bacaterus web banner retina

Sinopsis dan Review Film Guru Bangsa Tjokroaminoto (2015)

Ditulis oleh Dhany Wahyudi
Guru Bangsa Tjokroaminoto
3.5
/5
PERHATIAN!
Artikel ini mengandung spoiler mengenai jalan cerita dari film/drama ini.

Keresahan Tjokroaminoto melihat penjajahan dan ketidakadilan di Indonesia membuatnya berjuang melalui jalur politik dengan mendirikan organisasi Sarekat Islam yang mewadahi berbagai pemikiran anak bangsa dan membela hak rakyat kecil yang berujung pada usaha membentuk pemerintahan sendiri dimana membuat dirinya berkali-kali berurusan dengan pemerintah Hindia Belanda.

Guru Bangsa Tjokroaminoto adalah sebuah film drama biografi tokoh besar bangsa Indonesia yang disutradarai oleh sineas senior Garin Nugroho.

Menggelar kisah perjuangan Tjokroaminoto dari awal mula hingga ke akhir hayatnya, film ini coba menampilkan fase demi fase dalam kehidupan beliau dan pengaruhnya kepada perjuangan bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Apakah film ini akan tampil seperti film-film biografi pahlawan Indonesia lainnya? Simak review kami dari film yang kini sudah bisa ditonton di Netflix ini.

Baca juga: 10 Film Biografi Indonesia yang Wajib Ditonton Pecinta Film!

Sinopsis

Guru Bangsa Tjokroaminoto
  • Tahun: 2015
  • Genre: Drama, Biography, History
  • Produksi: MSH Films, Pic[k] Lock Productions, Yayasan Keluarga Besar HOS Tjokroaminoto
  • Sutradara: Garin Nugroho
  • Pemeran: Reza Rahadian, Putri Ayudya, Christine Hakim

Surabaya, 1912. Tjokroaminoto berada di ruang interogasi sebuah penjara. Beliau diminta untuk menjelaskan keterlibatannya dalam sebuah peristiwa di Garut.

Cerita beralih ke awal mula perjuangan Tjokroaminoto sejak kecil hingga menikah dengan Soeharsikin. Ketika beliau bekerja di pabrik karet sebagai juru ketik, beliau melihat ketidakadilan pimpinannya kepada kaum buruh.

Keputusannya untuk mengundurkan diri dari pekerjaan dan pergi ke Semarang meninggalkan istrinya, membuat mertuanya yang seorang bupati marah.

Mencari makna hijrah, beliau bertemu dengan seorang pengusaha yang terkesan dengan kharisma dan kepemimpinannya. Dia menyarankan beliau untuk ke Surabaya sebagai titik awal hijrahnya.

Bersama istri dan putrinya, Tjokroaminoto pindah ke Surabaya dan bekerja di sebuah firma sambil menulis dan memimpin surat kabar Bintang Surabaya.

Di tahun 1912, pimpinan Sarekat Dagang Islam yang saat itu dibekukan oleh pemerintah Hindia Belanda, Haji Samanhudi, mengajak Tjokroaminoto bergabung dan mereka membentuk organisasi baru bernama Sarekat Islam.

Organisasi ini diterima oleh masyarakat Indonesia, terutama rakyat miskin, kemudian bergerak cepat membuka banyak cabang di seluruh Jawa.

Karena keahliannya dalam menulis dan berpidato, juga kharismanya yang besar, banyak julukan yang kemudian disematkan padanya, antara lain “Satrio Piningit”, “Yang Utama”, dan “Raja Jawa Tanpa Mahkota”.

Harapan masyarakat Indonesia sangat besar kepadanya, dari kalangan buruh, petani, hingga kaum cendekiawan, menganggap beliau sebagai pemimpin mereka.

Rumah tinggal beliau dihuni oleh para pemuda yang kelak menjadi para pemimpin bangsa, antara lain Koesno dan Semaoen. Kemudian Agus Salim yang pernah bekerja sebagai penerjemah pemerintah juga turut bergabung.

Kapasitasnya sebagai pemimpin kharismatik berhasil meredakan pertikaian antara warga Tionghoa dan Pribumi di Surabaya. Sejak itu, namanya semakin dikenal, ditambah lagi tulisan-tulisannya di beberapa surat kabar semakin tajam dan dianggap berbahaya oleh pemerintah Hindia Belanda.

Sementara itu, beberapa murid beliau, seperti Semaoen dan Moeso ikut bergabung juga dengan organisasi lain yang dipimpin oleh tokoh sosialis Belanda, Sneevliet.

Mereka bergerak melalui aksi-aksi fisik, seperti penjarahan hasil bumi yang dibawa oleh tentara Belanda. Bahkan mereka juga membuat riak dan gejolak di tubuh Sarekat Islam yang membuat organisasi ini nantinya terpecah.

Sebuah insiden berdarah yang melibatkan kaum buruh di Garut dijadikan alasan penangkapan Tjokroaminoto. Beliau kemudian menulis pledoi setelah berhasil mematahkan dakwaan pemerintah Hindia Belanda kepadanya.

Tjokroaminoto kembali ke keluarganya disaat pemerintah Hindia Belanda berlaku semakin kejam kepada rakyat Indonesia dengan berbagai penangkapan dan adanya jam malam.

Soeharsikin mulai sakit-sakitan dan akhirnya wafat ketika Tjokroaminoto sedang berpidato di depan rakyat Indonesia di halaman rumahnya. Mereka semua berduka.

Kental dengan Kesan Megah dan Mewah

Kental dengan Kesan Megah dan Mewah

Garin Nugroho dikenal sebagai sutradara senior yang memiliki deretan film yang bernilai artistik tinggi dan puitis. Ciri khasnya ini dia bawa juga ke dalam film Guru Bangsa Tjokroaminoto, tetapi kali ini dalam porsi yang minimalis karena film ini juga harus memiliki nilai komersial.

Beberapa adegan puitis dan artistik di dalamnya antara lain penampilan seni daerah dan adegan menyanyi lagu klasik. Kesan autentik pada film ini juga cukup kuat dengan tidak adanya cela di sisi tampilan setting lokasi dan kostum yang dikenakan oleh para pemerannya.

Jadi wajar kedua bidang ini mendapat Piala Citra di kategori Tata Artistik Terbaik dan Tata Busana Terbaik. Dan yang tidak kalah ialah sinematografi yang sangat indah dan bisa menangkap nuansa semua suasana yang dibutuhkan. Sinematografi film ini juga meraih Piala Citra.

Alur cerita yang menggunakan kilas balik setelah adegan pembuka yang menjadi puncaknya mampu membuat kita menyimpan rasa penasaran tentang bagaimana perjuangan Tjokroaminoto dan apa yang menyebabkan beliau berada di penjara tersebut.

Setelah kembali ke adegan pembuka, tensi film menjadi turun dan berakhir dengan wafatnya istri tokoh yang juga sering dipanggil dengan “Yang Utama” ini.

Deretan Pemeran Cemerlang

Deretan Pemeran Cemerlang

Tentu saja, nama besar Garin Nugroho seolah magnet bagi para aktor dan aktris di Indonesia yang kemudian ambil bagian di film ini, meski beberapa diantara mereka hanya mendapat peran kecil.

Reza Rahadian didapuk sebagai Tjokroaminoto, dan dia membawakannya dengan sangat baik, mulai dari ekspresi, kelantangan dalam berpidato, hingga gaya berjalannya. Sungguh kharismatik!

Christine Hakim dan Chelsea Islan hanya tampil di beberapa adegan singkat saja yang terlihat tidak mempengaruhi jalan cerita, tapi nyatanya, peran mereka mewakili masalah, hati dan perasaan rakyat Indonesia di masa itu, meski agak aneh ketika Stella bisa berkali-kali bertemu dan memaksa Tjokroaminoto untuk berdialog dengannya.

Mungkin sebaiknya, permasalahan yang ada di masyarakat ditemukan dan disampaikan oleh salah satu murid Tjokroaminoto yang terpelajar, seperti Koesno dan Semaoen.

Bukankah mereka juga dekat dengan rakyat sekitar? Akting para pemeran senior di dalam film ini tidak perlu diragukan lagi performanya, termasuk mendiang Alex Komang dimana film berdurasi 2 jam 41 menit ini adalah film terakhirnya.

Bahkan ada beberapa aktor yang berhasil “mengagetkan” kita dengan akting gemilangnya, yaitu Ibnu Jamil sebagai Agus Salim dan Deva Mahenra sebagai Koesno.

Selain itu ada juga yang selalu memancing tawa setiap kali dia hadir, yaitu Mbak Unit yang berperan sebagai Mbok Toen. Ini adalah bukti betapa Garin Nugroho mampu mengarahkan akting para pemerannya dengan sangat baik sekali.

Tjokroaminoto dalam Bingkai Sejarah

Tjokroaminoto dalam Bingkai Sejarah

Haji Oemar Said Tjokroaminoto dilahirkan dari keluarga priyayi pada 16 Agustus 1882. Di dalam film diceritakan bahwa beliau lahir bertepatan dengan meletusnya Gunung Krakatau, padahal gunung berapi di Selat Sunda itu meletus pada 27 Agustus 1883. Mungkin fakta ini harus dijelaskan lebih lanjut oleh penulis naskah Erik Supit dan Ari M. Syarif.

Tjokroaminoto sekolah di OSVIA, sekolah administrasi pemerintahan yang dikenal sebagai pencetak pegawai-pegawai pemerintah Hindia Belanda. Beliau juga melanjutkan sekolah di Burgerlijke Avondschool, sekolah teknik mesin di Surabaya (yang tidak diceritakan di dalam film) sembari dia menulis untuk surat kabar Bintang Surabaya.

Ketika beliau menjadi ketua Sarekat Islam, pemikiran dan aksinya menjadi harapan bagi rakyat Indonesia untuk lepas dari penjajahan. Tjokroaminoto memiliki tiga murid utama yang setelahnya berada pada posisi berbeda dalam sejarah bangsa Indonesia.

Kita sudah mengenal Soekarno (dalam film masih bernama Koesno) yang berpaham nasionalis dan menjadi presiden pertama Indonesia. Lalu ada Semaoen yang terkontaminasi pemikiran sosialis karena dekat dengan Sneevliet.

Dalam perjalanan organisasi, Semaoen dan Moeso dikeluarkan dari Sarekat Islam atas saran dari Abdul Muis dan Agus Salim, karena sudah memecah organisasi menjadi dua (mereka membentuk Sarekat Islam Merah seperti yang tersirat di dalam film yang berafiliasi dengan paham komunis).

Semaoen ini kemudian menjadi ketua Partai Komunis Indonesia. Karena rencana demonstrasi besar-besaran pada tahun 1923, Semaoen diasingkan ke Belanda kemudian ke Uni Soviet.

20 tahun kemudian dia dipulangkan ke Indonesia, sudah terputus dari Partai Komunis Indonesia yang membuat pemberontakan di tahun 1948 pimpinan Moeso, dia menjadi penasihat Presiden Soekarno. Sedangkan satu murid Tjokroaminoto lainnya, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, tidak diceritakan di dalam film.

Murid beliau yang satu ini sangat kokoh memegang syariat Islam dan dinyatakan sebagai pemberontak dengan Darul Islam yang mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) di tahun 1949. Rekan seperjuangannya, Agus Salim, pernah membujuknya agar kembali tapi gagal. Beliau ditangkap pada 1962.

Melihat ketiga murid utamanya, masih ada murid Tjokroaminoto lainnya yang juga berperan dalam sejarah Indonesia seperti Alimin dan Tan Malaka, tokoh pergerakan Indonesia ini bisa disebut sebagai bapak bangsa dengan kekayaan pemikirannya yang beliau tularkan kepada para muridnya.

Meski Tjokroaminoto sangat terbuka dengan semua pemikiran, selama tidak mengarah kepada kekerasan, beliau adalah seorang Muslim yang taat yang memegang kuat prinsip “Iman-Hijrah-Jihad” seperti yang terdapat di dalam Al-Qur’an.

Salah satu fase prinsip ini, yaitu Hijrah, selalu didengungkan di dalam film sebagai patokan utama pemikirannya dalam mengubah kehidupan bangsa menjadi lebih baik.

Ucapan beliau yang terkenal ialah “Setinggi-tinggi ilmu, sepintar-pintar siasat, semurni-murni tauhid” yang menyatakan bahwa yang membuat sebuah bangsa bisa berjaya ialah Tauhid. HOS Tjokroaminoto diangkat menjadi Pahlawan Nasional pada tahun 1961.

Semoga usaha dan jasa beliau dalam perjuangan memerdekakan Indonesia mendapat balasan pahala yang besar dari Tuhan Yang Maha Esa.

Guru Bangsa Tjokroaminoto menambah satu lagi film biografi tokoh bangsa yang memiliki nilai autentik yang tinggi. Tidak ada alasan lain untuk tidak menontonnya.

Kita akan disuguhkan oleh penceritaan yang detail dengan nuansa historis yang baik. Film yang meraih tiga Piala Citra ini wajib masuk daftar tonton kalian dan segera simak filmnya di Netflix.

cross
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram