bacaterus web banner retina

Review & Sinopsis Sewu Dino, Apakah Layak untuk Ditonton?

Ditulis oleh Suci Maharani R
Sewu Dino
2.8
/5
PERHATIAN!
Artikel ini mengandung spoiler mengenai jalan cerita dari film/drama ini.

Kerjasama antara MD Pictures dan SimpleMan ternyata tidak berhenti di KKN Di Desa Penari (2022) saja. Sewu Dino (2023) menjadi adaptasi kedua dari novel SimpleMan yang berjudul sama.

Memiliki cerita yang lebih kompleks dan sadis, Kimo Stamboel didapuk sebagai sutradaranya. Hal ini membuat para pecinta film excited, pasalnya Kimo memang ahli membuat film bertema gore.

Rasa penasaran juga kian memuncak, pasca MD Picture mengumumkan Mikha Tambayong, Rio Dewanto dan Marthino Lio dipastikan akan tampil dalam filmnya.

Diarahkan oleh sutradara kondang dan aktor papan atas, ternyata Sewu Dino (2023) kurang memuaskan bagi pembaca novelnya. Adaptasi yang dilakukan terbilang cukup berantakan, meskipun kualitas filmnya terlihat menjanjikan.

Lalu faktor apa yang membuat Sewu Dino (2023) terasa kurang memuaskan? Buat kamu yang penasaran, bisa mencari tahu sinopsis dan ulasan filmnya hanya di Bacaterus.

Sinopsis

sewu dino_

Jawa Timur tahun 2003, seorang gadis cantik tengah bercengkrama sambil menunggu barang yang dibelinya selesai disiapkan oleh penjual di pasar.

Gadis itu bernama Sri (Mikha Tambayong) yang bekerja sebagai pelayan di warung Yuk Minah (Maryam Supraba). Bagi gadis yang bahkan tidak lulus sekolah dasar ini, bekerja di warung Yuk Minah menjadi pilihan terakhir.

Namun biaya hidup dan pengobatan bapaknya terus membengkak, Sri harus mencari cara lain untuk mendapatkan uang lebih banyak. Kalau tidak, bapaknya akan bernasib sama seperti adiknya yang meninggal karena sakit.

Peruntungan itu datang ketika Yuk Minah memberikan selebaran mengenai keluarga Atmojo yang tengah mencari pembantu baru. Meski ragu, gaji 10 juta yang ditawarkan membuat Sri nekat untuk melamar pekerjaan di keluarga Atmojo.

Belum sempat ikut wawancara, nyali Sri ciut mendengar seorang gadis lulusan SMA ditolak mentah-mentah. Namun nasib berkata lain, suatu hari Sri tidak sengaja tertabrak mobil keluarga Atmojo, dan saat itulah ia bertemu langsung dengan Karsa Atmojo.

Anehnya, wanita itu tahu kalau Sri lahir di hari jumat kliwon. Bahkan, Karsa Atmojo dengan tegas menawarkan pekerjaan sebagai pembantu kepada Sri.

Mbah Karsa berkata, bahwa ia membutuhkan Sri untuk menjaga keluarganya. Sebaliknya, Sri membutuhkan Karsa Atmojo untuk menghidupi bapaknya. Sama-sama saling membutuhkan, akhirnya Sri menerima tawaran tersebut.

Setelah tawaran kerja itu diamini oleh Sri, Karsa Atmojo pun tiba-tiba mendekat dan memotong rambut Sri dengan sebilah pisau. Ia melakukan ritual aneh dan berkata bahwa kini Sri sudah terikat janji dengan Karsa Atmojo.

Keesokan harinya Sri mulai bekerja sebagai pembantu Karsa Atmojo. Sebelumnya Mbah Karsa sudah memberitahu, bahwa Sri akan menjaga cucunya yang bernama Della Atmojo.

Sugik (Rio Dewanto) ditugaskan untuk menjemput Sri dan dua pembantu lainnya. Anehnya, Sri tidak diantar ke kediaman Karsa Atmojo tapi ke sebuah rumah tersembunyi di dalam hutan.

Sesampainya di sana Sri terkejut, karena sosok Della Atmojo membuatnya bergidik ngeri. Gadis itu tertidur di bawah keranda mayat, kedua tangan dan kakinya diikat, perutnya membuncit dan tubuhnya mengeluarkan bau tidak sedap.

Menurut Mbah Tamin (Pritt Timothy) Della Atmojo terkena santet tua bernama ‘sewu dino’ atau santet 1000 hari.

Tugas Sri, Erna (Givina Lukita Dewi), dan Dini (Agla Artalidia) hanyalah merawat dan menjaga Della Atmojo hingga hari ke-1000. Mereka harus melakukan ritual bernama ‘basuh sedo’ atau membasuh mayat untuk menenangkan iblis yang tinggal di tubuh Della Atmojo.

Bermodalkan rekaman suara Mbah Karsa di sebuah kaset, mereka tidak boleh melewatkan satu perintah pun saat memandikan Della.

Dini yang sudah lama bekerja dengan keluarga Atmojo mengambil kesempatan pertama untuk memandikan Della. Belum selesai memandikan, tangan Dini digigit oleh Della. Sontak Sri dan Erna merasa kaget, keduanya berniat untuk kabur sebelum pingsan di tengah hutan. Sayang, mereka gagal untuk kabur.

Dini berkata, Sri dan Erna tidak bisa meninggalkan kediaman ini sebelum mereka menyelesaikan tugasnya menjaga Della. Ritual ‘gadai nyawa’ yang dilakukan dengan Karsa Atmojo membuat mereka terpaksa melakukan tugas gila itu selama empat hari.

Sepeningal Mbah Tamin dan Sugik, ketiga gadis ini bergotong royong menjaga Della Atmojo, hingga giliran Sri memandikan Della pun datang. Karena kelalaiannya, Della tiba-tiba mengamuk dan hampir saja membunuh Erna dan Dini.

Tak hanya itu, setiap malam Sri selalu bermimpi menemukan sebuah rumah di tengah-tengah ladang tebu. Ia mendengar suara Della Atmojo meminta tolong. Di sisi lain, Sri juga bertemu dengan seorang pria berbaju hitam yang berusaha membunuhnya. Sebenarnya apa yang sedang dihadapi oleh Sri?

Adaptasi yang Kacau dan Membosankan

Adaptasi yang Kacau dan Membosankan_

Sejak MD Pictures mengumumkan akan membawa Sewu Dino (2023) ke layar lebar, jujur saya memiliki ekspektasi lebih.

Setelah KKN Di Desa Penari (2022) yang terasa plek-ketiplek dengan thread, saya berharap film ini bisa memberikan banyak kejutan. Apalagi saat tahu Kimo Stamboel didapuk sebagai sutradaranya, saya berharap sisi gore-nya bakalan lebih gamblang.

Setelah menonton filmnya, saya dibuat terheran-heran. Alur cerita versi film ini terasa sangat berbeda dengan novel maupun thread.

Dari adegan pembuka saja sudah sangat berbeda. Awal film diceritakan Sri mendapatkan pekerjaan pasca ia tidak sengaja tertabrak Sugik, hingga akhirnya bertemu langsung dengan Mbah Karsa Atmojo. Sedangkan dalam novel, Sri mengikuti wawancara dengan Lidya, sebelum ia bertemu langsung dengan Karsa Atmojo.

Perubahan alur ini tidak mengagetkan, karena hal ini sudah biasa dilakukan oleh MD Pictures, membuat cerita baru yang akhirnya merusak cerita aslinya.

Jujur saja, adaptasi yang ditulis oleh Agasyah Karim dan Khalid Khasogi terasa gagal buat saya. Apalagi Sewu Dino (2023) tipikal film yang slow burning, saya harus menantikan keseruan hingga akhir film.

Harapan saya kepada Kimo Stamboel juga sia-sia, karena sense gore dalam film ini terasa biasa saja. Kalau membandingkan dengan Ratu Ilmu Hitam (2019), rasanya Kimo Stamboel agak melempem di film ini. Apalagi adegan final antara Sri dan Sabdo Kuncoro terasa kurang nendang.

Versi novelnya jauh lebih menyeramkan dan menegangkan dibanding dengan versi filmnya yang biasa saja.

Hapus Beberapa Momen dan Karakter Penting

Hapus Beberapa Momen dan Karakter Penting_

Hal yang paling terasa saat menonton Sewu Dino (2023) adalah banyaknya momen penting dan karakter yang sengaja dihilangkan.

Salah satu hal yang dihilangkan, yaitu adegan ketika Mbah Tamin mengetahui kalau Erna adalah mata-mata dari kelompok musuh. Selain itu, plot tentang Erna yang berusaha membunuh Sri dengan cara memanggil Sengarturih pun dihilangkan begitu saja dalam film.

Bahkan, Sewu Dino (2023) juga memangkas habis plot saat Sri, Dini, dan Della dibawa ke rumah Joglo, tempat kelahiran Della Atmojo. Upacara 1000 hari seharusnya dilakukan di Rumah Joglo, tapi semua itu diganti dengan rumah di tengah hutan.

Saya paham, kalau pemangkasan plot dilakukan untuk memaksimalkan durasi film. Tapi yang paling mengecewakan adalah saat Agasyah Karim dan Khalid Khasogi memangkas cerita mengenai Mbah Tamin. Padahal, Sewu Dino terasa menegangkan berkat kehadiran Mbah Tamin.

Mbah Tamin di dalam novel dan thread diceritakan sebagai sosok tangan kanan Karsa Atmojo. Tapi sayangnya, di film justru diperlakukan layaknya karakter yang tidak penting. Bahkan, ia hanya muncul di awal dan akhir cerita saja.

Fyi, karakter Mbah Tamin dalam novel ini bisa dikatakan sebagai ‘delivery man’. Dirinyalah yang mengantarkan rahasia-rahasia penting mengenai keluarga Atmojo dan santet sewu dino.

Alih-alih memperkuat karakter Mbah Tamin, Kimo Stamboel menggantikannya dengan fokus pada karakter Dini. Alhasil, kengerian dari santet 1000 hari ini terasa kurang maksimal karena sang ‘delivery man’ justru dihilangkan dari plot.

Sinematografi dan Efek Visual yang Nanggung

Sinematografi dan Efek Visualnya Nanggung_

Untuk pertama kalinya, saya merasa tidak puas menonton film arahan Kimo Stamboel. Sewu Dino (2023) yang saya harapkan menyuguhkan adegan berdarah yang sadis, justru terasa seperti film horor biasa.

Saya tidak tahu apa yang membuat Kimo Stamboel seakan kehilangan ciri khasnya. Menelisik kualitas filmnya, mengambil latar di tahun 2003, unsur tradisional dan kleniknya terasa kurang kuat.

Rumah Karsa Atmojo terasa kurang megah dan tradisional. Lalu unsur kleniknya, ritual yang dilakukan terasa tidak bernyawa terutama di bagian klimaks.

Di novel, Sri, Dini, dan Della dikirim ke alam sukma di malam sewu dino. Dalam balutan hujan deras, Mbah Tamin menggorok leher sapi dan membiarkan darahnya mengalir ke liang lahat tempat Sri, Dini dan Della bersemayam. Tapi di film, adegan menggorok sapi ini diganti dengan adegan lain.

Soal sinematografi, beberapa kali ada pergerakan kamera yang bikin pusing. Unsur horornya hanya bergantung pada hujan dan petir. Lalu pemilihan set yang "itu-itu saja" terasa monoton. Belum lagi efek visual utuk Sengarturih terasa agak mentah, meskipun karakter ini berhasil bikin penonton kaget.

Gambaran kuyang Sengarturih dalam Sewu Dino (2023) terlihat seperti sosok hantu di film awal 2000an. Kalau dibandingkan dengan film Inhuman Kiss (2019) asal Thailand yang menampilkan hantu serupa, jelas Sengarturih buatan Kimo Stamboel kalah telak.

Lalu detail-detail kecil, seperti luka dan darah, tiba-tiba hilang di beda-beda shot kamera, hal ini juga terasa agak mengganggu.

Skoring dan Gambaran Karakter yang Berbeda

Skoring dan Gambaran Karakter Yang Berbeda_

Hal lain yang membuat saya kurang puas saat menonton Sewu Dino (2023) adalah skoringnya. Untuk sebagian orang, tata musik yang digarap oleh Ricky Lionardi terasa menegangkan.

Musik-musik ala orkestra buatannya terasa menegangkan. Sayangnya, musik seperti ini kurang tepat jika dijadikan background music untuk film seperti Sewu Dino (2023).

Sebuah film yang mengisahkan santet kuno di Jawa Timur, justru tidak memiliki satupun musik yang berbau tradisional. Tidak ada musik gamelan di setiap ritual, yang ada hanya musik-musik ala film The Conjuring (2013) dan Insidious (2010).

Beralih ke karakter yang ada dalam film Sewu Dino (2023), satu-satunya yang mengganjal untuk saya adalah gambaran Karsa Atmojo.

Di novel, Karsa Atmojo disebutkan sebagai sosok wanita yang Anggun dan karismatik. Ia memakai kacamata tebal, berkebaya, lengkap dengan sanggulnya. Mata Karsa Atmojo terlihat cukup tajam, tapi bisa membuat orang yang diajaknya bicara terbuai dan nyaman.

Dalam versi film, Karina Suwandi dipercaya memerankan karakter Karsa Atmojo. Tampil dengan wajah dipenuhi borok, sisi anggun dan karismatik dari Karsa Atmojo hilang begitu saja. Tidak ada karakter wanita tua dengan kekuatan spiritual dan mengintimidasi.

Justru karakter yang terasa pas dengan deskripsi novelnya adalah Sabdo Kuncoro yang diperankan oleh Marthino Lio. Sedangkan, untuk karakter Della Atmojo yang diperankan Gisellma Firmansyah juga memuaskan, meski detailnya kurang.

Sewu Dino (2023) mungkin terasa thrilling untuk orang-orang yang tidak membaca thread dan novelnya. Memiliki banyak kekurangan, film arahan Kimo Stamboel ini tetap enjoyable untuk ditonton. Kamu hanya perlu mengikuti alurnya dan biarkan sense mistisnya naik secara perlahan.

Cukup direkomendasikan untuk ditonton, menurutmu apakah film ini lebih baik dari KKN Di Desa Penari (2022)?

cross
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram