bacaterus web banner retina

Review dan Sinopsis Mortal Engines, Film Adaptasi Novel Fantasi

Ditulis oleh Yanyan Andryan
Mortal Engines
3.5
/5
PERHATIAN!
Artikel ini mengandung spoiler mengenai jalan cerita dari film/drama ini.

Film Mortal Engines berdasarkan dari novel dengan judul yang sama karya Philip Reeve terbitan tahun 2001. Hak cipta atas buku tersebut dibeli oleh pembuat trilogi Lord of the Rings, Peter Jackson, pada tahun 2009 lalu. Dalam Mortal Engines sendiri, Jackson bertindak sebagai produser, dan film ini diarahkan oleh Christian Rivers sebagai debut awalnya menjadi seorang sutradara.

Rivers sebelumnya adalah seorang storyboard artist dan supervisor di bagian efek visual. Ia pernah memenangkan Academy Award untuk Efek Visual Terbaik saat menggarap film arahan Jackson di tahun 2005 berjudul King Kong. Sementara itu, proses syuting Mortal Engines berlokasi di Selandia Baru dari bulan April hingga Juli 2017.

Sinopsis

Sinopsis

Selepas kehancuran yang melanda Bumi, sisa-sisa umat manusia yang masih hidup membentuk sebuah kota bergerak yang disebut dengan Kota Traksi. Sementara itu, kota-kota Traksi yang lebih besar berubah menjadi “kota predator” dengan berburu, dan menyerap permukiman yang lebih kecil di wilayah Great Hunting Ground, yang meliputi Inggris Raya, dan Eropa Kontinental.

Di tempat lain, sebuah permukiman pemberontak yang diberi nama, "Liga Anti-Traksi," mengembangkan peradaban alternatif di Asia yang dipimpin oleh Shan Guo. Permukiman tersebut dilindungi oleh sebuah tembok yang besar, menjulang tinggi, dan kokoh.

Kota Traksi London di bawah perintah Walikota Magnus Crome selanjutnya menangkap sebuah kota pertambangan kecil bernama Salzhaken. Tom Natsworthy, seorang sejarawan, lalu mengumpulkan Old-Tech milik Salzhaken untuk dibawa ke Museum London. Hester Shaw, seorang wanita yang berada bersama penduduk Salzhaken kemudian berhasil melarikan diri, dan bersembunyi di Kota London.

Hester ternyata mempunyai misi di kota tersebut, ia berusaha membunuh Thaddeus Valentine, Pimpinan Kelompok Sejarawan, yang telah membunuh ibunya. Namun, Tom ikut campur, dan mencoba untuk mengejar Hester. Tom lalu mengetahui jika Thaddeus adalah seorang pembunuh, ia merasa Hester bukanlah orang jahat. Namun, Thaddeus mendorong Tom dan Hester keluar dari Kota Traksi London.

Tom dan Hester lalu terpaksa harus bekerjasama agar bisa bertahan hidup di Hunting Ground yang liar, dan penuh bahaya. Keduanya kemudian terkurung di sebuah kendaraan bernama Scuttlebug. Sang pemilik kendaraan tersebut berniat menjual mereka sebagai budak.

Saat berada dalam kurungan, Hester lalu bercerita kepada Tom, bahwa Thaddeus membunuh ibunya setelah mencuri sepotong Old-Tech yang sangat berharga, dan mempunyai energi yang spesial. Sementara itu, Thaddeus mengirimkan sesosok robot pembunuh bernama Shrike untuk menemukan, dan membunuh Hester.

Scuttlebug selanjutnya sudah berada di pasar perbudakan yang berada di wilayah bernama Outlands. Akan tetapi, agen Liga Anti-Traksi, Anna Fang, berhasil menyelamatkan Tom dan Hester dari masalah tersebut. Tapi ancaman tidak berhenti di situ saja, Shrike telah menemukan keberadaan Hester, dan ia berusaha mengejarnya, serta membunuhnya.

Tanpa di diduga, Shrike adalah sosok robot yang membesarkan Hester setelah ibunya tewas di tangan Thaddeus. Dengan licik, Thaddeus ternyata telah membuat robot tersebut bertindak sebagai mesin pembunuh. Hester bersama Tom, harus berpisah dengan Anna Fang agar bisa melarikan diri dari Shrike. Keduanya juga mesti secepatnya menghentikan tindakan jahat yang akan dilakukan oleh Thaddeus.

Visual Dunia Fiksi yang Cukup Indah

Visual Dunia Fiksi yang Cukup Indah

Mortal Engines memiliki latar waktu di masa depan, dan memperlihatkan kondisi bumi dalam masa-masa paska bencana. Film ini diadaptasi dari novel fantasi yang cukup populer, dan berkat itu, Mortal Engines menjadi tontonan yang mempunyai daya tarik karena menampilkan dunia imajiner yang liar, dan unik.

Gambaran dunia fantasi yang bagus tersebut menjadi salah satu nilai positif dari film garapan Christian Rivers ini. Karena sebelumnya Rivers bekerja di bidang efek visual, maka tak heran film buatannya ini pun diproduksi sangat maksimal dalam hal sinematografinya. Film ini lalu memenangkan penghargaan untuk efek visualnya pada Visual Effects Society Awards ke-17 di tanggal 5 Februari 2019.

Selain itu, kolaborasinya dengan Peter Jackson cukup harmonis dalam menciptakan sebuah tontonan yang menyenangkan sekaligus menghibur. Di sini, kita yang menontonnya akan dibuat takjub oleh visual Kota Traksi yang bergerak menggunakan mesin canggih layaknya tank besar. Kota Traksi paling istimewa adalah “The City of London,” dan langsung diperlihatkan pada bagian awal film ini.

Tapi sayangnya, kota tersebut menjadi semacam “predator,” dan memangsa Kota Traksi paling kecil untuk mengambil Old-Tech milik mereka. Selain penggambaran Kota Traksi, film ini juga cukup baik dalam menampilkan situasi Bumi paska-apokaliptik, bentuk peradaban yang baru, hingga berbagai macam kendaraan unik lainnya.

Kemudian, hal yang menarik lainnya adalah film ini memperlihatkan bahwa barang-barang modern seperti komputer, handphone, pemutar musik, dan barang elektronik lainnya malah menjadi benda yang sangat langka dalam dunia Mortal Engines.

Sayangnya, Eksplorasi Ceritanya Malah Biasa Saja

Sayangnya, Eksplorasi Ceritanya Malah Biasa Saja

Penyajian cerita dari film Mortal Engines sebenarnya tidak terlalu buruk, dan tidak terburu-buru, apalagi rumit. Film ini di babak awal setidaknya sudah cukup baik saat menyuguhkan momen-momen penting, dan memberikan adegan konflik yang akan membawa kita ke dalam keseluruhan permasalahan di filmnya. Dari menit awal tersebut, kita sudah diajak kagum lewat visualnya, dan konflik awal yang disajikan.

Selepas beralih dari bagian pengenalan cerita, kita tentunya menunggu kejutan-kejutan yang bakal terjadi di babak pertengahan hingga menuju akhir. Namun sayangnya, semua itu tidak terjadi signifikan karena beberapa adegan dapat tertebak. Twist yang disajikan tidak dieksekusi secara baik oleh para pemerannya, sehingga jalan cerita selanjutnya menjadi biasa saja, walaupun harus diakui tetap menghibur, dan seru.

Hera Hilmar, yang berperan sebagai Hester Shaw, tampil cukup baik, dan lumayan menarik perhatian lewan perannya tersebut. Lalu, Hugo Weaving, yang di The Lord of the Rings berperan sebagai Elrond, dalam Mortal Engines ia memerankan sosok Thaddeus Valentine yang kejam. Perannya sebagai sosok antagonis lumayan mengancam, dan membuat film ini tidak kehilangan kualitasnya.

Selain itu, film ini juga bisa dibilang terlalu banyak menghadirkan karakter yang membuat ceritanya menumpuk. Mortal Engines kurang baik dalam mengeksplorasi ceritanya di pertengahan film menuju babak akhir. Tapi, film fantasi fiksi ini terbilang sangat menarik dalam menawarkan konsep “Kota Traksi,” yang menjadi peradaban baru semasa Bumi berada di kondisi paska-apokaliptik.

Mendapatkan Respon yang Beragam

Mendapatkan Respon yang Beragam

Pada November 2018, Phillip Reeve, penulis novel Mortal Engines, di akun twitter pribadinya memuji film arahan Rivers tersebut. Ia menyatakan bahwa Rivers telah melakukan pekerjaan yang luar biasa, sebuah film action yang besar, dan mengagumkan secara visual dengan kecepatan yang sempurna. Ada banyak perubahan pada karakter, dunia, dan cerita, tetapi secara fundamental masih sama.

Akan tetapi, pujian yang dilontarkan olehnya ternyata tidak selaras dengan beberapa ulasan yang diberikan oleh para kritikus. Di Rotten Tomatoes saja, Mortal engines memiliki rating persetujuan 26% berdasarkan 186 ulasan, dan nilai 4.91/10. Di Metacritic, film ini malah memiliki skor rata – rata, 44/100 berdasarkan ulasan dari 33 kritikus.

Dari segi pendapatan, Mortal Engines hanya meraup 83 juta dollar di seluruh dunia dari anggaran produksi yang mencapai 100 juta dollar. Lewat hasil minor yang didapatkan film ini, apakah Mortal Engines cukup mumpuni untuk ditonton? Jawabannya film ini masih patut dinikmati, terlepas dari ulasan yang kurang baik tersebut.

Mortal Engines masih menawarkan perspektif unik dalam menggambarkan situasi kehancuran Bumi di masa depan. Apalagi, visual sinematografinya sangat indah untuk dilihat dalam memperlihatkan kondisi tersebut. Toh, pada akhirnya selama kurang lebih dua jam, film ini setidaknya masih tetap menghibur, dan menyenangkan di saat yang sama.

cross
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram