bacaterus web banner retina

Sinopsis dan Review Burning Sands, Tragedi di Kampus

Ditulis oleh Dhany Wahyudi
Burning Sands
3
/5
PERHATIAN!
Artikel ini mengandung spoiler mengenai jalan cerita dari film/drama ini.

Menjelang “Hell Week”, Zurich, seorang calon anggota persaudaraan, menghadapi dilema apakah dia akan tetap menjunjung tinggi rahasia persaudaraannya atau melawan kekerasan intensif dalam perpeloncoan. Burning Sands adalah original film Netflix yang menguak sisi kelam perpeloncoan di dalam sebuah persaudaraan kampus.

Pertama kali ditayangkan di Sundance Film Festival pada 24 Januari 2017, film ini kemudian dirilis secara streaming oleh Netflix pada 10 Maret 2017. Diarahkan oleh sutradara debutan Gerard McMurray, film ini menuai respon cukup positif, terutama karena akting Trevor Jackson dan cerita menarik tentang moralitas sebuah kelompok meski sangat terkesan klise.

Simak review Burning Sands tentang film yang banyak menampilkan adegan kekerasan dengan pendekatan empati yang baik berikut ini!

Sinopsis

Sinopsis
  • Tahun: 2017
  • Genre: Drama
  • Produksi: Mandalay Pictures, Homegrown Pictures, Hudlin Entertainment
  • Sutradara: Gerard McMurray
  • Pemeran: Trevor Jackson, Alfre Woodard, Steve Harris

Lima mahasiswa calon persaudaraan Lambda Lambda Phi di Universitas Frederick Douglass sedang menempuh “Hell Week”, sebuah proses perpeloncoan intensif dimana mereka harus melakukan banyak tugas dari para seniornya, tugas mulia ataupun tugas ilegal. Zurich, salah satu calon tersebut, berusaha untuk membagi waktunya juga untuk belajar dan kekasihnya.

Salah satu dosennya, Profesor Hughes, menyadari keresahan mahasiswanya itu, tetapi Zurich tidak mau angkat bicara. Oleh persaudaraannya, dia tidak diizinkan untuk berbicara kepada dosen terutama dekan yang juga alumni persaudaraan yang sama. Setiap harinya mereka dipukuli dan dikerjai oleh para seniornya, tetapi juga dilibatkan dalam berbagai kesenangan pesta dan wanita.

Zurich berada dalam sebuah dilema. Dia mendaftar ke dalam persaudaraan ini karena dulu ayahnya gagal dalam perpeloncoan dan juga atas rekomendasi Dekan Richardson. Nuraninya menentang banyak tindakan amoral yang dilakukan oleh seniornya dan diterapkan juga kepada mereka. Tetapi lulusan dari persaudaraan ini mayoritas sukses dalam karir dan hidup mereka setelahnya.

Kekasih Zurich mulai merasa terabaikan olehnya yang mementingkan pertemuan demi pertemuan persaudaraannya, meski Zurich menjanjikan hanya butuh waktu seminggu saja. Tapi sebuah rumor negatif tentang persaudaraan ini yang sampai ke telinga kekasihnya itu membuat hubungan mereka putus, padahal hal itu tidak dilakukan oleh Zurich.

Semakin mendekati “Hell Night” ketegangan semakin memuncak. Zurich sulit bernapas karena tulang rusuknya cedera akibat menerima banyak pukulan, tugas makalahnya belum selesai dan kehidupan cintanya berantakan. Tetapi dia sangat ingin bisa menjadi bagian persaudaraan ini demi meraih masa depan yang cerah seperti para alumninya dan pembuktian kepada ayahnya.

Zurich menyelesaikan makalahnya malam itu sebelum berangkat bersama rekan-rekannya ke sebuah tempat dimana “Hell Night” dilangsungkan. Mereka disambut dengan teriakan dan pemukulan dari para senior dan alumni, bahkan mereka harus memakan makanan anjing. Zurich yang terus dipukul, juga bagian tulang rusuknya, nyaris pingsan. Tapi justru Frank, rekannya, yang mengalami cedera parah.

Senior mereka memerintahkan untuk meletakkan Frank di luar UGD rumah sakit. Tapi mereka tidak tega, apalagi setelah menyadari jika Frank telah meninggal dunia. Zurich terdiam dalam kesedihannya dan kemudian menghubungi ayahnya.

Perpeloncoan Kelewat Batas

Perpeloncoan Kelewat Batas

Apakah harus ada perpeloncoan agar bisa diterima sebagai bagian dari persaudaraan atau kelompok apapun itu? Rasanya, kalau hanya untuk menerapkan nilai-nilai atau budaya kelompok tidak perlu menggunakan kekerasan, karena tidak semua orang mampu menahan perlakuan berat terhadap fisik, apalagi itu berupa pemukulan atau jenis penyiksaan lainnya.

Efeknya tidak hanya badan yang sakit, tapi juga akan meninggalkan bekas di dalam hati dan pemikiran mereka. Dan lingkaran setan ini tidak akan berhenti, karena warisan perpeloncoan ini akan terus terjadi dan motifnya bisa berubah menjadi dendam karena dulu mereka pun diperlakukan seperti itu saat menjadi calon anggota dan mereka harus membalaskannya kepada junior mereka.

Di dalam film Burning Sands ini, persaudaraan bernama Lambda Lambda Phi memiliki para alumni yang sukses berkat nilai-nilai yang diterapkan di dalam organisasi ini, dan mereka juga dahulu menerima kekerasan fisik seperti ini pula yang dianggap hanya sebagai fase pembentukan kualitas diri agar kuat menghadapi masa depan yang lebih keras.

Tapi senior persaudaraan angkatan kali ini memang memiliki moral yang jauh dari kata baik, meski itu hanya ada pada beberapa oknum saja, salah satunya adalah ketua angkatan. Mereka melakukan kekerasan fisik dan tidak memperhatikan tingkat bahaya yang juniornya alami, hingga terjadi sebuah tragedi yang merenggut nyawa salah satu diantaranya.

Dilema Zurich yang memuncak terjawab dengan kesedihan, padahal mereka berlima telah membuat janji akan memanusiakan para junior mereka kelak saat mereka telah menjadi senior, dan kekerasan ini harus dihentikan. Tapi peristiwa ini mungkin akan mengubah segalanya. Di akhir film, Zurich menghubungi ayahnya. Pertanyaannya, apakah dia mundur dari persaudaraan atau tetap berada di dalamnya?

Pengarahan yang Rapi dari Sutradara Baru

Pengarahan yang Rapi dari Sutradara Baru

Sutradara Gerard McMurray menyerahkan jawaban keputusan Zurich kepada kita. Condong kemanakah pilihan kita? Sebenarnya McMurray bukanlah orang baru di dunia film. Meski dia gagal sebagai aktor, tapi dia adalah salah satu produser di film sukses berkualitas, Fruitvale Station (2013). Masih mengangkat tema seputar kekerasan pada warga Afrika-Amerika, dia mulai menulis naskah Burning Sands.

Kabarnya, cerita dalam film ini berdasarkan kejadian yang pernah dialaminya saat dia duduk di bangku kuliah dan mengalami perpeloncoan yang penuh dengan kekerasan fisik. Oleh karena itulah film ini terasa intim dan sangat lekat dari sisi kedalaman karakternya, dan semua terasa natural. Tapi sebagai pemula, ada beberapa plot cerita yang terabaikan dan tidak diangkat lagi meski itu potensial.

Nilai-nilai kehidupan warga Afrika-Amerika yang di masa lampau pernah menjadi budak, coba dihilangkan dan dijunjung tinggi hak asasi manusia-nya dalam permasalahan rasisme. Tapi yang dilakukan oleh persaudaraan ini justru membuat perasaan Zurich dan rekan-rekannya seperti mereka adalah budak yang disuruh-suruh dan disiksa, lebih buruk lagi, perlakuan ini datang dari golongannya sendiri.

Bahan pemikiran inilah yang didengungkan sepanjang film, baik dari narasi yang diucapkan Zurich atau selentingan-selentingan kalimat dari Profesor Hughes saat mengajar di kelasnya. Memang, tidak ada yang lebih menyakitkan ketika kita diperlakukan buruk oleh saudara sendiri. Dan, dari sisi ini, McMurray berhasil mengangkat bahan pemikiran ini dengan baik dan dapat diterima oleh kita.

Performa Apik Para Pemerannya

Performa Apik Para Pemerannya

Kualitas film ini juga terangkat berkat faktor performa apik dari para pemerannya, terutama Trevor Jackson sebagai Zurich dan DeRon Horton sebagai Square. Akting mereka berdua terlihat lebih “berisi” dibandingkan aktor lainnya. Jackson jelas memiliki durasi yang lebih banyak karena dia tokoh utamanya, tapi Horton bisa mencuri di setiap adegan yang menampilkannya, baik dalam situasi komedi atau serius.

Tapi masih saja ada aktor-aktor yang tampil tidak maksimal bahkan terkesan hampir mencoreng film ini, antara lain adalah para senior yang sepertinya tidak sungguh-sungguh membawakan karakternya, bahkan dalam salah satu adegan, satu di antara mereka (yang bertubuh gemuk) nyaris selalu terlihat tersenyum geli, bahkan pada adegan kekerasan yang dilakukan oleh para senior.

Kelemahan ini tidak serta-merta membuat film ini buruk. Ini hanyalah kekurangan yang berskala ringan. Mungkin saja aktor itu tidak akan banyak main film lagi, siapa yang tahu? Burning Sands bisa menjadi salah satu pilihan tontonan yang bagus bagi para penikmat film drama.

Dengan rating yang berada di area standar, film ini bisa menjadi bahan pemikiran kita tentang serpihan makna dalam kehidupan, terutama nilai-nilai moral dalam kehidupan modern. Film berdurasi pas ini, 1 jam 36 menit, bisa menemani waktu luang kita dengan baik. Jika belum menontonya, masukkan dalam watchlist kalian, ya!

cross
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram