bacaterus web banner retina

Sinopsis & Review Sergio (2020), Kisah Cinta Tragis Diplomat PBB

Ditulis oleh Dhany Wahyudi
Sergio
2.4
/5
PERHATIAN!
Artikel ini mengandung spoiler mengenai jalan cerita dari film/drama ini.

Seorang diplomat PBB terperangkap di reruntuhan hotel yang menjadi markas PBB di Irak setelah diserang oleh ledakan bom mobil yang memakan banyak korban jiwa.

Pergulatannya untuk bertahan hidup mengembalikan banyak kenangan bersama kekasih sekaligus rekan kerjanya saat mengusahakan kemerdekaan Timor Leste dari Indonesia.

Sergio adalah film drama biografi seorang diplomat PBB bernama Sergio Vieira de Mello di dua kisahnya saat bertugas di Timor Leste dan Irak. Tayang perdana di Sundance Film Festival pada 28 Januari 2020, film ini kemudian menjadi original film Netflix yang dirilis pada 17 April 2020.

Faktor menarik dari film karya sutradara Craig Borten ini ialah kisah Sergio sebagai mediator netral dalam kemerdekaan Timor Leste yang merupakan bagian dari sejarah bangsa Indonesia. Apakah film ini jujur dalam bertutur? Simak review kami berikut sebelum menontonnya.

Baca juga: 20 Film Biografi Terbaik di Dunia yang Wajib Ditonton

Sinopsis

Sinopsis

Irak, 2003. Sergio de Mello mendarat di bandara bersama timnya dari PBB sebagai perwakilan khusus dalam menangani konflik yang terjadi di negara yang baru saja menggulingkan kekuasaan Saddam Hussein itu.

Mencoba untuk bersikap netral, Sergio di bawah tekanan dari pihak Amerika Serikat untuk tunduk kepada regulasi darurat yang mereka jalankan di Irak.

Setelah mengunjungi beberapa pemimpin masyarakat Irak, yang tidak disukai oleh pihak Amerika, Sergio kembali ke Hotel Canal yang menjadi markas sementara PBB.

Setelah selesai melakukan rapat singkat, masing-masing tim bekerja sesuai tugas di ruangan masing-masing, menyisakan Sergio dan Gil yang meneruskan perbincangan tentang pro dan kontra kehadiran mereka.

Tiba-tiba sebuah ledakan besar terjadi, yang belakangan diketahui berasal dari bom mobil, membuat bangunan hotel runtuh. Sergio dan Gil terperangkap di bawahnya.

Dalam situasi terjepit ini, Sergio teringat pada kisah hidupnya di Timor Leste di tahun 1999 sampai 2002 dimana dia bertugas sebagai perwakilan PBB dalam transisi perpindahan pemerintahan dari Indonesia ke rakyat Timor Leste.

Sergio bertemu dengan Carolina, ahli ekonomi dari Argentina, yang berusaha menggerakkan perekonomian Timor Leste dengan memberikan modal lunak agar rakyatnya bisa memiliki usaha sendiri, salah satunya adalah usaha tenun kain tradisional.

Usaha Sergio untuk menjembatani pemerintah Indonesia dengan rakyat Timor Leste di bawah pimpinan Xanana Gusmao sempat menemui kebuntuan.

Permintaan Xanana Gusmao kepada pemerintah Indonesia untuk memberikan kemerdekaan kepada Timor Leste beserta permintaan maaf secara terbuka dari presiden Indonesia membuat posisi Sergio sulit.

Tapi berkat kemampuan diplomasinya yang baik, Timor Leste berhasil mendapatkan kemerdekaannya, sekaligus membuat tugasnya selesai dan segera kembali ke negaranya.

Hubungan asmara Sergio dan Carolina yang terbangun selama di Timor Leste berlanjut hingga Sergio mendapat tugas ke Irak di tahun 2003 dimana Carolina juga tergabung di dalam timnya sebagai ahli ekonomi.

Sebenarnya Carolina memaksa Sergio untuk menolak tugas ini, tapi rasa kemanusiaan Sergio yang besar tidak bisa digoyahkan. Dia berjanji ini adalah tugas terakhirnya.

Kembali ke Irak, dua orang tentara Amerika berhasil masuk ke dalam reruntuhan dan berusaha menolong mengeluarkan Sergio dan Gil.

Mereka berusaha sekuat tenaga sambil menunggu bantuan yang lebih lengkap datang. Gil berhasil selamat meski kakinya harus diamputasi, sedangkan Sergio dinyatakan meninggal dunia di dalam reruntuhan.

Diplomat Kharismatik yang Rendah Hati

Diplomat Kharismatik yang Rendah Hati

Sergio Vieira de Mello yang dilahirkan di Rio de Janeiro pada 15 Maret 1948 ini adalah sosok diplomat yang kharismatik, rendah hati dan sangat peduli dengan kemanusiaan. Sergio bekerja di PBB selama 34 tahun dan banyak berjasa dalam menyelamatkan banyak nyawa di wilayah konflik.

Beberapa tugas awalnya ialah terjun di perang kemerdekaan Bangladesh pada 1971, perang saudara Sudan pada 1972 (650 ribu jiwa berhasil diungsikan), dan pemisahan Siprus dari Turki pada 1974.

Sergio juga membantu pengungsi di Rhodesia (kini Zimbabwe) ke Mozambik yang saat itu sedang mengalami perang saudara setelah merdeka dari Portugis pada 1975. Lalu ke Peru selama tiga tahun.

Di dalam film terdapat satu adegan dimana Sergio melakukan diplomasi dengan Ieng Sary, pimpinan Khmer di Kamboja, yang merupakan temannya semasa kuliah di Sorbonne dahulu.

Lalu dia bertugas sebagai penasihat politik di Lebanon dari tahun 1981 sampai 1983. Di tahun 1985, dia berkantor di Buenos Aires, Argentina.

Tidak betah lama berada di kantor, Sergio terjun lagi ke wilayah konflik, antara lain membersihkan ranjau di Yugoslavia, Kosovo saat bertikai dengan Serbia di tahun 1999, permasalahan manusia perahu di Hong Kong, kudeta Fiji di tahun 2000, Timor Leste hingga tahun 2002, dan terakhir ke Baghdad di tahun 2003.

Kisah Romantis di Tengah Konflik

Kisah Romantis di Tengah Konflik

Film Sergio diangkat dari buku berjudul Chasing the Flame: One Man’s Fight to Save the World karya Samantha Power dan film dokumenter Sergio (2009) yang juga disutradarai oleh Greg Barker.

Sepertinya sineas spesialis film dokumenter ini punya ambisi tersendiri dengan hidup diplomat ulung asal Brasil ini dan dia mengungkapkan bahwa film terbarunya ini lebih fokus pada kisah cinta daripada diplomasi.

Oleh karena itu, jika kita ingin melihat perjalanan karirnya dan keahlian diplomasi Sergio, maka kita akan dibuat kecewa saat menonton film ini, karena tugas sebagai perwakilan PBB di wilayah konflik hanya menjadi latar belakang dari kisah cinta Sergio dan Carolina.

Jika ingin menyimak lebih jauh kisah hidupnya dan perjalanan diplomasinya, bisa tonton langsung film dokumenternya yang tersedia di Netflix juga.

Chemistry Apik Wagner Moura dan Ana de Armas

Chemistry Apik Wagner Moura dan Ana de Armas

Sebagai film yang lebih mengungkapkan kisah cinta Sergio, maka film dengan durasi 1 jam 58 menit ini cukup baik dalam memaparkannya.

Meski dalam bingkai waktu yang berbeda dan alur cerita non-linear, mungkin agak sedikit memusingkan, tapi nuansa romantisme mereka sangat lekat, berkat chemistry apik yang diperlihatkan Wagner Moura dan Ana de Armas.

Seperti yang kita pahami, plot utama cerita adalah saat setelah terjadi ledakan bom di hotel. Seluruh adegan flashback yang ditampilkan seolah adalah koleksi kenangan yang terlintas dalam benak Sergio menjelang kematiannya.

Dua kisah utama yang jalan berdampingan sebenarnya masih bisa dinikmati, meski ada dua bingkai waktu lagi yang dimasukkan, yaitu di Kamboja dan Brazil.

Sedangkan seting waktu di Baghdad dibagi dua lagi, yaitu pasca ledakan dan kejadian-kejadian menjelang ledakan.

Bingkai waktu yang banyak seperti ini memang berpotensi membuyarkan fokus film, tapi Greg Baker berusaha sekuat mungkin untuk tetap menjaga fokusnya pada kisah cinta Sergio. Walhasil, di beberapa adegan terjadi pengendoran ritme.

Bahkan mungkin sebaiknya adegan di Kamboja dan Brazil tidak perlu dimasukkan, karena juga tidak berpengaruh terhadap cerita.

Jika ingin memaksakan untuk ditampilkan, akan lebih efektif dan intim apabila melalui cerita dari Sergio sendiri dengan sedikit kilasan adegannya saja sebagai latar belakang.

Sergio tidak bisa digolongkan sebagai film biografi yang utuh, karena hanya mengambil beberapa serpihan dari kehidupan tokohnya dan lebih fokus pada kisah cintanya.

Tapi dengan sinematografi yang apik dalam pewarnaan sesuai lokasi dan bingkai waktunya, kita tetap bisa menikmati film yang mengambil lokasi syuting di Yordania (sebagai Baghdad yang panas) dan Thailand (sebagai Timor Leste yang tropis) ini.

Hal yang sangat menarik bagi kita rakyat Indonesia ialah sekelumit sejarah bangsa dalam konflik dengan Timor Leste (dulu Timor Timur saat masih menjadi salah satu provinsi di Indonesia).

Di film ini diceritakan bahwa Timor Leste dijajah atau diduduki oleh Indonesia, bukan menjadi bagian dari Indonesia, dan mereka menuntut kemerdekaan.

Dalam catatan sejarah internasional, FRETILIN yang merupakan organisasi separatis di Timor Timur sudah lebih dahulu mendeklarasikan kemerdekaan dari Portugal pada 28 November 1975 yang diikuti invasi militer Indonesia di bulan Desember dengan alasan kekhawatiran pengaruh komunis di wilayah Indonesia.

Lalu pada 17 Juli 1976, Timor Timur dinyatakan sebagai provinsi ke-27 Indonesia. Bagi Indonesia, FRETILIN adalah organisasi pemberontak. Sedangkan bagi FRETILIN, Indonesia adalah penjajah.

Dan film ini mengambil sudut pandang internasional (PBB) dimana kebenaran ada di pihak FRETILIN. Tidak usah dipusingkan dengan fakta yang masih kabur seperti ini, apalagi ini hanyalah film yang berdasarkan satu sudut pandang saja.

Dalam satu adegan ditampilkan Sergio dan Gil bertemu dengan presiden Indonesia saat itu, yaitu Gus Dur. Tidak ada kemiripan yang ditampilkan oleh pemerannya yaitu aktor asal Thailand, Vithaya Pansringarm.

Cukup mengecewakan tidak ada keterlibatan aktor Indonesia di film yang bercerita tentang sejarah Indonesia ini. Sebaiknya memang tidak perlu banyak kecewa, fokuskan saja pada kisah cinta Sergio dan Carolina.

Jika semua adegan di dalam film adalah rangkaian kenangan terakhir sang diplomat, maka sangat wajar jika wajah Carolina yang cantik selalu hadir, menandakan rasa cintanya yang besar kepada ahli ekonomi asal Argentina itu. Langsung play saja di Netflix, ya!

cross
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram