bacaterus web banner retina

Sinopsis dan Review Sang Kiai (2013), Perjuangan Pendiri NU

Ditulis oleh Dhany Wahyudi
Sang Kiai
3.3
/5
PERHATIAN!
Artikel ini mengandung spoiler mengenai jalan cerita dari film/drama ini.

Kyai Haji Hasyim Asy’ari berusaha memperjuangkan agama dan negaranya dari penjajahan Jepang, mengatasi berbagai strategi politik Jepang kepada kaum santri, mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, hingga mengumandangkan jihad ketika tentara Sekutu dan Belanda memulai pendudukan kembali di tanah air.

Sang Kiai adalah film drama biografi tokoh pendiri Nahdhatul Ulama (NU), Kyai Haji Hasyim Asy’ari. Hanya mengambil fase ketika penjajahan Jepang hingga akhir hayat beliau, film ini tidak memunculkan keseluruhan biografi Sang Kiai secara utuh seperti film biografi pada umumnya.

Berhasil meraih banyak Piala Citra di Festival Film Indonesia, salah satunya adalah Film Terbaik, film ini juga terpilih sebagai wakil Indonesia untuk masuk ke dalam seleksi nominasi Best Foreign Language Film di Academy Awards, tapi sayangnya tidak berhasil masuk nominasi akhir. Simak review kami berikut dari film yang kini sudah tersedia di Netflix.

Baca juga: 15 Film Sejarah Indonesia yang Akan Menambah Pengetahuan

Sinopsis

Sinopsis
  • Tahun: 2013
  • Genre: Action, Drama, Biography, History
  • Produksi: Rapi Films
  • Sutradara: Rako Prijanto
  • Pemeran: Ikranagara, Christine Hakim, Agus Kuncoro

Pesantren Tebu Ireng Jombang, awal penjajahan Jepang di Indonesia, 1942. Kyai Haji Hasyim Asy’ari memimpin Pesantren Tebu Ireng dan organisasi Nahdhatul Ulama yang membuat posisinya sangat disegani oleh ulama-ulama lain di Indonesia, di Jawa pada khususnya.

Beliau sangat dihormati oleh para santri karena ilmu agamanya yang tinggi dan kharismanya yang besar. Suatu hari, tentara Jepang tiba-tiba masuk ke dalam pesantren dengan maksud menangkap Kyai Haji Hasyim Asy’ari atas tuduhan penyerangan yang tidak pernah beliau lakukan.

Kyai Haji Hasyim Asy’ari setuju untuk ikut dengan tentara Jepang untuk menghindari terjadinya kekerasan di pesantren. Satu santri diperbolehkan mengikuti dan dua santri lainnya, salah satunya bernama Harun, berlari di belakang.

Harun dan temannya ketahuan oleh tentara Jepang dan dikejar. Harun membawa pulang jenazah temannya yang ditembak oleh tentara Jepang. Putra beliau, Kyai Haji Wahid Hasyim (Gus Wahid), memimpin pesantren selama beliau ditahan dan melakukan diplomasi kepada pemerintah Jepang di Jakarta bersama Kyai Wahab.

Pemerintah Jepang bersedia membebaskan seluruh ulama yang mereka tahan, terutama Kyai Haji Hasyim Asy’ari, dengan syarat mereka bergabung dalam panitia persiapan kemerdekaan yang tergabung dalam Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia).

Para ulama kemudian diminta untuk menyampaikan kepada rakyat agar menambah hasil panen mereka dua kali lipat yang selalu disampaikan setiap khutbah Jum’at.

Pemerintah Jepang terus menekan Masyumi untuk memaksa rakyat memenuhi keinginan mereka. Kyai Haji Hasyim Asy’ari tidak menentang peraturan ini karena beliau menganggap taat pada pemerintah yang adil adalah tuntunan dari Rasulullah. Beliau husnuzhan (berbaik sangka) karena belum terlihat kezaliman dari peraturan ini.

Hingga terjadi peristiwa penganiayaan yang dilakukan oleh para santri kepada tentara Jepang yang memungut beras di salah satu pesantren di Singaparna yang berujung pemberlakuan hukuman mati kepada kyai pimpinan pesantren tersebut.

Untuk meredam kemungkinan adanya pemberontakan dari kaum santri, pemerintah Jepang mengangkat Kyai Haji Hasyim Asy’ari sebagai ketua Masyumi.

Beliau menyetujuinya dengan alasan politis bahwa dengan berada di posisi itu beliau bisa mengatur kemaslahatan umat sehingga tidak terjadi lagi peristiwa seperti di Singaparna. Kemudian pemerintah Jepang meminta para santri untuk menjadi tentara mereka dan berperang di luar negeri.

Atas saran dari Gus Wahid, Kyai Haji Hasyim Asy’ari setuju para santri dilatih militer, tapi tidak menjadi tentara Jepang, melainkan membuat barisan sendiri yang dinamakan Laskar Hisbullah.

Tahun 1945, Jepang menyerah kepada Sekutu dan Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, tapi tidak berapa lama kemudian, pasukan Sekutu yang ditunggangi Belanda kembali datang ke Indonesia.

Kyai Haji Hasyim Asy’ari, dengan dukungan dari para ulama sepuh, mengeluarkan fatwa jihad untuk menentang penjajahan kembali untuk menindaklanjuti permintaan Soekarno.

Bung Tomo melakukan perlawanan di Surabaya yang didukung oleh para santri dari Pesantren Tebu Ireng. Penyerangan mereka membuat tentara Inggris mengajukan gencatan senjata yang kemudian berakhir ricuh.

Ketika tentara Belanda melakukan penyerangan kembali untuk menduduki Indonesia, Kyai Haji Hasyim Asy’ari diminta untuk mengeluarkan fatwa jihad seperti sebelumnya, kali ini atas permintaan Jendral Soedirman. Tapi karena kondisi beliau sedang tidak sehat, tiba-tiba beliau tidak sadarkan diri dan meninggal dunia.

Seisi Pesantren Tebu Ireng berduka, begitu juga seluruh umat Islam di Indonesia. Tentara Belanda kemudian menyerbu Pesantren Tebu Ireng dan membakarnya, membuat para santri dan keluarga mereka berhijrah. Dalam adegan terakhir, mereka dikejar dan ditembaki oleh tentara Belanda.

Langkah Berani Rako Prijanto

Langkah Berani Rako Prijanto

Sebagai sutradara, Rako Prijanto mengambil langkah yang berani dengan menggarap film biografi bersejarah seperti Sang Kiai ini. Sebelumnya, dia lebih dikenal dengan film-film bergenre komedi dan drama romantis, seperti Ungu Violet (2005), Merah Itu Cinta (2007), Preman in Love (2009) dan Malaikat Tak Bersayap (2012).

Visinya dalam menampilkan sebagian fase perjuangan pendiri Nahdhatul Ulama ini dalam sebuah film diapresiasi dengan sangat baik oleh berbagai pihak. Nuansa penjajahan Jepang di Indonesia ditampilkan dengan sinematografi yang baik dan nilai artistik yang tinggi dengan mengutamakan kedetailan produksi, seperti kostum dan setting lokasi.

Rako Prijanto juga bisa menjaga kestabilan ritme film dengan durasi panjang, 2 jam 16 menit, sehingga kita bisa hanyut ke dalam cerita tentang semangat juang kaum santri dalam usaha kemerdekaan Indonesia ini hingga ke akhir film. Wajar jika kemudian dia berhasil membawa Piala Citra di ajang Festival Film Indonesia sebagai Sutradara Terbaik.

Cerita yang Tidak Fokus

Cerita yang Tidak Fokus

Hanya saja, sayangnya, cerita film tidak terfokus pada sosok Kyai Haji Hasyim Asy’ari saja. Setelah setengah film berjalan, cerita kemudian terbagi ke salah satu karakter fiktif bernama Harun yang diceritakan adalah santri Pesantren Tebu Ireng.

Padahal di awal film, sosok Sang Kiai yang diperankan oleh Ikranagara terlihat menonjol dengan aktivitas keseharian, latar belakang kehidupan dan pemikirannya.

Penolakan beliau atas perintah pemerintah Jepang untuk melakukan sekerei, penghormatan kepada dewa matahari, adalah salah satu adegan terkuat dalam film ini.

Sesuai pemahaman Islam, sekerei tidak sesuai dengan akidah Islam dimana seorang Muslim hanya diwajibkan menyembah kepada Allah saja, tidak kepada yang lainnya. Dan Ikranagara menyampaikan ini dengan powerful dan believable.

Tapi begitu sosok Harun berkali-kali melintas di dalam cerita yang lebih banyak mengetengahkan strategi politik Jepang yang merugikan rakyat Indonesia, sosok Kyai Haji Hasyim Asy’ari mulai terpinggirkan dan hanya muncul sesekali untuk menempatkan dirinya di dalam bagan cerita. Mungkin akan memunculkan rasa kecewa bagi kita yang ingin mengetahui lebih dekat sosok Sang Kiai ini.

Karakter Harun dimunculkan mungkin sebagai penggambaran pemuda Indonesia secara umum pada saat itu yang semangat mudanya menempatkan dirinya dalam perlawanan frontal menghadapi penjajah yang tidak memahami strategi dan pemikiran Sang Kiai yang dianggapnya lembek terhadap penjajahan.

Karakter yang diperankan Adipati Dolken dengan datar ini, tapi dia berhasil membawa pulang Piala Citra di kategori Pemeran Pendukung Pria Terbaik, juga dimaksudkan untuk menambah kesan romantis dan dramatisasi perjuangan dengan kematiannya saat menembak Mallaby dan terkena ledakan granat.

Tapi menurut saya, justru keromantisan itu adanya pada sosok Sang Kiai dan istrinya, ketika beliau ditanya oleh istrinya apakah beliau pernah menyebutkan namanya di dalam doa seperti beliau menyebutkan nama-nama pemimpin negara, beliau berkata, “Dalam setiap doa agar terhindar dari api neraka, namamu selalu aku sebut.” Ini keromantisan hakiki yang diharapkan terus berlanjut hingga di akhirat kelak.

Kyai Haji Hasyim Asy’ari dalam Bingkai Sejarah

Kyai Haji Hasyim Asy’ari dalam Bingkai Sejarah

Kyai Haji Hasyim Asy’ari adalah salah satu ulama besar Indonesia yang juga adalah pendiri salah satu organisasi Islam terbesar, yaitu Nahdhatul Ulama, yang telah dikenal mencetak banyak ulama dan ustadz pendakwah Islam lewat banyak pesantren asuhannya, salah satu yang utama adalah Pesantren Tebu Ireng.

Beliau lahir pada tahun 1871 dari keluarga yang silsilahnya sampai ke raja-raja Majapahit. Di usia 21 tahun, beliau pergi ke Makkah untuk menuntut ilmu agama.

Beliau belajar dari tiga Syaikh asal Indonesia yang dihormati dan membuka kelas di Masjidil Haram, yaitu belajar hadits dari Syaikh Mafudz asal Pacitan, belajar Madzhab Syafi’i dari Syaikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, dan Syaikh Nawawi dari Banten.

Dengan ilmu agamanya yang tinggi, maka tidak heran jika beliau dihormati di Indonesia dan pesantrennya menjadi patokan bagi pesantren lain di tanah Jawa.

Sama seperti Kyai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah yang pernah menuntut ilmu di Makkah, Kyai Haji Hasyim Asy’ari juga memiliki pemahaman Islam yang murni sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.

Beliau, yang juga dijuluki Hadratus Syaikh (artinya maha guru), mengikuti empat madzhab utama (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) yang menempatkannya sebagai salah satu ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah di Indonesia yang berpatokan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi sesuai pemahaman dan tradisi para sahabat yang mulia.

Ijtihad dan fatwa beliau di masa perjuangan kemerdekaan, terutama tentang jihad, mampu memberikan semangat yang tinggi bagi pejuang-pejuang Indonesia, terutama para santri yang turun ke medan perang.

Atas jasanya, Kyai Haji Hasyim Asy’ari dianugerahi gelar Pahlawan Nasional di tahun 1964. Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas semua usahanya untuk tanah air ini dengan pahala yang besar.

Secara keseluruhan, film Sang Kiai adalah salah satu film sejarah yang wajib ditonton, apalagi film ini berhasil menggondol Piala Citra sebagai Film Terbaik.

Rasanya tidak ada alasan lain untuk tidak menyimaknya, meski ada beberapa kekurangan di bidang cerita, terutama bagi kalian yang menyukai film bertema sejarah dan biografi. Langsung play saja di Netflix!

cross
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram