bacaterus web banner retina

Sinopsis & Review Film Blue Is the Warmest Color (2013)

Ditulis oleh Aditya Putra
Blue is the Warmest Colour
4
/5
PERHATIAN!
Artikel ini mengandung spoiler mengenai jalan cerita dari film/drama ini.

Masa remaja menjadi fase yang krusial dalam hidup seseorang. Peristiwa yang terjadi di peralihan dari usia anak untuk menjadi dewasa dapat berpengaruh besar dalam membentuk kepribadian seseorang. Oleh karena itu, fase itu disebut sebagai fase pencarian jati diri karena di saat itu seseorang akan melakukan kesalahan dan belajar darinya.

Sangat jarang proses pencarian jati diri yang berjalan dengan mulus. Malahan, proses yang lebih berliku cenderung mendatangkan hasil yang lebih nyata.

Pencarian jati diri pula yang dialami oleh remaja bernama Adele di film Blue Is the Warmest Colour dalam menentukan siapa dirinya. Seperti apa kisah lengkapnya? Simak sinopsis dan review filmnya berikut ini.

Sinopsis

blue-is-the-warmest-colour-1_

Adele adalah seorang perempuan berusia 15 tahun. Sebagaimana remaja seusianya, dia sering mengobrol tentang pria bersama teman-temannya. Suatu hari, dia melihat seorang wanita berambut biru ketika sedang menyeberang jalan. Setelah itu, dia nggak bisa melupakan sosok wanita itu yang melekat dalam ingatannya.

Adele didekati oleh Thomas. Setelah bersusah-payah mendekati wanita pujaannya, Thomas akhirnya berhasil mendapatkan Adele. Keduanya pun tidur bersama. Sayangnya, Adele merasa ada kekosongan dalam dirinya. Dia bahkan lebih merasakan kebahagiaan ketika melakukan masturbasi membayangkan wanita yang ditemuinya di jalan.

Ketidakbahagiaan bersama Thomas membuat Adele memutuskan hubungan dengan Thomas. Adele pun memulai petualangan untuk mencari cinta

Salah satu pemicu Adele mempertanyakan orientasi seksualnya adalah ketika dia berciuman dengan teman perempuannya. Tapi Adele diminta untuk melupakan ciuman itu karena temannya nggak mengharapkan lebih.

Valentin, teman Adele yang merupakan gay, mengajak Adele ke sebuah bar untuk gay. Setelah beberapa waktu, Adele memutuskan untuk pergi ke bar untuk lesbian. Di sana dia bertemu seorang wanita yang menghadang wanita-wanita lain mendekati Adele.

Wanita itu berambut biru, persis seperti yang dilihat Adele tempo hari. Wanita berambut biru itu mengatakan bahwa Adele adalah sepupunya.

Wanita berambut biru di bar mengenalkan dirinya dengan nama Emma, seorang lulusan sekolah seni. Adele bersama Emma sering menghabiskan waktu bersama.

Teman-teman Adele mulai melihat Adele sebagai seorang lesbian terutama setelah melihat sosok Emma. Mereka mengucilkan Adele dan Emma tapi hal itulah yang justru membuat keduanya semakin dekat.

Adele dan Emma mulai berani bepergian berdua bahkan keduanya berhubungan intim. Emma kemudian mengajak Adele untuk bertemu keluarganya. Keluarga Emma menyambut hangat kehadiran Adele.

Hal itu berbanding terbalik ketika Adele mengajak Emma bertemu keluarganya yang konservatif. Adele menyatakan bahwa Emma adalah tutornya di kelas psikologi.

Tiga tahun kemudian, Adele diberikan kejutan oleh teman-teman lamanya. Di hari ulang tahun ke-18 itu, Emma sama sekali nggak hadir.

Setahun kemudian, Adele dan Emma memutuskan untuk tinggal bersama. Adele mulai menjadi guru di sekolah sedangkan Emma mulai mengejar karirnya sebagai pelukis. Emma juga sering mengadakan pesta di rumah bersama teman-temannya.

Adele menghadiri salah satu pesta yang diadakan Emma. Dia berkenalan dengan teman-teman Emma yaitu Lise yang sedang hamil, Joachim yang memiliki galeri terbesar di Lille dan Samir yang berprofesi sebagai aktor.

Ketika teman-teman Emma sedang membicarakan seks, hanya Samir yang mengajak Adele mengobrol. Sedangkan Emma lebih banyak menghabiskan waktu bersama Lise.

Emma meminta Adele untuk lebih fokus mengejar mimpi sebagai penulis daripada menjadi guru. Adele menyatakan bahwa dia bahagia menjadi guru.

Keduanya menyadari bahwa semakin mereka tumbuh, kesamaan minat mereka sangatlah minim. Berbagai ketidakcocokan semakin muncul. Akankah kisah cinta Adele dan Emma berakhir bahagia?

Penggambaran Kisah Secara Gamblang

blue-is-the-warmest-colour-2_

Blue Is the Warmest Colour merupakan tipikal film yang sensitif bagi sebagian orang. Cerita penyuka sesama jenis serta menyertakan adegan erotis jelas bukanlah sesuatu yang bisa dinikmati oleh semua orang. Tapi inti dari ceritanya adalah tentang pencarian jati diri dan semuanya digambarkan secara gamblang.

Adele dan Emma digambarkan sebagai dua dunia yang berbeda. Adele berasal dari keluarga konservatif sedangkan Emma berasal dari keluarga pecinta seni yang lebih liberal.

Dua pola pikir yang berbeda dari keluarga itu merupakan cerminan kehidupan sosial saat ini. Pun dengan karakter Adele yang lebih tertutup sedangkan Emma lebih luwes bersosialisasi dengan orang banyak.

Berbeda dengan kebanyakan film yang menceritakan pecinta hubungan sesama jenis, film ini secara berani menggambarkan bagaimana pandangan keluarga dan lingkungan sekitar.

Baik Adele maupun Emma pun diceritakan berasal dari keluarga yang utuh. Hal itu seakan-akan menjadi pernyataan bahwa keputusan mereka menjadi penyuka sesama jenis murni berawal dari ketertarikan satu sama lain.

Masalah-masalah yang dihadapi Adele dan Emma dalam hubungan mereka pun sangatlah relate dengan kehidupan sehari-hari. Perbedaan gaya hidup dan visi yang merupakan beberapa hal fundamental dijadikan benturan yang utama. Nggak mengherankan dengan cara seperti ini, cerita mereka bisa begitu menyentuh.

Durasi Hampir Tiga Jam

blue-is-the-warmest-colour-3_

Untuk ukuran sebuah film drama dan romance, durasi selama hampir tiga jam adalah waktu yang panjang. Banyak adegan yang diulang serta adegan yang menyoroti titik-titik tubuh Adele maupun Emma ditampilkan.

Abdellatif Kehiche sebagai sutradara film ini seperti ingin menjabarkan bahwa detil-detil kecil itu begitu berharga bagi berlangsungnya hubungan Adele dan Emma.

Blue Is the Warmest Colour yang dibuat berdasarkan buku berjudul serupa karya Jul Maroh, membagi cerita ke dalam dua bagian. Bagian pertama adalah menyoroti bagaimana kehidupan Adele sebagai seorang remaja. Bagian kedua adalah menyoroti bagaimana hubungan Adele bersama Emma beserta lika-likunya.

Secara sinematografi, film ini banyak mengambil gambar dengan handheld camera. Hebatnya dengan teknik itu bisa menangkap kehangatan adegan-adegan yang ditampilkan.

Ada adegan bagaimana Adele bermain bersama anak-anak, berdiam tanpa suara dan lainnya. Semua dirangkum seolah-olah sosok Adele begitu dekat dengan mata kita.

Chemistry Lea Seydoux dan Adele Exarchopoulos

blue-is-the-warmest-colour-4_

Baca Juga: 20 Film Tentang Cinta Terlarang yang Seru untuk Ditonton

Blue Is the Warmest Colour praktis mengandalkan dua aktor utamanya yaitu Lea Seydoux dan Adele Exarchopoulos. Dengan tempo yang dimainkan secara pintar, ekspresi keduanya tanpa berbicara pun cukup untuk menggerakkan cerita.

Chemistry keduanya juga berhasil menunjukkan bagaimana sepasang manusia sedang jatuh cinta, pun ketika dilanda masalah. Emosi yang dimainkan bisa disampaikan dengan baik.

Secara pendalaman karakter, baik Adele maupun Lea berhasil menunaikan tugasnya dengan sempurna. Adele bisa menjadi sosok yang tertutup dan lebih pendiam. Berbanding terbalik dengan Lea sebagai Emma yang lebih berjiwa bebas dan menyukai seni serta bacaan yang sama sekali di luar pemahaman Adele.

Blue Is the Warmest Colour sebagai sebuah film drama berhasil melaksanakan tugasnya untuk membuat cerita yang sederhana tapi menyentuh. Sebagaimana judulnya, kita seperti dibawa menikmati warna biru yang damai.

Tapi di sisi lain, warna biru itu bisa juga menjadi pertanda ada jurang yang dalam dan bisa membuat kita tenggelam. Kalau mau nonton, pastikan kamu sudah cukup umur ya teman-teman. Mau merekomendasikan film tentang pencarian jati diri? Langsung tulis di kolom komentar, yuk!

cross
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram