showpoiler-logo

Sinopsis & Review Gita Cinta dari SMA (2023), Kisah Cinta Galih & Ratna

Ditulis oleh Suci Maharani R
Gita Cinta dari SMA
2.2
/5
showpoiler-logo
PERHATIAN!
Artikel ini mengandung spoiler mengenai jalan cerita dari film/drama ini.

Galih dan Ratna adalah pasangan kekasih legendaris yang berhasil mempengaruhi banyak pasangan muda di tahun 80-an. Ingin memperkenalkan kisah cinta klasik mereka kepada generasi muda, Monty Tiwa menghadirkan remake dari Gita Cinta dari SMA (1979) karya sutradara Arizal.

Lika-liku perjuangan cinta Galih dan Ratna di bangku SMA, kisah cinta klasik ini bakalan bikin penontonnya baper. Tak hanya mempertahankan judul yang sama, Monty Tiwa sengaja mengambil set di tahun 70-an agar membawa kesan nostalgia.

Dalam versi terbarunya, Yesaya Abraham dan Prilly Latuconsina akan didapuk sebagai pasangan Galih dan Ratna. Tapi bisakah kedua aktor muda ini mengalahkan kemistri kuat dari Rano Karno dan Yessi Gusman, serta benarkah film ini cocok untuk Gen Z?

Buat kamu yang penasaran dengan kisah cinta Galih dan Ratna yang penuh lika-liku. Jangan lupa untuk membaca sinopsis dan ulasan film Gita Cinta dari SMA (2023) berikut ini ya!

Baca juga: Inilah 20 Drama Indonesia Terbaik yang Wajib untuk Ditonton

Sinopsis

Sinopsis

Pagi itu sekolah kehadiran seorang murid baru, gadis pindahan dari Indramayu ini dikenal dengan nama Ratna (Prilly Latuconsina). Parasnya cantik, senyumnya manis dan Ratna adalah gadis yang terlihat mudah untuk berbaur dengan kawan-kawan barunya di kelas.

Namun bapak kepala sekolah sudah mewanti-wanti seluruh siswa, bahwa ayah Ratna meminta para pria untuk tidak mendekati putrinya. Di sisi lain, hari pertama Ratna dialihkan dengan sosok pria tampan yang membuat hatinya berbunga-bunga.

Pria itu bernama Galih (Yesaya Abraham), seorang siswa teladan dengan kemampuan bernyanyi yang luar biasa. Namun agak sulit untuk masuk dalam dunianya Galih, karena pria itu amat sangat pendiam dan sulit untuk didekati.

Hari berganti hari, tanpa sengaja Ratna melihat Galih tengah berlatih sendirian di ruang musik. Pria itu memainkan gitarnya dengan sangat baik, belum lagi suaranya yang indah membuat Ratna hanyut.

Tanpa terasa kakinya bergerak mengikuti alunan lagu yang dinyanyikan oleh Galih. Hari itu untuk pertama kalinya Galih dan Ratna saling berpandangan dan berbicara kepada satu sama lain.

Sejak saat itu cinta mulai tumbuh diantara keduanya, Meski hubungan mereka berjalan sangat lambat, tapi secara perlahan Ratna mulai bisa masuk dalam hidup Galih.

Melihat Ratna yang begitu ceria dan selalu menerima segala kesederhanaannya, membuat Galih dimabuk asmara. Sayangnya cinta ini tidak bertahan lama, karena ayah Ratna (Dwi Sasono) tidak merestui mereka.

Ditambah lagi sabotase dari Anton (Fadi Alaydrus) kerap membuat pasangan ini kesusahan. Puncaknya, diam-diam ayah Ratna menemui Galih di toko kaset dan buku bekasnya.

Pria itu berkata, kalau Galih tidaklah sepadan dan satu kasta dengannya atau sang putri. Ayah Ratna sampai nekat menahan putrinya untuk bersekolah, sebelum Galih mengirimkan surat pernyataan putus.

Ratna merasa sangat sedih, bahkan Galih sampai dilarang berada di satu kelas yang sama dengannya. Semua murid di sekolah menjadi mata-mata, ayah Ratna ingin memastikan bahwa putrinya tidak berdekatan lagi dengan Galih.

Namun yang membuat Ratna sangat hancur, gadis ini merasa Galih benar-benar menjauhinya dan tidak mau berusaha untuknya. Galih pun merasakan kekecewaan yang sama, bahkan ia menyesali kenapa ayahnya hanya seorang musisi jalanan dan penjual buku hingga kaset bekas.

Lambat lahun Galih sadar, hal yang perlu dilakukannya hanya menunjukkan bahwa ia memiliki masa depan yang cerah kepada ayah Ratna. Sayang, impian ini kembali patah karena Ratna malah pindah ke Jogja dan dijodohkan dengan pria lain. Inilah akhir dari kisah cinta Galih dan Ratna?

Remake yang Kurang Friendly dengan Gen Z

Remake yang Kurang Friendly dengan Gen Z

Dalam sebuah wawancara, Monty Tiwa mengaku sangat bersemangat untuk membagikan salah satu karya legendaris Eddy D. Iskandar dan sutradara Arizal pada anak muda.

Sejak menonton trailer-nya, jujur saya memiliki ekspektasi tinggi untuk Gita Cinta dari SMA (2023) karya Monty Tiwa. Bahkan saya sampai mencari film pendahulunya Gita Cinta dari SMA (1979), saking excited-nya.

Sayang, setelah menonton filmnya saya merasa sangat kecewa dan tidak puas sama sekali. Kisah cinta Galih dan Ratna yang begitu melegendaris, dieksekusi dengan cara yang sangat membosankan.

Pertama alur ceritanya benar-benar sangat lambat, hingga saya terus saja menguap dari waktu ke waktu. Kisah cinta Galih dan Ratna benar-benar sama seperti yang ada di film pendahulunya dan tanpa perubahan.

Tidak ada hal yang dikurangi atau ditambah, bahkan tidak ada kejutan yang bikin filmnya terasa wah. Prilly Latuconsina juga menambahkan, bahwa film ini sangat friendly untuk Gen Z.

Meski saya bukan Gen Z, tapi cerita Galih dan Ratna versi ini terlalu monoton, klise dan cheesy. Ini bukan hal yang disukai oleh remaja masa kini dan bukan hal yang diekspektasikan juga oleh para penggemar film aslinya.

Alurnya terasa hambar dan kurang greget, belum lagi development karakternya berat sebelah. Yang paling mengganggu adalah development karakter ayah Ratna.

Ada banyak tanda tanya, kenapa pria ini begitu membenci Galih? Selain soal perbedaan kasta, perbuatan ayah Ratna merenggut cinta Ayu juga sangat berhubungan. Sayangnya kedua karakter ini hanya dijadikan pemanis saja.

Dialognya Terlalu Baku dan Kaku

Dialognya Terlalu Baku dan Kaku

Dibintangi oleh deretan aktor muda, Monty Tiwa menjelaskan bahwa ia ingin membagikan karya legendari dari Eddy D. Iskandar pada generasi muda. Seperti yang kita tahu, banyak dari Gen Z yang tidak mengenal sosok Galih dan Ratna, serta kisah cinta mereka yang melegendaris.

Untuk menyesuaikan Monty Tiwa menggandeng deretan aktor muda, Yesaya Abraham sebagai Galih dan Prilly Latuconsina sebagai Ratna. Namun keputusan Monty Tiwa mempertahankan judul dan set tahunnya, ternyata jadi boomerang.

Karena para aktor muda pilihannya terlihat tidak bisa menyesuaikan diri dengan dialognya. Baik Prilly Latuconsina, Yesaya Abraham hingga Arla Ailani, Chantiq Schagerl dan Abun Sungkar gagal mengeksekusi dialog-dialog bakunya dengan natural.

Mereka terlihat agak kesulitan untuk mengucapkan dialog berbahasa baku tersebut, sehingga setiap kalimatnya terasa sangat kaku. Alhasil baik ekspresi dan dialog yang dikeluarkan tidak memiliki emosi yang klop.

Kesulitan yang dirasakan oleh aktor muda, justru bisa diatasi oleh deretan aktor senior seperti Dwi Sasono, Putri Ayudya, Dewi Gita dan Unique Priscilla.

Ratna dan Galih, Klik tapi Tidak Klop

Ratna dan Galih, Klik Tapi Tidak Klop

Selain kegagalan Prilly Latuconsina dan Yesaya Abraham dalam mengeksekusi dialog berbahasa baku, ada hal lain yang bikin saya kurang sreg.

Entah kenapa, saya berpikir ada yang tidak beres diantara Prilly Latuconsina dan Yesaya Abraham. Menelisik dari akting, jujur saya keduanya terlihat sangat berusaha untuk menampilkan gambaran karakter yang seperti Rano Karno dan Yessy Gusman.

Penampilan keduanya terlihat sangat manis, saya bisa merasakan ada komunikasi yang baik diantara keduanya. Pasangan ini terlihat klik dari luar, namun jika ditelisik lebih dalam kemistrinya justru terasa kurang klop.

Bagaimana bisa? Saya pikir semua ini terjadi karena keduanya tidak nyaman dengan dialog-dialog yang harus disampaikan, sehingga emosi mereka tidak keluar dengan natural.

Lalu kisah cinta Galih dan Ratna di awal, berjalan dengan plot yang sangat lambat tapi tidak memiliki impact. Saya pikir karena alur pdkt mereka sangat panjang dan dipenuhi dengan adegan cringe yang bikin kamu menggeliat saat menontonnya.

Mungkin karena hubungan yang innocent seperti ini sudah tidak relate dengan jaman sekarang, sehingga ada kesan mengganjal saat melihat kemistri keduanya.

Set dan Soundtrack yang Bikin Bernostalgia

Set dan Soundtrack yang Bikin Bernostalgia

Berusaha untuk membawa kesan tahun 80-an, Monty Tiwa cukup jeli dan fokus dengan set dan wardrobe yang digunakan. Mulai dari pemilihan sekolah dan ruang kelas, kursi dan meja kayu yang digunakan serta denah tempatnya yang menanjak terasa khas.

Lalu gaya busana dan model rambut yang digunakan, dilengkapi dengan aksesoris berwarna pop up seperti kuning, merah, jingga dan hijau yang cerah. Satu lagi yang bikin nostalgia ke film aslinya, pemilihan soundtrack filmnya. Lagu “Gita Cinta” berhasil dinyanyikan dengan sangat baik oleh penyanyi bernama Segara.

Musik-musik pop tahun 80-an juga ditampilkan dalam film ini. Bisa dikatakan skoring dalam Gita Cinta dari SMA (2023) memang pas dan berhasil membawa penontonnya bernostalgia.

Tapi dari sisi sinematografi, baru kali ini sayang merasa kurang puas dengan sinematografi garapan Monty Tiwa. Vibes 80-an lewat tone kekuningannya emang dapet banget, gambarnya kurang memorable. Justru ada banyak scene yang cringe dan cheesy.

Satu-satunya scene paling memorable bagi saya adalah ketika Ratna dan Ayahnya bertengkar di bagian akhir filmnya dan scene ini memang paling bikin merinding. Tetap mempertahankan cerita hingga set yang sama dengan film originalnya, Gita Cinta dari SMA (2023) memang tidak memiliki greget.

Film garapan Monty Tiwa ini memiliki alur yang lambat, klise, cheesy dan tidak memiliki unsur kejutan di dalamnya. Apalagi penggunaan bahasa baku, membuat film yang dibintangi Prilly Latuconsina dan Yesaya Abraham kurang friendly dengan Gen Z.

cross linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram