showpoiler-logo

Sinopsis dan Review Passing, Tekanan Batin Seorang Wanita

Ditulis oleh Dhany Wahyudi
Passing
3.5
/5
showpoiler-logo
PERHATIAN!
Artikel ini mengandung spoiler mengenai jalan cerita dari film/drama ini.

Hidup seorang wanita Afrika-Amerika yang merasa insecure dengan iklim diskriminasi rasialis di Amerika Serikat mendadak berubah menjadi lebih buruk.

Ini menyebabkan batinnya tertekan dengan kehadiran kembali seorang teman lama yang mengubah warna kulitnya menjadi lebih putih dan seolah terobsesi kepadanya serta menimbulkan kecemburuan karena kedekatannya dengan suaminya.

Passing adalah film drama yang menjadi debut penyutradaraan aktris Rebecca Hall. Film dengan warna monochrome ini, alias hitam-putih, dan penggunaan rasio layar 4:3 sudah mengindikasikan keseriusan tema dan esensi di dalamnya.

Tayang perdana di Sundance Film Festival pada 30 Januari 2021, film ini kemudian dirilis secara terbatas pada 27 Oktober 2021 dan di Netflix pada 10 November 2021.

Mengusung tema tentang ras dan etnis yang sangat sensitif, film ini akan mengupas perasaan seorang wanita sebagai istri, ibu dan teman dari sudut pandangnya secara intim dalam menyikapi setiap masalah yang hadir di hadapannya. Semakin penasaran dengan film ini, kan? Sebaiknya simak dulu review berikut sebelum menontonnya.

Baca juga: 20 Film Adaptasi Novel Indonesia Terbaik untuk Movie List-Mu

Sinopsis

Passing
  • Tahun: 2021
  • Genre: Drama
  • Produksi: Flat Five Productions, Picture Films, Significant Productions
  • Sutradara: Rebecca Hall
  • Pemeran: Tessa Thompson, Ruth Negga, Andre Holland

Irene Redfield, seorang wanita Afrika-Amerika yang memiliki kulit yang lebih terang secara tidak sengaja bertemu dengan teman lamanya, Clare Bellew, di sebuah restoran mewah di cuaca yang panas di kota New York.

Berbeda dengannya yang tetap memegang identitas sebagai warga Afrika-Amerika, Clare yang memiliki warna kulit yang lebih terang memilih mengaku sebagai wanita kulit putih.

Clare kemudian mengajak Irene ke hotel dimana dia dan suaminya menginap. Saat sedang berbincang, John, suami Clare, datang dan ikut dalam obrolan mereka, tetapi dengan nada membenci dan merendahkan warga kulit hitam

Tanpa dia tahu bahwa istrinya juga Irene adalah termasuk golongan yang dia remehkan tersebut. Irene menjadi tidak betah dan meminta izin untuk pulang.

Clare mengirimkan surat yang tidak langsung dibuka oleh Irene, justru suaminya, Brian, yang membacakan untuknya. Beberapa hari kemudian, tiba-tiba Clare sudah ada di depan pintu rumah Irene.

Meski kaget, Irene menerimanya sebagai tamu, dimana Clare bisa langsung dekat dengan kedua putra Irene dan asisten rumah tangganya.

Irene mengundang Clare untuk hadir di acara komunitas warga Afrika-Amerika yang juga dihadiri teman Irene dari kalangan warga kulit putih yaitu Hugh dan istrinya.

Hugh mengkritisi kehadiran Clare yang langsung dekat dengan Brian. Semakin hari Irene dan Clare semakin dekat. Ternyata mereka saling merasa cemburu dengan kondisi masing-masing.

Terpicu rasa cemburu karena kedekatan Clare dengan Brian, tensi emosi di rumah mulai menegang. Irene tidak setuju dengan pola asuh Brian kepada anak-anak mereka, salah satunya adalah menceritakan masalah rasialis yang ada di lingkungan mereka secara khusus dan di Amerika secara umum.

Pernah suatu malam, Brian dan Clare akan pergi ke permainan kartu di kota, tapi karena asisten rumah tangga mereka sedang pulang ke rumah ibunya, maka Irene memasrahkan diri menjaga kedua putranya di rumah dan merelakan mereka pergi berdua.

Setelahnya, setiap percakapan yang membahas tentang Clare, Brian selalu membela Clare seolah dia adalah orang yang paling dekat dengannya.

Di sebuah pesta yang digelar oleh Hugh, Irene sengaja tidak mengundang Clare. Tapi Brian justru mengundangnya datang yang membuat batin Irene semakin tertekan hingga menjatuhkan teko teh ke lantai.

Kemudian terjadi keributan di depan pintu yang ternyata adalah John, suami Clare, yang datang hendak menjemput istrinya. Dia memaksa masuk ke dalam apartemen.

Lalu apa yang terjadi kemudian? Akankah ada keributan di dalam pesta itu? Bagaimana kelanjutan hubungan Irene dan Clare seterusnya? Tonton film ini sampai habis dan bersiap untuk kejutan di akhir film.

Berdasarkan Novella era 1920an

Berdasarkan Novella era 1920an

Film Passing merupakan adaptasi dari novella karya Nella Larsen yang pertama kali terbit pada tahun 1929. Di dalam filmnya, kita tidak diberitahu seting waktu kisahnya secara spesifik.

Tetapi berdasarkan novella, kisah pertemanan Irine dan Clare ini berada di era 1920an di kota New York, lebih tepatnya di sekitar wilayah Harlem yang memang dihuni oleh mayoritas warga Afrika-Amerika.

Definisi passing sendiri adalah sebuah istilah dimana seorang warga Afrika-Amerika, terutama yang memiliki warna kulit sedikit lebih terang, berupaya mendandani kulit dengan makeup sehingga terlihat seperti berkulit putih, ditambah lagi dengan pakaian yang biasa dipakai oleh mereka.

Di adegan pembuka, kita melihat Irene melakukannya meski dengan banyak keraguan dalam dirinya. Tetapi tidak dengan Clare yang seolah berubah total menjadi wanita kulit putih, bahkan dia tidak membuka identitas asli dirinya kepada suaminya.

Memang di masa itu, masih terdapat pemisahan antara warga kulit putih dengan warga kulit berwarna lainnya di Amerika Serikat, terutama bagi warga keturunan Afrika-Amerika yang berkulit hitam.

Sempat disinggung secara tersirat tentang sebuah peristiwa yang menimpa seorang warga Afrika-Amerika yang dituduh menganiaya dua wanita kulit putih dan dihukum mati dengan penyiksaan yang sadis, dan ini dibiarkan oleh pemerintah.

Memang tidak ada penggambarannya secara eksplisit, tapi peristiwa ini turut mempengaruhi tensi emosi antara Irene dan Brian di rumah.

Tarik-Ulur Emosi Penuh Empati dan Kesedihan

Tarik-Ulur Emosi Penuh Empati dan Kesedihan

Pertemanan Irene dan Clare sejak bertemu kembali memang cenderung tidak harmonis, karena sempat terjadi tarik-ulur dalam hubungan mereka.

Pertemuan pertama diwarnai dengan Irene yang menarik diri karena komentar pedas suami Clare yang membenci dan merendahkan warga kulit hitam, tapi kemudian Clare datang meminta maaf dan pertemanan mereka kembali terjalin.

Sempat muncul hasrat terlarang tapi tidak terwujud, hubungan mereka kembali merenggang ketika Clare terlihat semakin dekat dengan Brian, bahkan membuat Brian seolah-olah membela Clare terus-menerus dalam setiap perbincangan tentangnya yang pasti mengundang kecemburuan Irene.

Tapi Irene lebih banyak memendam dukanya di hati dan hanya sekali bertengkar dengan Brian tentang dugaannya ini. Sebenarnya, Irene dan Clare memiliki rasa cemburu kepada kehidupan temannya tersebut.

Clare cemburu kepada Irene yang dianggapnya mampu memegang teguh prinsipnya sebagai wanita kulit hitam dan memiliki sikap moral yang baik, sedangkan Irene cemburu kepada Clare yang lincah, berjiwa bebas dan memiliki kepribadian yang mempesona.

Chemistry Apik Bersinergi dari Kedua Aktrisnya

Chemistry Apik Bersinergi dari Kedua Aktrisnya

Dengan fokus cerita pada dua sosok wanita ini, tentu saja performa akting dua aktris yang memerankannya mendapat sorotan lebih, dan Tessa Thompson serta Ruth Negga tampil tidak mengecewakan sama sekali.

Thompson yang membawakan karakter ibu rumah tangga yang merasa insecure dengan rumah tangga dan lingkungannya, tampil total dengan gestur yang meyakinkan.

Dalam sebuah adegan dimana Irene dan Clare terlibat perbincangan dengan John yang mengucapkan kalimat-kalimat penuh kebencian dan perendahan terhadap warga kulit hitam, meski dalam nada yang sopan, membuat hati Irene terasa tercabik-cabik.

Sikapnya yang mulai gelisah tapi harus berusaha tetap tenang mengundang ketegangan yang bisa dibilang setara dengan adegan car chase di film action.

Sedangkan Negga berhasil membawakan sosok Clare yang terbiasa dengan kehidupan kelas atas, mudah berbaur dengan siapa saja, dan memiliki pesona yang mampu menyihir semua pria, bahkan Brian pun terbius olehnya meski dia tidak mengakuinya.

Dengan pendekatan apik dalam menampilkan proses tekanan batin pada sosok seorang wanita kulit hitam di era 1920an yang masih kental dengan suasana diskriminasi rasialis.

Rebecca Hall terbukti memiliki tangan dingin sebagai sutradara bertalenta yang mampu menyajikan film dengan cerita yang sensitif seperti ini dengan keintiman yang mengesankan.

Kesan klasik di film berdurasi 1 jam 38 menit ini seolah tertancap dengan kuat berkat keapikan sinematografi tanpa warna dan iringan musik jazz yang populer pada masa tersebut yang mampu membawa perasaan kita masuk lebih dalam kepada pergolakan batin Irene.

Memang masih terlalu dini, tapi sepertinya Passing akan menjadi kandidat kuat di ajang Academy Awards berikutnya. Sebelum waktunya tiba, saksikan film ini sekarang di Netflix!

cross linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram