bacaterus web banner retina

Sinopsis & Review Last Night in Soho, Terjebak di Tahun 60-an

Ditulis oleh Aditya Putra
Last Night in Soho
3.8
/5
PERHATIAN!
Artikel ini mengandung spoiler mengenai jalan cerita dari film/drama ini.

Beberapa orang sering membahas betapa mengagumkannya kehidupan di masa lalu. Terkadang dari sekadar obrolan, seseorang bisa ikut terpengaruh untuk mengetahui seluk-beluk tentang masa lalu.

Sering ditemui kalau orang-orang kerap membandingkan berbagai hal di masa lalu dengan yang sedang tren pada saat ini. Salah satu warisan dari masa lalu yang masih hidup sampai saat ini adalah dari bidang seni.

Karya seni seperti film, musik maupun buku dianggap sebagai penanda sebuah jaman. Di film Last Night in Soho, ada seorang perempuan muda yang begitu menyukai musik dari dekade 60-an tapi malah membawanya mengalami pengalaman mengerikan. Yuk, kita bahas lebih jauh dalam sinopsis dan review film berikut ini!

Sinopsis

last-night-in-soho-2_

Eloise “Elie” Turner adalah seorang remaja perempuan berusia 18 tahun yang menyukai musik-musik dari tahun 60-an. Seleranya itu terbentuk karena dia tinggal bersama neneknya, Peggy, setelah ibunya meninggal karena bunuh diri di London. Kecintaan Elie pada musik jaman dulu itu juga yang membuatnya ingin menjadi perancang busana.

Elie mendapat surat yang menyatakan bahwa dia diterima untuk kuliah di London College of Fashion. Peggy khawatir Elie akan kewalahan hidup di kota besar, terlebih sang cucu sering terlihat masih belum bisa melupakan bayang-bayang ibunya.

Tekad Elie yang kuat membuat Peggy luluh walau selalu memberi peringatan bahwa London bukanlah tempat yang ramah. Peggy meminta Elie pulang kalau seandainya nggak kuat.

Kepindahan Elie ke London langsung mendapat gambaran awal yang mengkhawatirkan. Ia digoda oleh sopir taksi yang hendak mengantarnya ke kampus. Pun ketika tinggal di asrama bersama teman-temannya, Elie dianggap sebagai perempuan aneh dengan selera musik dan gaya berpakaian yang ketinggalan zaman.

Merasa muak berada di lingkungan yang nggak nyaman, Elie memutuskan untuk pindah dan tinggal dengan menyewa apartemen. Ia menemukan harga apartemen yang affordable milik Ms. Collins. Merasa uang bulanannya nggak akan cukup untuk hidup sekaligus membayar sewa apartemen, Elie mengambil pekerjaan di pub.

Ketika tidur di kamar apartemen, Elie mengalami mimpi yang aneh. Ia masuk ke dekade 60-an dan masuk ke dalam sebuah tempat hiburan malam. Ketika melihat bayangan di cermin, Elie nggak melihat dirinya sendiri melainkan seorang perempuan yang menjadi magnet bagi pria. Perempuan itu mengenalkan diri sebagai Sandie.

Sandie masuk ke tempat hiburan malam dengan niat mendapatkan kesempatan untuk tampil bernyanyi. Dia dikenalkan pada Jack yang disebut-sebut dapat mengorbitkan karir Sandie sebagai penyanyi. Sandie dan Jack malah terlibat hubungan asmara. Jack memberikan Sandie kesempatan audisi di sebuah klub malam di Soho.

Elie mulai merasa excited bisa masuk ke dekade 60-an. Ia pun mulai mengubah penampilannya dengan mengecat rambutnya menjadi pirang dan menggunakan gaun jaman dulu.

Kehadiran Elie diperhatikan betul oleh John, teman sekelasnya yang pernah mengambil minuman soda di kulkas asrama. John mulai mendekati Elie tapi Elie terlalu tenggelam pada kegiatan favoritnya, bermimpi masuk ke zaman dahulu.

Elie mulai dihantui sosok-sosok pria mengerikan di kamarnya. Ia kembali bermimpi dan hidup bersama Sandie. Sandie yang dijanjikan Jack akan dijadikan penyanyi, justru harus terjebak dalam dunia hitam.

Sandie dipaksa menari di atas panggung dengan melucuti pakaiannya. Bukan itu saja, dia juga dipaksa melayani pria hidung belang dengan dalih akan memuluskan langkahnya menjadi penyanyi.

Elie mulai curiga bahwa bayangan-bayangan yang dilihatnya yang memiliki hubungan dengan Sandie. Ia mengira Sandie tewas di tangan salah seorang pria. Di pub, seorang pria tua mengatakan bahwa Ia seperti mengenal Elie. Elie mencurigai pria itu sebagai penyebab tewasnya Sandie. Bisakah Elie membongkar apa yang sebenarnya terjadi pada Sandie?

 Penggunaan Tempo Pelan

last-night-in-soho-3_

Dalam setengah jam pertama Last Night in Soho, kita akan dibawa mendalami karakter Elie yang naif, punya selera vintage dan kesulitan untuk bersosialisasi dengan sekitar.

Kepindahan Elie ke London pun langsung digambarkan begitu sulit dijalani. Diawali dengan digoda sopir taksi, sampai punya lingkungan baru yang toksik cukup menguatkan betapa sulitnya hidup seorang diri di kota besar.

Memasuki second act, nuansa horror perlahan-lahan dihadirkan secara perlahan. Sosok bayangan-bayangan pria mengerikan mulai meneror Elie di kamarnya.

Kemunculan sosok itu yang tiba-tiba berhasil mengejutkan dengan dikemas menggunakan jumpscare. Tapi pengulangan berkali-kali membuat rasa ngeri itu nggak efektif lagi merangsang ketakutan.

Horror secara psikologis tergambar dalam kehidupan Elie yang mulai terganggu karena sering “pergi” ke dekade 60-an dan mencoba memecahkan misteri yang menimpa Sandie.

Kondisi psikisnya mulai terganggu, dibuktikan dengan adegan dia menggunting gaun buatannya sendiri di kelas. Puncaknya adalah psikisnya terganggu sampai akan menusuk temannya dengan gunting.

Nostalgia ke Dekade 60-an

last-night-in-soho-4_

Edgar Wright merupakan sutradara yang kerap menyelipkan musik-musik zaman dulu ke dalam film-filmnya. Di Last Night in Soho, sutradara asal Inggris itu secara total menjadikan dekade 60-an sebagai salah satu sumber konflik dari plot utama.

Jadi yang dia sertakan bukan hanya musik, melainkan fashion sampai warna-warna neon untuk menguatkan glamornya dekade tersebut.

Secara sinematografi, film ini bisa mengambil adegan-adegan yang menampilkan betapa indahnya dekade 60-an. Ada dua adegan yang menonjol. Pertama, adegan Elie bercermin ketika masuk ke dalam klub malam.

Cermin dijadikan media untuk membuat karakter Elie dan Sandie menyatu padahal mereka memiliki dua kepribadian yang bertolak belakang. Kedua, adegan dansa di klub. Jack yang berdansa dengan Sandie kemudian berganti dengan Elie.

Visualisasi dalam film ini layak diacungi jempol. Selain berhasil menjembatani dua masa yang berbeda secara mulus dengan editing cepat. Perubahan tone pun dijadikan andalan dengan Elie yang banyak menggunakan elemen abu, hitam atau putih, sedangkan Sandie lebih berwarna.

Hal itu dimaksudkan untuk mendeskripsikan karakter Sandie yang penuh warna seiring dengan keinginannya menjadi penyanyi di klub-klub malam.

Penampilan Thomasin McKenzie dan Anya Taylor-Joy

last-night-in-soho-5_

Thomasin McKenzie di Last Night in Soho berperan sebagai Elie. McKenzie nggak terlihat kesulitan untuk masuk ke dalam karakter perempuan muda yang naif dan menyukai dekade 60-an sebagai pelarian dari kehidupannya yang dirasa monoton.

Dia juga bisa tampil meyakinkan ketika melakoni adegan yang mengharuskannya memperlihatkan ekspresi kaku, gelisah sampai ketakutan.

Anya Taylor-Joy nggak kalah cemerlang tampil di film ini. Dia bisa menjadi Sandie yang penuh percaya diri bahkan menyanyikan lagu Downtown milik Petula Clark.

Seiring cerita berjalan, Taylor-Joy mengalami perubahan menjadi lebih depresif sebagaimana mimpinya semakin jauh dan harus terjerumus dalam dunia yang nggak diinginkannya. Ekspresi serta gesturnya pun sangat baik untuk memperlihatkan bahwa karakternya menyimpan misteri.

Last Night in Soho berjalan secara pelan di awal sampai kemudian menaikan intensitasnya di second dan third act.

Durasi selama 116 menit terasa sebentar dengan cerita film ini yang seru, penuh misteri, twist di momen yang tepat, serta visualisasi dan musik pengiring yang menyenangkan. Menurutmu karakter siapa yang lebih menarik? Sandie atau Elie? Tulis di kolom komentar, yuk!

cross
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram