bacaterus web banner retina

Sinopsis & Review Father Stu (2022), Kisah Pertobatan sang Petinju

Ditulis oleh Dhany Wahyudi
Father Stu
2.4
/5
PERHATIAN!
Artikel ini mengandung spoiler mengenai jalan cerita dari film/drama ini.

Menemukan jalan hidayah, mantan petinju Stuart Long berniat menjadi seorang pendeta. Tapi tidak mudah baginya untuk mewujudkan niatnya tersebut.

Dia terlibat kecelakaan, ditentang orang tuanya yang ateis, dan dijauhi kekasihnya. Semua itu diperparah dengan kelumpuhan yang menerpanya. Disinilah kekuatan imannya diuji.

Father Stu adalah film drama tentang biografi Stuart Long karya sutradara debutan Rosalind Ross yang dirilis oleh Sony Pictures pada 13 April 2022. Mark Wahlberg yang juga adalah salah satu produsernya menjadi pemeran utama dengan transformasi sikap dan fisiknya yang cukup signifikan.

Film ini bukanlah film biografi bertema keagamaan seperti yang biasa kita lihat. Apa yang menjadi pembedanya? Kalau penasaran, simak review berikut untuk mengetahui jawabannya.

Baca juga: 10 Film Biografi Musisi dan Grup Band Terbaik Sepanjang Masa

Sinopsis

Sinopsis

Stuart Long adalah seorang petinju amatir yang sering berkata-kata kasar dan kotor. Ketika dia divonis tidak boleh bertinju lagi karena cedera, Stuart mencetuskan ide yang menurutnya cemerlang kepada ibunya, yaitu menjadi aktor di Hollywood.

Tidak butuh waktu lama baginya untuk menapakkan kaki di California Selatan. Memilih tinggal di motel hingga lolos audisi, Stuart juga bekerja paruh waktu sebagai penjaga bagian daging di supermarket.

Dia berharap ada pengunjung supermarket yang memiliki koneksi di Hollywood dan dia rajin menanyakannya kepada mereka.

Stuart beberapa kali menghadiri audisi, tapi dia tidak setuju dengan cara-cara kotor yang diterapkan oleh panitia audisi. Dan suatu hari dia melihat gadis cantik yang sedang membeli ikan di supermarket.

Stuart menggodanya, namun gadis itu hanya berlalu saja. Dengan tekad yang kuat, Stuart menghampirinya di gereja tempat gadis itu beribadah.

Tapi sebagai penganut Katolik yang taat, gadis cantik berdarah Meksiko yang bernama Carmen itu menolaknya secara halus, kecuali Stuart mau dibaptis.

Secara spontan Stuart menerimanya. Sembari berpikir, hari itu Stuart menemui ayahnya, Bill, yang bekerja sebagai tukang bangunan. Tapi kehadirannya justru membuat mereka bertengkar.

Dia singgah di bar dan sempat menenggak minuman keras. Di perjalanan pulang, dia ditilang oleh polisi karena mengemudi dibawah pengaruh alkohol dan sempat ditahan. Carmen terus menunggu kedatangan Stuart yang tidak jadi hadir.

Beberapa hari kemudian, Stuart datang ke gereja dan melaksanakan pembaptisan. Setelah itu, Stuart berteman dengan Ham, salah satu jemaat gereja yang belajar di sekolah paroki. Stuart dan Carmen mulai menjalin tali asmara. Saat makan malam bersama orang tua Carmen, Stuart berhasil mencuri hati mereka.

Setelah pulang syuting iklan, perasaan Stuart sedang gundah. Dia singgah di bar dimana dia bertemu seorang pria yang menyarankannya untuk tidak mengemudi dalam keadaan mabuk lagi.

Tapi Stuart tidak mengindahkan saran pria itu yang menyebabkan dirinya mengalami kecelakaan. Dia dilarikan ke rumah sakit dalam kondisi kritis.

Dalam kondisi setengah sadar, Stuart mendapat penglihatan Bunda Maria yang berbicara padanya. Tidak diduga, dia tersadar dari koma dan proses penyembuhannya tergolong cepat yang membuat dokternya heran.

Stuart berbaikan dengan ayahnya dan juga bercinta dengan Carmen yang melanggar janji pribadinya. Stuart gelisah dan berbincang dengan pendeta di gereja tentang kegundahan yang dialaminya.

Terbayang dengan suara Bunda Maria dalam penglihatannya sewaktu sakit, Stuart membulatkan tekad untuk menjadi seorang pendeta. Dia mendaftar di sekolah paroki, namun ditolak.

Setelah mendatangi langsung kepala sekolahnya dengan sedikit persuasi yang intimidatif, Stuart diterima dan mulai menempuh pendidikan.

Dia berteman semakin dekat dengan Ham, tapi satu kamar di asrama dengan Jacob yang tidak senang dengan dirinya. Dianggap sebagai rival, Jacob selalu melaporkan hubungan Stuart dan Carmen kepada kepala sekolah. Stuart marah dan memukul Jacob.

Saat bermain bola basket, Stuart terjatuh dan tidak bisa berdiri. Dia dibawa ke rumah sakit dan didiagnosa mengalami inclusion body myositis, sejenis penyakit yang melumpuhkan kerja otot secara bertahap dan belum ada obatnya. Stuart marah kepada Tuhan, tapi kemudian dia menyadari bahwa ini adalah ujian yang harus dihadapinya.

Karena penyakitnya ini, pihak gereja tidak mengizinkannya melanjutkan pendidikan. Stuart kemudian pulang kampung dan hidup bersama ibunya kembali.

Apa yang akan dia lakukan di sisa hidupnya? Berhasilkah dia ditahbiskan sebagai pendeta seperti harapannya? Simak terus film yang penuh motivasi hidup ini hingga akhir untuk menemukan jawaban atas semua pertanyaan ini.

Perjuangan Stuart Long Menggapai Keimanan

Perjuangan Stuart Long Menggapai Keimanan

Terlahir di keluarga yang tidak agamis, membuat Stuart Long memiliki cara hidup yang tidak teratur. Dia lebih mengutamakan egonya dan sering berkata kotor dalam setiap ucapannya.

Tentu saja, sifat seperti ini akan mengundang banyak masalah dengan orang-orang di sekelilingnya. Praktis, hanya ibunya saja yang masih setia di sisinya saat senang dan susah.

Father Stu menceritakan perjuangan Stuart mencari hidayah dan menggapai keimanan yang selama ini tidak pernah terlintas dalam benaknya. Awalnya dia datang ke gereja hanya agar bisa mendekati Carmen yang digodanya di supermarket.

Tapi sebuah perbincangan singkat dengan pria yang mirip Yesus di bar dan kecelakaan fatal yang membuatnya koma telah mengubah pemikirannya. Apalagi di dalam komanya, dia mendapat penglihatan Bunda Maria yang berpesan kepadanya untuk berdakwah.

Langkah berikutnya untuk semakin dekat dengan agama adalah mempelajari agama tersebut dengan lebih dalam. Stuart adalah contoh dari slogan tidak ada kata terlambat untuk menuntut ilmu. Dia mendaftar ke sekolah paroki untuk menjadi seorang pendeta.

Tapi bukanlah keimanan jika belum mendapat ujian. Stuart didiagnosa menderita penyakit langka yang membuat ototnya lumpuh secara perlahan. Setelah melalui berbagai pergulatan jiwa, akhirnya Stuart bisa ikhlas menerima penyakitnya ini sebagai ujian dan terus maju melanjutkan misinya untuk berdakwah.

Sejujurnya, film berdurasi 2 jam 4 menit ini memiliki pondasi cerita yang kokoh dari kisah nyata penuh inspirasi tokoh utamanya, Stuart Long.

Layaknya orang yang baru bertobat di usia dewasa, dia memiliki tekad untuk mendalami agama yang dianutnya dan menjadi hamba yang taat. Dan unsur inilah yang menjadi fokus kisah film ini.

Namun yang menjadi pekerjaan tersulit dalam membesut film biografi adalah memilah serpihan kisah hidup tokoh utamanya yang akan ditampilkan di dalam alur ceritanya.

Jika unsur ini diolah dengan baik, kita tetap akan terpaku dan pikiran kita akan tetap fokus hingga film berakhir dengan tingkat kepuasan yang tinggi. Tapi sayangnya fokus film ini menjadi bias.

Memang benar kita mengharapkan kisah biografi yang padat sehingga kita mudah memahami kepribadian sang tokoh. Tapi kita pun tentu enggan untuk menyaksikan film dengan tempo yang lambat dan adegan yang bertele-tele. Film ini berada di antara tempo yang dinamis dan lambat.

Namun yang menjadikan kisah film ini bias adalah cerita perjuangan Stuart yang menemui banyak rintangan, dan semua ini diceritakan dalam kadar yang cukup detail, memiliki akhir film yang terlalu cepat.

Paling tidak, penulis naskah Rosalind Ross seharusnya menampilkan tidak hanya satu ceramah dari sang tokoh yang inspiratif ini, karena hal ini tentu tidak akan bisa membuat akhir kisah jadi memuaskan.

Memang ada beberapa adegan Stuart melakukan ceramah, tapi semua hanya ditampilkan secara singkat dan tidak menggambarkan keahliannya dalam menginspirasi jemaatnya.

Boleh diambil contoh film serupa dengan isi yang lebih berbobot adalah Malcolm X (1992), dimana sang tokoh tampil berkali-kali dengan ceramahnya yang menggambarkan kepribadiannya juga visinya.

Dan unsur ini tidak terlihat dalam film tentang penebusan dosa ini. Meskipun ada, itu pun hanya singkat dan tidak cukup untuk membuat kita memahami secara mendalam visi dari pendeta yang berceramah hingga akhir hayatnya pada usia 50 tahun di Montana ini.

Menyelipkan Hubungan Antara Ayah dan Anak

Menyelipkan Hubungan Antara Ayah dan Anak

Selain menyuguhkan kisah perjuangan Stuart dalam jalannya menuju tobat, film yang dibintangi oleh Mel Gibson sebagai ayah dari Stuart ini juga menceritakan hubungan antara ayah dan anaknya.

Awalnya hubungan mereka tidak harmonis karena Bill memilih pergi meninggalkan Stuart dan ibunya setelah kematian anak bungsu mereka, Stephen, karena penyakit meningitis.

Bill yang suka mabuk-mabukan sangat terpukul karenanya dan memilih pergi ke California untuk hidup seorang diri disana.

Pada saat Stuart ingin meniti karir sebagai aktor, yang tentu saja tujuan utamanya adalah California, dia bertemu dengan Bill dalam situasi yang tidak mengenakkan. Mereka bertengkar karena sama-sama memiliki sifat yang keras.

Tapi setelah Stuart mengalami kecelakaan, hati Bill sedikit lunak, karena di dalam lubuk hatinya dia tidak ingin kehilangan anak lagi. Namun hubungan mereka kembali memanas seiring niat Stuart untuk menjadi pendeta.

Bill dan Kathleen, ibu dari Stuart, adalah orang yang tidak percaya tuhan, alias ateis. Tapi mereka pun tidak bisa mencegah keinginan Stuart yang memang sudah membulatkan tekadnya.

Dan hidup Bill dan Kathleen seketika berubah ketika mengetahui Stuart mengidap penyakit langka yang mematikan. Mereka berdua akhirnya mau menerima agama dalam hidup dan mendukung putranya dalam berdakwah hingga ajal menjemputnya.

Untuk bagian kisah hubungan keluarga ini, berbeda dengan cerita utamanya, terasa sangat lekat dengan kenyataan yang dihadapi banyak orang.

Terutama bagi para orang tua yang belum bisa ikhlas saat ditinggal mati oleh anaknya. Biasanya mereka menyalahkan diri sendiri dan kepribadiannya berubah dari yang sebelumnya baik ke arah negatif. Oleh karena itulah bimbingan agama diperlukan untuk hal ini.

Chemistry Mark Wahlberg dan Mel Gibson cukup apik dan bersinergi satu sama lain. Dialog penuh sindiran yang ketus antara keduanya cukup bisa membuat kita merasa pesimis akan perdamaian di antara mereka.

Tapi tidak ada yang mustahil bagi Tuhan jika sudah berkehendak. Justru lewat musibah, di saat kesabaran mereka diuji, perdamaian itu hadir tanpa diminta. Hati Bill yang keras pun mau menerima hidayah.

Di beberapa tahun ke belakang, Mel Gibson jarang bermain film berskala besar, dan aktingnya pun cenderung kurang maksimal. Tapi di film ini, dia membuktikan bahwa dirinya masih sanggup mengemban tanggung jawab sebagai aktor senior yang berkualitas.

Untuk berperan sebagai karakter dengan sifat keras, dia memang pantas sesuai dengan perawakannya. Dan pada saat hati karakternya melunak, sifat kerasnya masih jelas terlihat tapi sanubarinya tampak meleleh yang bisa dengan apik dia perlihatkan pada ekspresinya di adegan sesi grup terapi pecandu minuman keras.

Memandang Positif Sebuah Musibah

Memandang Positif Sebuah Musibah

Sebagai manusia biasa, tentu kita tidak ingin menerima musibah dalam bentuk apapun. Tapi layaknya sekolah, jika ingin naik kelas harus melalui ujian dahulu. Sama halnya dengan keimanan, jika ingin imannya meningkat maka harus diuji terlebih dahulu.

Penerimaan akan ujian ini beragam pada setiap manusia. Ada yang marah dan tidak terima, ini terjadi pada mayoritas manusia. Ada yang selalu mengeluh. Ada juga yang berusaha sabar tapi belum ikhlas.

Dan yang paling tinggi adalah sabar di awal musibah lalu mengikhlaskan hati serta mengambil hikmah yang positif dari musibah yang menimpa.

Tingkatan tertinggi inilah yang diterima, dipahami dan dijalani oleh Stuart. Di dalam film dengan sinematografi yang tidak istimewa ini, kita diperlihatkan rasa tidak terima dan marahnya dia atas penyakit yang menyerangnya ini.

Apalagi terjadi di saat dia sudah tobat. Setelah banyak menangis dan berpikir, akhirnya dia mencapai sebuah kesimpulan bahwa dia harus tabah menghadapinya.

Stuart menjadikan kisah hidupnya sebagai inspirasi bagi banyak jemaatnya yang tergugah oleh ceramah-ceramahnya. Hanya sayangnya, film ini tidak menampilkan ceramah-ceramah itu dalam porsi yang cukup.

Tapi setidaknya kita tetap akan termotivasi untuk menjalani hidup ini dengan semangat positif dan ikhlas dengan segala keputusan Tuhan pada kita.

Bisa dibilang Father Stu adalah proyek ambisius Mark Wahlberg yang tertarik dengan tokoh ini dari gereja tempat dia beribadah. Dia menggelontorkan jutaan dollar untuk proyek ini dari saku pribadinya.

Kolaborasinya dengan Mel Gibson juga bukan kebetulan. Mereka ternyata ibadah di gereja yang sama. Ditambah lagi, penulis naskah sekaligus sutradara Rosalind Ross adalah kekasih Mel Gibson.

Maka tidak heran jika Mark Wahlberg dan Mel Gibson tampil penuh totalitas di film ini. Mereka adalah alasan utama kita tetap betah menonton film ini hingga akhir. Dan karena dialog antara mereka berdua yang penuh kalimat sarkasme, film ini menjadi biografi tokoh agama yang tidak biasa.

Pada akhirnya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, Father Stu adalah film biografi tokoh yang memberikan inspirasi dan motivasi dengan caranya tersendiri.

Meski fokus cerita menjadi agak bias, hal ini tidak mengurangi kekuatan akting dua aktor utamanya. Fans Mark Wahlberg dan Mel Gibson wajib menonton film ini. Selamat menyaksikan!

cross
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram