bacaterus web banner retina

Sinopsis & Review The Platform: Gambaran Kesenjangan Sosial

Ditulis oleh Yanyan Andryan
The Platform
4
/5
PERHATIAN!
Artikel ini mengandung spoiler mengenai jalan cerita dari film/drama ini.

Film ini tayang perdana pada Toronto International Film (TIFF), dan memenangkan penghargaan sebagai film paling populer di festival tersebut. The Platform kemudian dirilis di Netflix pada tanggal 20 Maret 2020, dan film ini sekarang bisa ditonton secara global lewat streaming online.

The Platform merupakan film yang cukup menarik karena menghadirkan isu kesenjangan sosial lewat cerita di dalam sebuah penjara berbentuk menara. Film ini pada Rotten Tomatoes mendapatkan rating 83% dengan nilai 7,43/10,  dan ulasannya mengatakan bahwa, The Platform adalah sebuah film thriller dystopia yang inovatif, serta menawan.

Sinopsis

The Platform

Goreng adalah pria dewasa yang secara sukarela bersedia untuk berada di dalam penjara menara yang diberi nama Vertical Self-Management Center. Di hari pertama, ia langsung berada di sel nomor 48 bersama seorang pria paruh baya bernama Trimagasi. Rekannya itu mengatakan jika setiap harinya sebuah platform yang berisikan makanan akan dikirimkan ke setiap lantai dalam waktu tertentu.

Penghuni lantai bawah hanya bisa memakan makanan yang disisakan oleh penghuni di atasnya. Mereka pun tidak bisa mencuri makanan jenis apapun, karena sel yang dihuni nantinya akan berubah menjadi panas atau dingin.

Di setiap bulannya, para penghuni akan ditempatkan secara acak di lantai yang baru, ada yang pindah ke lantai paling atas, dan ada juga yang malah berada di lantai bawah. Sel tahanan dalam penjara menara ini mempunyai lebih dari 300 lantai.

Selain itu, setiap penghuni diperbolehkan membawa satu benda apapun ke dalam penjara. Goreng sendiri memilih sebuah buku yang berjudul Don Quixote, sedangkan Trimagasi malah membawa sebuah pisau tajam.

Di suatu hari, seorang wanita yang berlumuran darah, Miharu, turun menumpangi platform menduduki makananan, dan tiba di lantai tempat Goreng tinggal. Trimagasi lalu menjelaskan bahwa Miharu setiap bulannya selalu melakukan itu untuk mencari anaknya yang katanya ada di lantai terbawah.

Saat platform mulai turun ke lantai bawah, Goreng melihat Miharu diserang oleh dua orang penghuni lainnya. Goreng ingin loncat dan membantunya, namun Miharu secara sadis mampu membunuh dua orang tersebut, dan melanjutkan perjalanannya.

Alasan Goreng untuk berada di sel penjara menara ini kemudian mulai terungkap. Goreng menjadi tahanan selama 6 bulan karena ia ingin mendapatkan gelar diploma, sedangkan Trimagasi, ia memang dihukum setahun atas kasus pembunuhan yang dilakukannya. Keduanya lalu menjadi akrab, tapi sebulan kemudian mereka pindah lantai, dan sekarang berada di sel 171.

Di lantai tersebut, Goreng kemudian terbangun dengan kondisi seluruh badannya terikat ke kasur. Mereka tidak mendapatkan makanan sisa selama beberapa hari, karena semua hidangan yang ada di platform sudah habis dimakan oleh penghuni lantai atas. Trimagasi yang kelaparan lalu berencana ingin memotong tubuh Goreng untuk dimakan.

Beberapa hari kemudian, Trimagasi ingin melakukan hal itu, namun Miharu yang turun menggunakan platform tiba-tiba langsung membunuhnya. Miharu melepaskan ikatan Goreng, dan membebaskannya. Ia lalu memotong tubuh Tirmagasi, dan memberi daging tersebut kepada Goreng untuk dimakan agar tidak mati kelaparan.

Pada bulan berikutnya, Goreng terbangun di lantai 33, dan mempunyai rekan sel baru seorang wanita bernama Imoguiri. Goreng pun mengenalinya karena ia merupakan petugas administrasi dari penjara ini yang mewawancarainya. Imougiri lalu mengatakan kepada Goreng bahwa ia didiagnosa kanker, maka dari itu ia secara sukarela ingin dimasukan ke dalam penjara.

Goreng kembali bertemu dengan Miharu yang kini terluka parah akibat berkelahi dengan penghuni lantai atas. Goreng dan Imougiri lalu berusaha mengobati luka-lukanya. Goreng menjelaskan kepada Imoguiri bahwa Miharu sedang mencari anaknya. Tetapi, Imougiri berkata bahwa tidak ada penghuni penjara yang berusia dibawah 16 tahun, dan ia berkata bahwa Miharu masuk ke dalam penjara ini sendiri.

Mencoba Mengkritik Kesenjangan Sosial

Mencoba Mengkritik Kesenjangan Sosial

The Platform dibuka dengan sebuah kalimat yang sangat penting untuk mencermati film ini. Kalimat tersebut kira-kira berbunyi seperti ini, “Hanya ada tiga jenis manusia di dunia ini: mereka yang berada di atas, mereka yang berada di bawah, dan mereka yang jatuh.”

Kalimat pembuka tersebut secara sederhana menjelaskan tentang status sosial yang sudah melekat di masyarakat pada umumnya. Mereka yang berada di atas bisa dibilang adalah masyarakat golongan kaya raya yang mempunyai segalanya. Mereka hidup dalam kenyamanan, yang mungkin tidak bisa didapatkan oleh orang-orang yang menghuni kelas bawah.

Pergulatan sosial itu lalu disimbolkan lewat makanan yang dihidangkan menggunakan platform yang terus turun ke lantai bawah. Orang-orang yang berada di lantas atas tentu dengan lahap bisa menikmati makanan lezat tersebut. Tapi tidak dengan yang ada di bawahnya, mereka harus kelaparan karena makanan sudah habis, bahkan harus menyantap hidangan yang sudah kotor dan menjijikan.

Bagi masyarakat atas, mereka harus menikmati kelezatan itu sebaik-baik mungkin, tanpa peduli dengan orang-orang dibawahnya. Mereka terlihat rakus, dan serakah menghabiskan semua hidangan yang disajikan. Mereka mungkin saja berbaik hati untuk menyisakan makanan yang layak kepada penghuni lantai bawah. Nyatanya, mereka tidak melakukan itu, dan malah mengotori makanan lezat tersebut.

Perlakuan itu sungguh ironi bagi orang-orang yang berada di lantai bawah. Mereka tidak bisa menikmati makanan-makanan lezat tersebut. Meski begitu, apa yang mereka rasakan tidak membuat rasa pengertian semakin tinggi. Ketika mereka mendapatkan makanan yang layak, mereka pun berperilaku sama dengan tidak menyisakan makanan untuk penghuni yang berada di bawahnya.

Tidak Ada Istilah “Kelas Menengah”

Tidak Ada Istilah “Kelas Menengah”

Alih-alih menggunakan istilah “kelas menengah” agar tingkat sosial terlihat seimbang, film ini justru menekankan bahwa hanya ada kelas bawah, dan sebutan “mereka yang jatuh” untuk menggambarkan orang-orang yang terpuruk.

Para penghuni lantai terbawah memang terlihat jatuh secara fisik dan mental. Mereka pada akhirnya ada yang bunuh diri, dan ada juga yang saling membunuh untuk mengambil sebagian tubuhnya agar bisa dimakan. Kelaparan adalah salah satu “hantu” menakutkan yang harus mereka hadapi, tak peduli jika sekalipun menjadi kanibal, yang penting mereka tidak mati kelaparan secara mengenaskan.

Sementara itu, karakter Goreng pada awalnya terlihat naif tidak ingin ikut menghabiskan makanan yang disajikan di platform. Ia merasa harus menyisakan makanan tersebut untuk bisa disantap oleh penghuni di bawahnya. Namun, saat ia dipindahkan ke lantai bawah, Goreng mulai mengubah sikapnya, dan menjadi manusia rakus yang ketakutan meninggal tragis karena kelaparan.

Setelah tewasnya Trimagasi, dan Imougiri, Goreng mendapatkan teman sel baru bernama Baharat. Goreng yang sudah muak dengan sistem di penjara ini mulai terbesit melakukan revolusi. Ia bersama Baharat berusaha membagi porsi makanan agar bisa dinikmati ke semua penghuni di lantai bawah.

Rencana itu tidak mudah karena setiap penghuni tidak memperdulikan apa yang dilakukan oleh keduanya. Setiap mereka menuruni lantai menggunakan platform, para penghuni di dalamnya selalu berusaha memakan semua makanan dengan rakus. Maka tak heran, Goreng dan Baharat menggunakan cara kekerasan kepada mereka agar makanan bisa terbagi sampai ke lantai paling bawah.

The Platform kemudian memberikan sebuah ending yang multitafsir, dan film ini nampaknya berusaha mengajak penonton untuk menggunakan sudut pandanganya sendiri dalam mengartikan akhir ceritanya. Lewat premis yang sangat menarik, dan kritis, akan sangat disayangkan jika kalian tidak mencoba menonton film yang satu ini.

Setiap Adegan Dihadirkan Semaksimal Mungkin

Setiap Adegan Dihadirkan Semaksimal Mungkin (2)

Sutradara, Galder Gaztelu-Urrutia, dan penulis naskah, David Desola serta Pedro Rivero, mengemas cerita The Platform begitu baik, meski durasi filmnya sendiri tidak terlalu lama. Mereka memotret keserakahan manusia yang terjadi pada semua golongan kelas. Di sisi lainnya, mereka berusaha mengambarkan sebuah revolusi melawan kesenjangan sosial yang coba diperlihatkan oleh Goreng pada akhir film.

Selain itu, ketiga orang tersebut nampaknya berhasil mengeksplorasi semua adegan keji, kotor, dan menjijikan dalam film ini. Adegan saat Trimagasi menyantap makanan dengan rakus adalah salah satu bagian yang menghiasi bagian-bagian awal pada film The Platform.

Kita mengetahui bahwa makanan tersebut sudah diinjak-injak, bahkan diludahi oleh penghuni atas. Maka membayangkan saat Trimagasi menyantap lahap makanan tersebut cukup membuat mual sebenarnya. Bukan hanya itu saja, adegan saling membunuh antar sesama penghuni pun sangat terlihat sadis. Apalagi ditambah mereka harus memakan daging manusia karena sudah merasa sangat kelaparan.

Adegan-adegan tersebut terlihat seperti benar-benar nyata menggambarkan orang-orang serakah, dan kelaparan. Mereka mau tidak mau harus melakukan apa saja untuk bertahan hidup, dan memakan daging mentah manusia sudah menjadi hal yang biasa sangking tidak adanya makanan layak untuk disantap.

Urrutia, Desola, dan Rivero tidak menceritakan latar belakang penjara menara di dalam film ini. Mereka langsung tancap gas dengan memperlihatkan kondisi memilukan yang harus dihadapi oleh Goreng, serta penghuni lainnya.

The Platform menawarkan begitu banyak adegan keji yang mungkin merepresentasikan watak dari manusia itu sendiri. Film ini sedari awal memang sangat menarik untuk ditonton. Meski begitu, bagi yang ingin menontonnya harus bersiap menerima setiap adegan-adegan keji, dan kotor yang ditawarkan dalam film ini.

cross
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram