bacaterus web banner retina

Sinopsis & Review Film Beasts of No Nation (2015)

Ditulis oleh Dhany Wahyudi
Beasts Of No Nation
4.1
/5
PERHATIAN!
Artikel ini mengandung spoiler mengenai jalan cerita dari film/drama ini.

Seorang bocah yang harus terpisah dari ibu dan adiknya juga harus ditinggal mati oleh ayah dan kakaknya menjalani pengalaman yang keras dalam hidupnya sebagai tentara pemberontak. Hati nuraninya tercabik ketika dia melihat banyaknya kejahatan dan keburukan dalam perang yang memburamkan nilai moral baginya.

Beasts of No Nation adalah film drama perang yang menjadi original film Netflix pertama dan dirilis pada 16 Oktober 2015. Berdasarkan novel karya Uzodinma Iweala yang terbit pada tahun 2005, sutradara sekaligus penulis naskah Cary Joji Fukunaga berusaha tetap setia dengan plot cerita dalam novelnya dan menerjemahkannya dengan kekuatan sinematografi yang indah sekaligus mencekam.

Pertama kali ditayangkan di Venice International Film Festival dimana Abraham Attah yang berperan sebagai Agu mendapat penghargaan Marcello Mastroiani Award, kemudian film ini juga ditayangkan di Toronto International Film Festival sebelum akhirnya hak tayangnya dibeli oleh Netflix sebesar $12 juta dan dirilis streaming dalam skala internasional.

Bertebaran informasi jika film ini menampilkan kekejaman perang secara eksplisit. Apakah benar? Simak review kami dari film yang berlokasi syuting di Ghana ini.

Baca juga: 10 Film Terbaik yang Bercerita tentang Strategi Perang

Sinopsis

beast-of-no-nation-1_

Perang saudara pecah di sebuah negara di kawasan Afrika Barat. Seorang bocah bernama Agu hidup di wilayah netral antara daerah yang dikuasai oleh pemberontak dan daerah dibawah pemerintahan resmi, dimana wilayah ini dijaga oleh pasukan dari PBB dan ECOMOG (sebuah otoritas ekonomi di kawasan Afrika Barat).

Diberitakan bahwa pemerintahan berhasil digulingkan dan sekarang kekuasaan dipegang oleh pihak pemberontak. Seketika daerah itu ricuh dimana banyak warganya memilih mengungsi, bahkan ayah Agu sampai membayar mahal kepada pemilik mobil supaya mau membawa istri dan anak bungsunya keluar dari daerah itu. Sementara Agu, ayahnya dan kakaknya tetap tinggal disana.

beast-of-no-nation-5_

Pasukan pemberontak dan militer pemerintah baku-tembak di daerah itu. Militer pemerintah berhasil memukul mundur para pemberontak dan mengumpulkan orang-orang yang mereka temui. Setelah mendapat penjelasan dari seorang wanita gila, seluruh orang termasuk ayah Agu ditembak mati, sementara Agu dan kakaknya, yang kemudian tewas di jalan, melarikan diri ke hutan.

Setelah beberapa hari di hutan dan memakan daun-daunan, Agu terjebak dalam pertempuran kecil. Ditangkap oleh pihak gerilyawan pemberontak bernama Native Defense Forces (NDF), Agu direkrut untuk dijadikan tentara. Kelompok pemberontak ini mayoritas terdiri dari kaum muda, bahkan beberapa diantaranya masih bocah seusia dengan Agu, salah satunya menjadi teman akrabnya, Strika.

Setelah melalui latihan yang keras dan berat, Agu dan tentara baru lainnya diberi mantra oleh dukun mereka dan mulai diajak turun ke medan tempur. Dalam penyergapan di jembatan, Sang Komandan meminta Agu untuk memenggal kepala tawanan mereka. Bersama Strika, dia menyelesaikan tugas itu dan kemudian diangkat menjadi penjaga utama Sang Komandan.

beast-of-no-nation-6_

Serangan demi serangan mereka lakukan di daerah-daerah dimana kemenangan selalu berada di pihak mereka, memunculkan euphoria tentang masa depan bangsa yang cerah. Kedekatan Agu dengan Sang Komandan pun semakin erat, hingga di suatu malam Sang Komandan memperkosa Agu yang menghancurkan semangat dan merobek kemurnian hatinya.

Untuk menghilangkan ingatan akan kejadian itu, Agu melanjutkan pertempuran demi pertempuran dengan membabi-buta, bahkan dia sudah berani menembak mati seorang wanita di kepala dengan cara yang dingin. Dengan banyaknya kemenangan yang diraih oleh pasukan ini, membuat mereka diundang untuk bertemu pimpinan tertinggi mereka, Dada Goodblood.

Di pertemuan itu, Goodblood memindahkan pangkat komandan kepada Two-I-C dan memposisikan Sang Komandan sebagai staf di bawah komandan baru. Sang Komandan sebenarnya tidak terima karena penurunan pangkat ini dianggap telah menghinanya. Dia pun keluar dan mengajak pasukannya untuk berpesta di rumah bordil.

beast-of-no-nation-7_

Saat masing-masing sibuk dengan urusannya disana, tiba-tiba Two-I-C tertembak oleh salah satu wanita disana secara tidak sengaja, tapi Two-I-C menuduh ini adalah rencana Sang Komandan. Agu kemudian mengejar wanita itu dan menembaknya, lalu mereka pergi meninggalkan kota.

Pasukan ini menjadi kejaran rekan dan juga musuh mereka. Serangan demi serangan mengurangi jumlah pasukan dan mereka harus bersembunyi di sebuah tambang emas selama berbulan-bulan dengan persediaan makanan dan peluru yang semakin menipis. Tidak betah dengan keadaan ini, Preacher mengajak rekan-rekannya untuk pergi meninggalkan Sang Komandan.

Dalam perjalanan menuju kota, mereka bertemu pasukan PBB dan menyerahkan diri. Anggota pasukan yang masih kecil dipisahkan dan ditempatkan di sekolah yang berlokasi di daerah yang aman dari perang. Agu mengucilkan diri dari murid lain, dan ketika ditanya oleh pihak konseling dia berujar bahwa dia merasa layaknya “monster” dengan pengalaman perang yang telah dijalaninya.

Penerjemahan yang Indah dari Sang Sutradara

beast-of-no-nation-2_

Nama Cary Joji Fukunaga sebagai sutradara, penulis naskah dan sinematografer, memang membawa aura tersendiri dalam film-film besutannya yang membuatnya menjadi salah satu sineas yang diperhitungkan di perfilman dunia meski baru menggarap tiga buah film saja, tapi semuanya memiliki kualitas di atas rata-rata dan memiliki ciri khas sinematografi selayak puisi.

Sin Nombre (2009) adalah film pertamanya produksi Meksiko yang langsung menyabet banyak penghargaan, terutama di perhelatan Sundance Film Festival. Kemudian dia mengarahkan sebuah film drama produksi Inggris dari adaptasi novel karya Charlotte Bronte, Jane Eyre (2011), yang desain kostumnya mengantarkan film ini masuk nominasi Oscar.

Lalu, di tahun 2014, Fukunaga mengarahkan sebuah miniseri yang ditayangkan oleh HBO bertajuk True Detective yang mempertemukan Woody Harrelson dan Matthew McConaughey sebagai pasangan detektif dalam menguak sebuah misteri dari kasus pembunuhan yang mereka tangani. Sering disebut sebagai salah satu miniseri terbaik yang pernah ada, serial ini membuktikan kepiawaian pengarahannya.

Senada dengan film Beasts of No Nation ini, dimana Fukunaga menampilkan cerita yang dalam dan puitis, dibalut sinematografi yang indah sekaligus mencekam dan performa para pemerannya yang sangat baik. Layaknya proyek ambisius baginya, dimana dia bertindak sebagai sutradara, penulis naskah dan sinematografer, membuktikan kehandalannya dalam menerjemahkan esensi novel ke dalam film.

Secara penceritaan, naskah film dengan durasi 2 jam 17 menit ini memiliki pondasi cerita yang kokoh meski hanya ditampilkan sekilas saja di awal film yang dilanjutkan dengan kedalaman psikologis karakter Agu ditengah ambiguitas visi dari pimpinannya, Sang Komandan. Perlahan tapi pasti, kita dibawa hanyut dalam petualangan pedih dan brutal dari Agu.

Penceritaan yang baik ini kemudian dibalut dengan sinematografi yang mampu menangkap semua aspek penting yang membantu menciptakan nuansa perang psikologis juga perang secara fisik. Fukunaga tidak segan-segan menampilkan kebrutalan Agu dan rekan-rekannya saat menyerang, bahkan ada satu adegan yang diambil dengan teknik single continuous shot, selain permainan warna yang bernuansa puitis.

Akting Powerful dari Idris Elba dan Abraham Attah

beast-of-no-nation-3_

Elemen terbaik lain dari film ini ialah kekuatan akting para pemerannya, terutama Idris Elba dan Abraham Attah. Idris Elba yang berperan sebagai Sang Komandan tampil kharismatik sekaligus berhati busuk, simpatik sekaligus menyeramkan, lembut namun penuh kebencian. Rasanya memang hanya Elba saja yang bisa memerankan karakter sekomplek ini.

Bagi para tentaranya, sosok Sang Komandan seperti ayah, guru, pelatih, dan motivator bagi para bocah yang bertujuan ingin menciptakan para pejuang tangguh untuk memerdekakan negaranya. Tapi nyatanya, dia justru menciptakan para “monster” kecil yang tidak segan-segan membunuh, merampok, memperkosa dan menyiksa semua yang mereka anggap musuh.

Begitupun dengan karakter Agu yang awalnya tampak selalu ceria, lalu ketakutan saat pasukan pemerintah menuduh mereka sebagai pemberontak, hingga tampil trengginas sebagai tentara pemberontak yang tidak takut mati, yang kemudian diakhiri dengan pencarian akan kedamaian hati yang mulai ditemukannya saat berada di sekolah.

Abraham Attah membawakan karakter ini dengan sangat meyakinkan, hingga membuat kita terbawa dalam kisah perjalanan hidupnya yang keras dan pahit ini. Meski Agu tidak segan-segan membunuh dan patuh kepada Sang Komandan, di dalam hati kecil, kita tetap yakin bahwa Agu akan kembali menjadi anak yang baik. Dan semua terjawab sesuai harapan di akhir film.

Efek Buruk dari Perang

beast-of-no-nation-4_

Peperangan tidak pernah membawa efek positif dalam sejarahnya, banyak kerusakan yang dibuat akibatnya, dan yang menjadi korban adalah rakyat. Seperti perang saudara yang diceritakan di dalam film ini, dimana ayah Agu yang merupakan penduduk setempat justru dituduh sebagai pemberontak hanya berdasarkan kesaksian orang gila.

Kerusakan psikologis Agu yang menjalani hidupnya sebagai tentara pemberontak di usia muda nyaris membuatnya tenggelam lebih dalam jika saja dia tidak berani untuk melangkah meninggalkan Sang Komandan yang sudah mulai terlihat tidak waras. Motivasi yang awalnya tinggi karena memiliki tujuan yang mulia, memerdekakan negaranya, menjadi buram cenderung kelam dengan rentetan kebrutalan.

Untung saja Agu masih memiliki pikiran yang sehat dan hati yang selalu terpaut dengan Tuhan yang membuat hati nuraninya menuntunnya untuk kembali berada di jalan yang benar.

Beasts of No Nation menjadi film drama dengan kualitas yang tinggi. Meski terasa masih kurang autentik karena penggunaan bahasa Inggris yang lebih banyak daripada bahasa Akan yang hanya muncul di awal film saja dan nama negara yang tidak diungkap hingga akhir film, menjadikan film ini seperti berada di dunia fantasi daripada di dunia nyata.

Tapi itu hanyalah elemen yang tampil dalam porsi yang kecil dan tidak begitu mengganggu jalan cerita. Walhasil, dengan menyandang predikat certified fresh dari Rotten Tomatoes dan beberapa penghargaan dari festival film internasional yang bergengsi, tentunya menjadikan film ini sangat layak untuk ditonton. Sudah siap perang psikologi bersama Agu? Langsung tonton saja di Netflix!

cross
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram