showpoiler-logo

Sinopsis & Review Death on the Nile, Aksi Kedua Poirot

Ditulis oleh Dhany Wahyudi
Death on the Nile
3.1
/5
showpoiler-logo
PERHATIAN!
Artikel ini mengandung spoiler mengenai jalan cerita dari film/drama ini.

Hercule Poirot berlayar di atas kapal Karnak mengarungi Sungai Nil bersama para tamu undangan pernikahan Simon dan Linnet. Terjadi pembunuhan di atas kapal yang menelan tiga korban jiwa.

Hal ini membuat Poirot berusaha menemukan siapa pembunuhnya di antara para penumpang yang ada di atas kapal. Bisakah Hercule Poirot memecahkan kasus ini dengan tepat? Death on the Nile adalah film thriller penuh misteri karya Kenneth Branagh yang sekaligus juga sebagai pemeran utamanya.

Film ini dirilis oleh 20th Century Studios pada 11 Februari 2022, setelah berkali-kali mengalami penundaan dari jadwal semula yang seharusnya dirilis pada 20 Desember 2020 karena pandemi Covid-19.

Menjadi film kedua dari petualangan Detektif Hercule Poirot yang dimulai sejak film Murder on the Orient Express (2017), film ini merupakan adaptasi dari novel karya Agatha Christie yang terbit pada tahun 1937.

Berhasilkah film sequel ini mengulangi kesuksesan film pertamanya? Atau, bahkan tampil lebih baik? Simak review lengkap berikut ini untuk mendapatkan jawabannya.

Sinopsis

Death on the Nile poster_

Belgia saat Perang Dunia I, sekelompok pasukan yang di dalamnya ada Hercule Poirot melintasi medan perang untuk mengambil alih jembatan dari musuhnya. Mereka berhasil membuat serangan kejutan dan memukul mundur pasukan musuh.

Semua berkat kejelian Poirot dalam melihat gejala pergerakan burung dan arah angin. Sayang, komandan mereka menginjak ranjau dan meledakkan jembatan.

Saat dirawat di barak militer, Poirot dikunjungi oleh Katherine, istriya. Katherine berjanji untuk tidak meninggalkan Poirot apapun yang terjadi. Poirot memperlihatkan luka di wajahnya dan Katherine bilang bahwa Poirot harus menumbuhkan kumis.

Beberapa tahun kemudian, era 1930an. Hercule Poirot datang ke sebuah restoran dimana dia menyaksikan pertemuan antara Linnet dan sahabatnya, Jacqueline de Bellefort.

Sedang jatuh cinta kepada Simon, Jacqueline meminta pekerjaan bagi Simon kepada Linnet di bisnis propertinya. Linnet mengabulkannya. Setelah itu, Linnet dan Simon berdansa. Poirot mengamati dari tempat duduknya.

Mesir, enam bulan kemudian. Hercule Poirot sedang menikmati keindahan piramida ketika dia bertemu teman lamanya, Bouc. Poirot diperkenalkan kepada ibu Bouc, Euphemia, dan mengundang Poirot ke acara perayaan bulan madu teman mereka di hotel.

Poirot dengan senang hati untuk menghadirinya. Pasangan pengantin baru itu adalah Simon dan Linnet. Namun, pesta terusik dengan kedatangan Jacqueline.

Keesokan harinya, Linnet dan Simon bertemu Poirot di pasar dan meminta bantuannya untuk bicara kepada Jacqueline tentang kehadirannya di setiap tempat mereka berada.

Poirot menolak bayaran yang hendak diberikan, tetapi dia tetap berbicara kepada Jacqueline dimana wanita itu mencurahkan isi hatinya bahwa dia masih mencintai Simon dan memperlihatkan pistol kecil di dalam tasnya.

Poirot memberi tahu Linnet dan Simon serta menyarankan mereka mengakhiri bulan madu dan segera pulang ke rumah demi keamanan mereka.

Tapi nyatanya, Linnet dan Simon malah meneruskan rencana bulan madu mereka dengan mengundang teman-teman mereka untuk berlayar menyusuri Sungai Nil dengan kapal Karnak, termasuk Poirot.

Saat sampai di Kuil Abu Simbel, Linnet dan Simon hampir saja tertimpa batu yang terjatuh dari atas. Setelah berlindung di dalam kuil karena menghindari badai gurun, mereka kembali ke kapal dan menemukan Jacqueline sudah berada di atasnya.

Kehadiran Jacqueline cukup mengintimidasi Linnet dan Simon, bahkan kemudian Simon menghardik Jacqueline di bar. Tiba-tiba, Jacqueline menembak Simon dan melukai kakinya. Jacqueline diamankan dan dijaga oleh perawat ibu baptis Linnet. Sementara Simon diobati oleh dokter Linus.

Poirot bangun di pagi hari karena teriakan Louise yang menemukan Linnet tewas dengan luka tembakan di kepalanya. Poirot segera mewawancarai satu persatu penumpang untuk menemukan petunjuk siapa pelakunya.

Investigasi terus berjalan, muncul lagi satu korban, yaitu Louise yang terjerat di roda pengayuh kapal. Poirot menemukan bukti beberapa lembar uang di saku baju Louise yang tewas karena luka di lehernya yang tergorok oleh sebuah pisau bedah.

Linus langsung dituduh oleh seluruh penumpang, bahkan berkelahi dengan Andrew, sepupu Linnet. Tapi Poirot menyangkalnya karena menemukan bukti lain. Poirot mengamati bekas cipratan darah di dinding kapal dan menganalisanya.

Dia melanjutkan investigasinya dengan mewawancarai Bouc. Dengan beberapa dugaan berdasarkan fakta, Bouc berada pada posisi terdesak, bahwa dia adalah orang yang pertama menemukan Linnet setelah tertembak dan yang mengambil kalung permata Linnet dan menyimpannya di kotak perhiasan ibunya.

Dan, Bouc mengetahui siapa pelaku pembunuhan Louise. Saat hendak berkata, Bouc ditembak dan tewas. Poirot mengejar sang penembak tapi tertinggal, hanya menemukan pistolnya saja. Dalam perasaan berduka, Poirot mengumpulkan semua penumpang dalam satu ruangan dan mengunci semua pintu.

Poirot membeberkan semua fakta yang dia temukan dan mengungkap siapa pelaku pembunuhan Linnet, Louise dan Bouc. Siapakah dia? Kalian harus menonton filmnya hingga selesai untuk menemukan siapa pelakunya.

Bertabur Bintang dengan Performa Apik

Bertabur Bintang dengan Performa Apik_

Sebagai film sequel dari film yang cukup sukses, Murder on the Orient Express (2017), formula yang sama tentu akan diterapkan kembali dengan sedikit pengembangan di beberapa sisinya.

Jika sebelumnya kita disuguhkan cerita pembunuhan di atas kereta, maka kali ini seting lokasi berada di atas kapal yang berlayar di Sungai Nil. Lalu, deretan bintang film papan atas kembali dihadirkan.

Siapa yang tidak kenal nama-nama ini? Gal Gadot, Armie Hammer, Annette Bening, Letitia Wright, Sophie Okonedo, dan Russell Brand adalah para aktor dan aktris yang sudah stabil di industri perfilman bahkan beberapa di antaranya sedang menjadi bintang papan atas Hollywood.

Apalagi kemudian performa mereka sangat apik di film berdurasi 2 jam 7 menit ini. Gal Gadot sebagai Linnet tampil dalam salah satu performa terbaiknya.

Tidak hanya itu, kita dibuat yakin dengan ekspresi wajahnya, bahkan segala beban psikologis yang dideritanya bisa dia tampilkan lewat matanya, baik dengan tatapan ataupun bulir air mata yang seringkali menyelinap di tepian matanya.

Sekalipun dia selalu mengembangkan senyum manisnya dan keriangan sebagai pengantin baru, isi hati tidak bisa disembunyikan, apalagi di depan detektif ulung sekelas Hercule Poirot. Sayang, belum setengah film karakter yang diperankannya sudah tewas.

Begitupun dengan pemeran lain yang tampil apik sesuai porsinya masing-masing. Annette Bening yang tampil angkuh dan protektif terhadap putranya dan Rosalie yang sedikit terlalu percaya diri di awal film sehingga terlihat menyebalkan menjadi melembut ketika jatuh cinta hanyalah beberapa diantaranya.

Sebenarnya kita sudah bisa menebak siapa dalang pembunuhan sedari awal, tapi dengan kelihaian cerita klasik yang melegenda karya Agatha Christie ini ditambah naskah yang bertutur penuh misteri olahan Michael Green, kita dibuat tertipu dengan apa yang ditampilkan di layar.

Tapi, tentu saja tidak dengan Hercule Poirot yang sangat jeli dan kritis dalam memperhatikan dan menilai karakter seseorang.

Penggalian Mendalam pada Karakter Hercule Poirot

Penggalian Mendalam pada Karakter Hercule Poirot_

Kenneth Branagh, sutradara dan pemeran utama di film ini, memang mengakui bahwa dia adalah penggemar berat novel-novel karya Agatha Christie, terutama dengan kisah petualangan Detektif Hercule Poirot.

Maka, dia membesut film ini dengan sangat detail dan hati-hati sehingga tidak keluar dari esensi novelnya, meski ada beberapa perubahan karakter yang tampil di dalam film.

Tapi, ini bukanlah hal pertama yang terjadi karena adaptasi pertama dari novel ini, yaitu film produksi Inggris tahun 1978, juga menampilkan deretan bintang film terkenal yang beberapa karakter di dalamnya berbeda dengan novelnya.

Meski begitu, sekali lagi, esensi novelnya tidak pudar sama sekali, mungkin semua diniatkan untuk semakin memperkuat penceritaan saja.

Usaha Kenneth Branagh memperkuat karakter Hercule Poirot adalah menampilkan latar belakang kisah sang detektif sewaktu masih jadi tentara di awal film yang menceritakan asal-usul Poirot menumbuhkan kumis.

Lalu, tersirat pula kisah cinta yang singkat dengan istrinya. Hanya saja, latar belakang ini terkesan tidak ada korelasinya dengan cerita inti film, sehingga hanya meninggalkan ambiguitas. Selain itu, kontinuitas cerita dari film sebelumnya tidak terkoneksi dengan baik.

Jika masih ingat, di akhir film Murder on the Orient Express, Hercule Poirot diminta oleh militer Inggris untuk menyelidiki pembunuhan di Sungai Nil, menyiratkan sudah terjadi pembunuhan pertama sebelum kedatangan Poirot ke Mesir. Sedangkan dalam ceritanya, Poirot berada di atas kapal saat pembunuhan pertama terjadi.

Tapi kemudian “kesalahan” ini diakali dengan sebuah dialog yang terjadi saat Poirot datang ke restoran di awal film. Pemilik restoran mengucapkan selamat kepadanya atas keberhasilannya menyelesaikan kasus di Mesir.

Sehingga, hal tersebut membuat cerita pembunuhan di kapal Karnak bukanlah kasus yang diminta untuk diselidiki di akhir film sebelumnya.

Kemudian, kalau kasus di Mesir sudah terungkap, apakah alasan Poirot datang lagi ke Mesir? Oleh karena itulah dibuat sub-cerita yang dijadikan alasannya kembali ke Mesir, yaitu menyelidiki sosok Rosalie atas permintaan Euphemia yang tidak setuju Bouc memiliki hubungan asmara dengannya.

Sub-cerita ini mungkin sedikit mengganggu fokus kita pada investigasi pembunuhan yang dilakukan Poirot, tapi karena dihadirkan dengan kesan mencekam maka membuat jantung kita cukup berdebar saat kasus kecil ini diungkapkan oleh Poirot dihadapan Euphemia, Bouc, Rosalie, dan Salome.

Detail Produksi yang Mengagumkan

Detail Produksi yang Mengagumkan_

Dengan seting di era 1930an, film Death on the Nile tampil sangat autentik dengan desain produksi yang detail, terutama di sisi fashion yang membuat para pemerannya tampil bak aktor dan aktris di zaman film bisu.

Selain kostum, tampilan Mesir zaman dulu terlihat sangat menakjubkan dan terasa sekali vibe era klasik tersebut, meski kita yakin semua itu adalah hasil polesan visual effect belaka.

Sisi visual effect ini dimaksimalkan nyaris di sepanjang film, terutama dalam pergerakan jangkar yang ditampilkan berkali-kali di dalam film, begitu juga di pergerakan kamera yang seolah berenang dari dasar sungai ke permukaan, juga sebaliknya.

Menurut catatan produksi, keseluruhan adegan di atas kapal dilakukan di Longcross Studio Inggris, dan untuk eksteriornya dilakukan di Maroko.

Kerja maksimal dari sisi sinematografi juga cukup mengagumkan, antara lain adegan awal saat pertempuran di Perang Dunia I.

Adegan yang ditampilkan tanpa warna dan satu adegan dimana Bouc melemparkan mantelnya ke sungai yang dibesut dalam hitam-putih dan hanya menampilkan warna pada mantelnya saja, mengingatkan kita kepada salah satu adegan di film Schindler’s List (1993).

Death on the Nile tampil dengan kedetailan yang tinggi di sisi produksi dan performa akting yang apik dari para pemerannya. Meski ada beberapa perbedaan di alur cerita dan karakter dari novelnya, esensi kisah tidak ternodai sama sekali.

Kenneth Branagh sekali lagi berhasil memperlihatkan kesungguhan hatinya untuk menghasilkan film yang bagus, terutama kisah dari karakter favoritnya, Hercule Poirot.

Film ini layak kalian tonton, terutama bagi yang menyukai kisah detektif dalam mengungkap misteri pembunuhan. Kecermatan dan kecerdikan Hercule Poirot tidak kalah dari Sherlock Holmes, sehingga membuat film ini tetap menarik untuk disimak hingga akhir. Selamat menonton dan menebak siapa pembunuhnya!

cross linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram