita dari film/drama ini.

Casey mencari cara untuk membela dirinya setelah dikeroyok dan dipukuli oleh sekelompok pengendara motor yang membuatnya harus dirawat di rumah sakit, dan dia menemukan potensi dirinya setelah mengikuti kelas karate di bawah arahan sensei yang kharismatik tapi seperti menyimpan misteri. The Art of Self-Defense adalah film drama indie yang kental dengan nuansa black comedy.

Film ini pertama kali ditayangkan di festival South by Southwest pada 10 Maret 2019 dan dirilis secara terbatas pada 12 Juli 2019. Apakah karate mampu membuat Casey menjadi berani? Atau justru dia harus membuka misteri yang menyelimuti dojo dan senseinya? Simak review kami tentang film yang mengambil Kentucky sebagai lokasi syutingnya ini.

Sinopsis

Casey Davies adalah seorang pria pemalu dan memiliki perilaku yang aneh, bahkan dia tidak dianggap oleh teman-teman di kantornya. Suatu malam saat dia hendak membeli makanan anjing, Casey diserang dan dipukuli oleh sekelompok pengendara motor hingga membuatnya dirawat di rumah sakit. Setelah sembuh, Casey mencari sesuatu untuk menjaga dirinya.

Casey datang ke toko senjata dan memesan sebuah pistol. Tapi kemudian dia melihat dojo karate dan masuk ke dalamnya. Setelah berbincang singkat dengan Sensei, Casey mencoba untuk mengikuti latihan awal secara gratis. Seperti menemukan cara untuk membuatnya merasa berani, Casey mendaftar untuk belajar karate di dojo itu secara rutin.

Di dojo, Casey berkenalan dengan Anna yang bersabuk coklat dan merupakan pelatih untuk kelas anak-anak, dan Henry yang bersabuk biru yang memberitahu Casey bahwa Sensei juga membuka kelas malam. Komitmen Casey dalam berlatih menarik perhatian Sensei yang segera menaikkan tingkatnya menjadi sabuk kuning pada sebuah acara tahunan di dojo.

Dalam acara itu, Anna yang merupakan murid senior tidak dinaikkan ke sabuk hitam, justru murid lain yang mendapatkannya. Dan Henry yang memegang sabuk biru sempat menyinggung bahwa dia merasa jika dirinya sudah harus naik ke tingkat berikutnya. Sensei menyarankan Casey agar tampil lebih maskulin dalam segala hal, mulai dari musik, hewan peliharaan, hingga bahasa asing yang dipelajari.

Efeknya, Casey malah memperlihatkan sikap maskulinnya dengan cara yang salah, Casey memukul tenggorokan bosnya yang membuatnya dipecat. Setelah tahu Casey adalah seorang akuntan, Sensei meminta bantuannya untuk merapihkan data keuangan dojo dan mengundangnya untuk menghadiri kelas malam. Henry datang tanpa diundang dan Sensei mematahkan tangannya di depan para murid.

Dalam sesi sparring, Anna mengalahkan Thomas, murid yang baru saja naik ke sabuk hitam, secara brutal hingga membuat wajahnya terluka parah dan pingsan. Anna ingin membuktikan dirinya kepada Sensei, tapi justru Sensei menyatakan bahwa Anna tidak pantas mendapat sabuk hitam karena sikapnya itu. Casey membawa beberapa ikat pinggang yang dibuat dari sabuk karate untuk dibagikan di dojo.

Terkesan dengan kerja dan komitmennya, Sensei merekrut Casey untuk kerja di dojo secara permanen. Suatu malam, Sensei menghubungi Casey dan bilang jika dia menemukan salah satu pelaku pemukulan yang mencelakai Casey. Meski ragu, Casey memenuhi panggilan Sensei dan menyerang orang itu yang ternyata tidak bersalah sama sekali. Aksinya itu direkam oleh Sensei.

Kembali ke rumah, Casey menemukan anjing peliharaannya tergeletak di lantai dan langsung dibawa ke rumah sakit. Dokter menganalisa bahwa anjingnya seperti mengalami penyiksaan hingga tewas karena banyak tulangnya yang patah. Keesokan harinya, Casey datang ke dojo dan melanggar semua peraturan yang tertera di dinding secara sengaja untuk menghina Sensei. Tapi dia dikalahkan dengan telak.

Setelah menghadiri kelas malam berikutnya, Casey diajak oleh Sensei untuk mengikuti aktivitas mereka, yaitu mengendarai motor bersama dan mencari orang yang sedang sendirian untuk diserang. Casey galau dan Anna mendadak hadir menawarkan diri untuk ikut serta. Anna bilang ke Casey bahwa Sensei akan membunuhnya jika tidak ikut.

Mereka menemukan seorang pria di pinggir jalan. Anna menghampiri, tapi ditembak oleh pria itu yang ternyata adalah polisi dalam penyamaran. Casey turun dari motor dan menyerang polisi itu hingga tewas. Sensei menjanjikan Casey akan mendapat sabuk dengan garis merah sebagai tanda bahwa dia telah berhasil mengambil satu nyawa.

Dalam perjalanan pulang, Anna cerita kepada Casey bagaimana dia bisa mendapat sabuk dengan garis merah itu, yaitu dia membunuh murid bersabuk hitam saat orang itu menyerangnya di ruang loker. Meski mendapat sabuk kehormatan itu, Sensei tetap menimpakan kesalahan itu kepada Anna. Anna memberikan saran kepada Casey untuk meninggalkan dojo dan jangan kembali.

Sampai di rumah, Casey menemukan seekor anjing German Shepherd hadiah dari Sensei. Merasa penasaran, Casey menyelinap ke dojo dan masuk ke ruangan terlarang yang ternyata berisi ruang kremasi dan banyak kaset video yang salah satunya adalah rekaman peristiwa pemukulan Casey yang ternyata dilakukan oleh mereka. Dalam rekaman itu, Anna sempat membela Casey untuk tidak terus dipukuli.

Keesokan paginya Sensei menemukan Henry tewas gantung diri di dojo. Dia membakar mayatnya di ruang kremasi. Casey datang dan menantang bertarung. Saat hendak memulai, Casey menembak tewas Sensei dengan pistol tepat di kepalanya. Ketika murid lain datang, Casey bilang jika Sensei tewas karena ilmu yang digunakan oleh Casey sama dengan yang dimiliki oleh Grandmaster.

Casey juga menemukan bukti bahwa Thomas adalah orang yang membunuh anjing peliharaannya dan Casey menggunakan anjing peliharaannya yang baru untuk menuntaskan balas dendamnya kepada Thomas. Casey memberikan sabuk hitam milik Sensei kepada Anna dan mengangkatnya menjadi sensei baru mereka, sementara itu Casey mengajar kelas anak-anak.

Karakter Unik Casey

Film The Art of Self-Defense ini sebenarnya adalah studi psikologis dari karakter Casey Davies yang diperankan dengan baik oleh Jessie Eisenberg. Casey digambarakan adalah sosok yang pemalu dan penyendiri. Tentu saja dia sulit bersosialisasi dengan orang lain, termasuk dengan rekan-rekan kerjanya. Di rumah dia hanya ditemani anjing peliharaannya saja.

Setelah mengalami peristiwa pemukulan, Casey mencoba mencari cara untuk bisa membela dirinya jika kejadian itu terulang lagi. Sempat berpikir untuk membeli pistol, meski pada akhirnya dia jadi juga membelinya, Casey memilih karate sebagai alat bela diri pilihannya yang bisa membuat mentalnya lebih berani berkat arahan Sensei yang kharismatik.

Sensei mengarahkan Casey untuk menjadi lebih maskulin dengan memperinci hal apa saja yang harus diubah olehnya, seperti selera musik dari adult contemporary ke metal, belajar bahasa asing dari bahasa Prancis yang dianggap pengecut beralih ke bahasa Jerman, termasuk anjing peliharan dari jenis Dachshund ke German Shepherd.

Sempat salah menggunakan konsep maskulin yang mengakibatkan dirinya dipecat, Casey berhasil menyalurkannya melalui kelas malam yang digelar di dojo. Keberaniannya bertambah, tetapi justru dia menemukan banyak hal ganjil dan misterius dibalik dojo dan Sensei.

Baca juga: Tak Kalah Seru dari Kungfu! Ini 10 Film Jepang tentang Karate

Premis The Karate Kid yang Berubah Menjadi Fight Club

Secara sekilas, premis awal film dengan durasi 1 jam 44 menit ini tampak seperti film The Karate Kid (1984), tapi ketika misteri dojo dan Sensei mulai terbuka, cerita beralih seperti film Fight Club (1999) dimana para murid menumpahkan emosinya di kelas malam. Perubahan jalan cerita ini cukup mengejutkan dan membuat film semakin menarik.

Kita juga melihat peran sinematografi yang cukup baik dalam menampilkan nuansa kesepian di awal film hingga kemisteriusan yang tersembunyi dan mental Casey yang mulai berani. Semua disajikan dengan permainan warna. Kesuraman dengan warna coklat bias yang menggambarkan kesepian hidup Casey berubah menjadi kuning penuh semangat ketika dia berhasil naik tingkat.

Performa Matang Pemerannya

Seting waktu film yang sepertinya berada di era 1980an, jika melihat mobil dan fashion para pemerannya, sehingga terasa sezaman dengan The Karate Kid, memang sangat terbantu dengan permainan warna karya sinematografer Michael Ragen ini. Faktor ini didukung pula oleh performa yang baik dari para pemerannya, terutama Alessandro Nivola dan Imogen Poots.

Alessandro Nivola berhasil menjadi Sensei yang kharismatik sekaligus misterius. Dari ucapannya saja, Sensei ini mampu dengan mudah mengarahkan para muridnya dan membuat mereka segan dengannya. Tapi misteri yang menaunginya membuat dirinya terlihat sangat jahat ketika semua terkuak oleh Casey.

Sementara itu Imogen Poots adalah satu-satunya pemeran wanita dalam film ini yang karakternya mencoba membuktikan diri di tengah dunia pria yang penuh dengan testosteron. Imogen Poots tampil meyakinkan dengan fisiknya yang terlihat lebih gemuk dan tangannya yang terlihat kasar seperti sering dipakai untuk meninju. Meski porsinya sedikit, tapi dia menjadi kunci akhir film ini.

The Art of Self-Defense menjadi pembuktian kapabilitas Riley Stearns sebagai seorang sutradara. Mantan suami Mary Elizabeth Winstead ini juga menjadi penulis naskah film ini yang jalan ceritanya menarik dan mengalir dengan lancar. Film yang mencoba mengulas perubahan psikologis pria menjadi maskulin ini cukup layak untuk ditonton. Langsung play saja di Netflix ya!

cross linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram