bacaterus web banner retina

Sinopsis dan Review Film Netflix The 15:17 to Paris (2018)

Ditulis oleh Dhany Wahyudi
The 15:17 to Paris
2.5
/5
PERHATIAN!
Artikel ini mengandung spoiler mengenai jalan cerita dari film/drama ini.

Sebuah percobaan serangan teroris di kereta tujuan Paris dicegah oleh tiga pemuda Amerika yang pemberani. Persahabatan adalah senjata terbesar mereka yang berhasil menyelamatkan nyawa para penumpang. Diarahkan oleh sutradara peraih Oscar Clint Eastwood, film ini dibintangi oleh tiga pelaku asli peristiwa tersebut yang memerankan diri mereka sendiri.

The 15:17 to Paris adalah sebuah film drama biografi yang unik karena diperankan oleh tokoh aslinya yang belum pernah berakting sebelumnya. Tugas berat Eastwood dalam menerjemahkan buku autobiografi berjudul The 15:17 to Paris: The True Story of a Terrorist, a Train, and Three American Heroes karya Jeffrey E. Stern dan ketiga pahlawan tersebut yang terbit di tahun 2016 ini diragukan oleh banyak pihak.

Dirilis pada 9 Februari 2018 oleh Warner Bros. Pictures, film ini sudah bisa disaksikan kembali di layar Netflix. Melakukan proses syuting di lokasi asli kejadian dengan para tokoh aslinya, sebenarnya mengundang rasa otentik yang kuat, tetapi apakah hasilnya akan sebaik yang diharapkan? Jika penasaran, simak review kami berikut ini.

Sinopsis

The 15 17 to Paris

Spencer Stone dan Alek Skarlatos adalah sahabat karib sejak kecil dan mereka memiliki minat yang sama tentang senjata api dan kemiliteran. Mereka sering diminta menghadap ke kepala sekolah karena kurang disiplin dan suatu hari mereka bertemu dengan anak lain di ruang kepala sekolah, Anthony Sadler. Kemudian mereka bertiga menjadi sahabat yang erat.

Beberapa tahun kemudian Spencer bekerja di sebuah toko minuman smoothie dan mendaftar ke Angkatan Udara berharap ditempatkan di pasukan pararescue. Dia pun berlatih keras untuk menurunkan berat badannya. Setelah lulus di beberapa tes, Spencer gagal di ujian akhir dan tidak diterima di pasukan yang diinginkannya. Kecewa, dia kemudian memilih pasukan lain manapun yang bisa dia masuki.

Sementara itu, Alek yang sudah bertugas di Angkatan Darat saat ini berada di Afghanistan. Mereka berdua merencanakan liburan ke Eropa dan juga mengajak Anthony yang sudah menjadi mahasiswa bersama mereka. Spencer dan Anthony mendarat di Italia dan menghabiskan waktu disana terlebih dahulu sebelum bertemu Alek di Jerman yang sedang menemui pacarnya.

Kemudian mereka menuju Amsterdam dan menikmati malam di sana. Setelah itu mereka memutuskan menuju Paris dengan menaiki kereta jam 15:17. Tidak disangka jika di kereta yang mereka tumpangi membawa seorang teroris yang mempersiapkan aksinya di toilet. Dua orang yang sedang mengantri nekat menghadapi teroris itu dan mereka ditembak oleh sang teroris.

Seisi penumpang berlarian ke gerbong berikutnya yang ditumpangi oleh tiga sahabat ini. Spencer memutuskan untuk menyerang sang teroris sebelum dia menembakkan senjatanya. Beruntung senapannya macet dan Spencer berhasil melumpuhkan sang teroris dengan mencekik dan mengunci badan teroris seperti dalam olahraga judo.

Melihat teroris sudah bisa dibekap, Alek melumpuhkan senjata api dan amunisinya, sementara Anthony dengan sigap membantu penumpang lainnya agar menghindar dan tetap tenang. Setelah berhasil membuat teroris pingsan dan mengikat seluruh tubuhnya, Spencer membantu menahan luka penumpang yang tertembak teroris hingga mereka sampai di stasiun berikutnya.

Lalu mereka bertiga bersama seorang penumpang lagi yang membantu mereka melumpuhkan teroris diberikan medali kepahlawanan Legion of Honour oleh presiden Prancis Francois Hollande atas sikap kepahlawanan mereka dalam menghentikan serangan teroris yang berniat untuk membunuh seluruh penumpang kereta dengan membawa 300 amunisi.

Perjudian Besar Clint Eastwood

Perjudian Besar Clint Eastwood

Clint Eastwood termasuk sutradara besar di Hollywood saat ini yang membuat film-filmnya selalu ditunggu. Dia mampu mengolah cerita sederhana menjadi film dengan kualitas luar biasa, seperti pada Million Dollar Baby (2004) dan Gran Torino (2008). Eastwood juga mampu menampilkan kisah kriminal nan misterius seperti Mystic River (2003) dan Changeling (2008).

Tidak hanya film berskala kecil saja, Eastwood juga mampu mengarahkan film berbujet raksasa yang juga digarapnya menjadi film yang di masa depan akan menyandang status klasik, yaitu Flags of Our Fathers (2006) dan Letters from Iwo Jima (2006), dua film perang yang menceritakan pertempuran yang sama dari perspektif berbeda.

Tidak sampai di situ, film biografi pun menjadi lebih nikmat ditonton lewat arahan tangan dinginnya, seperti dalam Invictus (2009), J. Edgar (2011), dan American Sniper (2014). Jiwa bermusiknya juga turut mengantarkan biografi Frankie Valli dan The Four Seasons tampil memukau dalam Jersey Boys (2014). Semua film tadi memiliki kualitas diatas rata-rata.

Tapi ketika menonton The 15:17 to Paris, film ini tampil lemah seperti diarahkan oleh sutradara baru, bukan sekelas Eastwood. Tempo film berjalan lambat dan membosankan yang berisi dialog-dialog ringan khas persahabatan antara kedua pemeran utamanya, Spencer dan Anthony. Jika pernah menonton trilogi “Before”-nya Ethan Hawke, maka film ini tampil seperti versi amatirnya.

Ritme film juga berjalan datar tanpa ada hentakan berarti yang hampir membuat kita lelah menunggu aksi heroik mereka. Saat yang ditunggu pun tiba di sisa 20 menit durasi dan adegan aksi menegangkan itu hanya berjalan 10 menit saja, tapi inilah momen yang kita nanti dan merupakan adegan terbaik di sepanjang film ini.

Aktor Pemula Rasa Profesional

Aktor Pemula Rasa Profesional

Apakah kita bisa menyalahkan para aktornya atas lemahnya film ini? Sebelum tokoh aslinya diputuskan untuk memerankan diri mereka sendiri, ada beberapa aktor yang sudah di-casting untuk memerankan mereka bertiga. Terdapat nama Kyle Gallner, Jeremie Harris, dan Alexander Ludwig yang nyaris saja berakting di film ini.

Tapi ternyata akting mereka bertiga cukup baik dan tidak tampak canggung di depan kamera, terutama Spencer Stone yang mirip dengan Gary Busey muda. Sementara Anthony dan Alek tampil sewajarnya. Saat berada di Italia, Spencer dan Anthony banyak melakukan obrolan yang terlihat sangat natural dan membuat kita cukup dekat dengan karakter mereka.

Pergerakan kamera yang cukup intim bersama kedua aktor ini dengan beberapa kali memperlihatkan situasi di sekitar area wisata yang dikunjungi, tampil seperti rekaman liburan dimana kita tidak diajak bersama mereka. Mungkin banyak orang yang bilang mudah untuk memerankan diri sendiri. Tapi bagi pemula, berakting di depan kamera tidaklah mudah, dan mereka sudah berhasil melalui “cobaan” ini.

Efek Kesederhanaan Naskah

Efek Kesederhanaan Naskah

Setelah kita telusuri, ternyata naskah yang lemah dari Dorothy Blyskal yang membuat film ini datar, cenderung membosankan, dan terlihat sederhana. Suasana tegang di awal film ketika teroris mulai beraksi kemudian berpindah ke flashback yang maju secara kronologis dari mereka kecil hingga sampai di kereta tersebut. Kenapa tidak membuatnya menjadi alur bolak-balik saja seperti dalam American Sniper?

Kelemahan naskah ini membuat sebuah adegan yang harusnya penuh emosi terlihat sangat buruk, yaitu ketika ibu dari Spencer dan Alek, yang diperankan oleh Judy Greer dan Jenna Fischer, menghadap ke ruangan kepala sekolah. Akting yang sangat biasa ditambah dengan rangkaian dialog yang buruk menjadikan adegan ini titik terendah dalam film.

Ketelitian Eastwood juga patut dipertanyakan, ketika kedua ibu ini kembali hadir pada saat anak-anak mereka mendapat penghargaan. Mereka berdua tidak mengalami perubahan menjadi lebih tua, seolah-olah mereka menghadiri acara anak mereka sewaktu di SD saja. Ada yang aneh, bagaimana Eastwood bisa mengarahkan aktor pemula tampil maksimal sedangkan aktris seniornya tampil buruk?

The 15:17 to Paris memang menampilkan banyak kecerobohan dari tim produksinya, terutama sutradara dan penulis naskah. Tapi film ini sedikit terselamatkan dengan akting penuh kharisma dan natural dari ketiga aktor pemula yang memerankan diri mereka sendiri. Hal ini terbilang hebat, karena mengulang sebuah peristiwa yang pernah mereka alami secara nyata tidaklah mudah.

Satu hal yang membuat kita layak untuk menonton film ini adalah adegan menegangkan di dalam kereta yang berlangsung sekitar 10 menit. Adegan ini seolah-olah membasahi kekeringan perasaan kita yang hampa terbawa ritme film yang datar. Film ini sangat cocok bagi penonton yang memiliki tingkat kesabaran yang tinggi dan juga bagi para fans Eastwood, tentunya. Jadi, masih bersedia menontonnya?

cross
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram