showpoiler-logo

Sinopsis & Review Film All Quiet on the Western Front (2022)

Ditulis oleh Dhany Wahyudi
All Quiet on the Western Front
4.1
/5
showpoiler-logo
PERHATIAN!
Artikel ini mengandung spoiler mengenai jalan cerita dari film/drama ini.

Tergerak oleh semangat patriotik, Paul dan teman-temannya mendaftar ke militer untuk diterjunkan ke medan Perang Dunia I. Pandangan romansa tentang perang seketika berubah saat melihat kenyataan akan kesadisan pertempuran sebenarnya. Kehilangan teman dan berusaha bertahan hidup di medan tempur, perasaan Paul mulai berkecamuk.

All Quiet on the Western Front adalah film perang berbahasa Jerman karya Edward Berger yang dirilis secara internasional oleh Netflix pada 28 Oktober 2022.

Merupakan adaptasi dari novel legendaris karya Erich Maria Remarque, film ini juga menjadi adaptasi ketiga setelah film produksi Amerika di tahun 1930 dan film TV produksi tahun 1979.

Diproduksi dan dibintangi oleh para aktor asal Jerman, film yang menjadi andalan Jerman di Oscar ini terkesan lebih autentik dan setia dengan sumber aslinya. Benarkah film perang ini memiliki pesan tentang anti perang? Simak review berikut untuk mengetahui ulasan menyeluruh dari film ini.

Baca juga: 10 Film Terbaik yang Mengambil Tema Tentang Perang Dunia I

Sinopsis

Sinopsis

Jerman, musim semi tahun 1917. Empat pelajar mendaftar secara sukarela ke Imperial German Army untuk diturunkan ke medan Perang Dunia I. Salah satunya adalah Paul, yang mendaftar tanpa izin dari orang tuanya.

Mereka kemudian mendapat seragam yang ternyata adalah milik para tentara pendahulu mereka yang sudah gugur. Mereka kemudian ditempatkan di Prancis Utara dimana kemudian mereka berteman dengan Kat yang sekaligus menjadi mentor mereka.

Bayangan romansa peperangan seketika lenyap ketika mereka melihat kekejian medan tempur Western Front dengan parit sebagai benteng pertahanannya. Di pertempuran pertama, Ludwig tewas tertembak.

Setahun berlalu, peperangan belum berhenti. Paul berteman akrab dengan beberapa tentara lain dengan banyak aktivitas di sela-sela pertempuran. Mereka mencuri angsa untuk dimasak, juga menggoda wanita.

Sementara itu, pejabat Jerman Matthias Erzberger yang lelah dengan banyaknya kerugian pemerintah akibat perang, mengajukan wacana gencatan senjata kepada petinggi militer negaranya.

Paul dan rekan-rekannya ditugaskan untuk mencari pasukan yang hilang di medan tempur. Ternyata mereka semua tewas karena menghirup gas beracun. Matthias dan beberapa pejabat lain sampai di hutan Compiegne dimana jenderal Prancis menunggu mereka untuk melakukan perjanjian.

Ferdinand Foch, komandan pasukan sekutu, memberikan waktu selama 72 jam bagi Jerman menyetujui perjanjian ini. Pasukan Jerman kemudian menyerang parit pasukan Prancis.

Saat merasa telah meraih kemenangan, mereka dikagetkan dengan kedatangan beberapa tank yang memaksa mereka untuk mundur.

Paul yang terjebak di wilayah no man’s land, berusaha menyelamatkan diri untuk bisa kembali ke markas. Dia menusuk seorang tentara Prancis dan melihatnya mati secara perlahan.

Paul berhasil kembali ke markas dan melihat para tentara Jerman sedang berpesta karena perang akan segera berakhir. Dia bertemu dengan Tjaden yang berada dalam kondisi luka parah.

Bersama Kat, Paul membawakan makanan untuk Tjaden. Namun justru Tjaden menusuk lehernya sendiri dengan garpu hingga tewas.

Pagi hari terasa hening. Tidak ada suara sirine atau dentuman meriam tanda mulainya perang. Paul dan Kat ingin merayakan akhir perang ini dengan mencuri angsa lagi untuk dimasak.

Namun kali ini mereka gagal dan Paul hanya bisa mendapatkan dua butir telurnya saja. Setelah menyantap telur mentah, Kat izin untuk buang air dimana dia ditembak oleh putra pemilik peternakan.

Dalam kondisi terluka, Kat dipapah oleh Paul untuk kembali ke markas. Sesampai di markas, seorang petugas medis yang memeriksa Kat menyatakan bahwa dia sudah meninggal dunia. Paul terhenyak tak percaya. Matthias akhirnya menandatangai perjanjian gencatan senjata yang mulai efektif pukul 11 siang.

Friedrich, Jenderal besar Jerman, ingin mengakhiri perang ini dengan kemenangan. Oleh karena itu, dia menitahkan seluruh tentara untuk menyerang parit Prancis sekali lagi sebelum jam 11 tiba demi sebuah kemenangan. Para tentara yang tidak mau ikut, langsung ditembak mati di tempat.

Paul terpaksa turun sekali lagi ke medan tempur. Berhasilkah dia tetap selamat? Atau justru gugur di medan perang? Tonton terus ketegangan pertempuran terakhir yang membuat perasaan kita sesak kala menyaksikannya.

Adaptasi Autentik dari Novel Terlarang

Adaptasi Autentik dari Novel Terlarang

Novel All Quiet on the Western Front pertama kali terbit sebagai sebuah buku pada Januari 1929. Buku ini termasuk ke dalam buku terlarang yang kemudian dibakar oleh Nazi Jerman.

Meski begitu, buku ini menjadi semakin populer dan termasuk sebagai salah satu novel terlaris yang terjual sebanyak 2,5 juta eksemplar dalam tahun pertama penerbitannya. Pada saat buku ini sedang populer, Hollywood segera memproduksi film adaptasinya yang kemudian sukses besar secara kualitas.

All Quiet on the Western Front (1930) menyabet Oscar sebagai Best Pictures dan Best Director untuk Lewis Milestone, serta dua nominasi lain di kategori Best Writing dan Best Cinematography.

Film klasik ini menjadi pijakan utama film-film bertema perang setelahnya. Adaptasi keduanya diperuntukkan bagi konsumsi TV yang tidak meninggalkan kesan apapun.

Tapi untuk film adaptasi terbaru ini, kesan autentik dengan deretan pemeran dari Jerman dan kesetiaan dengan novelnya menyematkan nuansa baru dalam durasinya sepanjang 2 jam 28 menit ini. Kesesuaian dengan fakta-fakta sejarah Perang Dunia I menjadi salah satu andalan film ini.

Meski alur cerita mengikuti dengan yang ada di novelnya, namun Edward Berger memasukkan juga serpihan kisah lain yang tidak ditampilkan dalam novelnya yaitu perjuangan pejabat Jerman, Matthias Erzberger yang melakukan diplomasi damai dan mencapai kesepaatan gencatan senjata.

Ian Stokell dan Lesley Paterson sangat jeli dan cermat meletakkan kisah ini di dalam naskahnya. Dengan kehadiran kisah sempalan ini, kita jadi semakin mengerti perasaan Paul yang masih berada di medan tempur. Juga menggambarkan sosok orang Jerman yang baik, bukan pendukung peperangan, pada diri Matthias Erzberger.

Karena kini Jerman sudah tidak dikuasai oleh Nazi lagi, proyek film ini ditangani oleh negara pemilik ceritanya tersebut. Kesan autentik langsung melekat dengan film ini, dan membuat kita seolah belum pernah sama sekali membaca atau menyimak isi novelnya.

Menampilkan Kekejaman Perang Secara Realistis

Menampilkan Kekejaman Perang Secara Realistis

Melihat adegan peperangan di dalam film ini, kita dibuat bergidik apabila diminta untuk membayangkan jika itu adalah kenyataan yang ada di depan kita. Semua terasa mengerikan, semua terasa realistis.

Desingan peluru yang mengenai tubuh para tentara, juga salah satunya mengenai helm Paul, selalu bisa mengejutkan kita. Namun apabila membandingkannya dengan film bertema Perang Dunia I garapan Sam Mendes, 1917 (2019), maka All Quiet on the Western Front masih kalah menggigit dan mencekam.

Penggambaran ketegangan di medan peperangan ditampilkan secara singkat, meski ada beberapa pertempuran di dalamnya, sehingga ketegangan yang kita rasakan terhenti ketika belum sampai pada puncaknya.

Meski begitu, secara teknis film ini tidak kalah apik dengan film-film perang lainnya. Kamera bergerak sesuai dengan kebutuhan adegan, terkadang terlihat shaky, terkadang juga steady. Dan semuanya terlihat proporsional seolah memiliki makna mendalam atas penggunaannya.

Kekejaman perang di film ini tidak digambarkan hanya ketika pertempuran berlangsung saja, bahkan sejak adegan pembuka sudah terlihat sangat keji.

Di adegan itu digambarkan proses darimana seragam para tentara itu berasal, yaitu dari seragam bekas tentara lain sebelumnya yang telah gugur di medan tempur.

Setelah dipastikan tewas, seragam mereka dilepas, lalu dikirim menggunakan kereta dan mobil ke lokasi pencucian yang langsung dibersihkan seadanya.

Setelah kering, baru dikirimkan ke markas penerimaan tentara. Karena kurang detailnya proses pencucian, Paul mendapat seragam yang nama tentara sebelumnya masih tertempel di dalamnya.

Pesan Anti Perang yang Memilukan

Pesan Anti Perang yang Memilukan

Banyak faktor yang membuat novel All Quiet on Western Front dilarang beredar di Jerman pada era kekuasaan Nazi dahulu. Selain penggambaran rantai komando militer Jerman yang tidak manusiawi dalam memberikan perintah, isi novelnya menyimpan pesan tentang anti perang melalui perjalanan hidup Paul yang menyedihkan.

Kerusakan mental tentara yang terjun ke medan perang bukan hanya terjadi di era modern saja, melainkan sudah ada sejak dahulu kala, dan salah satunya terjadi pula di Perang Dunia I.

Memang perang hanya mendatangkan kerugian belaka. Selain korban jiwa yang banyak, para tentara yang pernah turun berperang sebagian besar mengalami goncangan pada mentalnya.

Semua terjadi akibat kekejaman yang dilihatnya di medan tempur. Terutama bagi Paul yang masih muda dan belum menyadari kekejian perang itu seperti apa.

Mentalnya mulai runtuh ketika satu persatu teman-temannya gugur secara mengenaskan, bahkan ada yang membunuh dirinya sendiri karena tidak mau hidup dalam keadaan cacat.

Kekurangan pasokan bahan makanan juga membuat para tentara ini tidak pernah mendapat makanan yang layak, hingga Paul dan Kat mencuri angsa dari peternakan.

Di aksi pertamanya mereka berhasil dan berpesta dengan sup angsa yang terasa mewah, namun petaka berujung tragis mereka dapatkan pada aksi keduanya.

Dalam kondisi lemah seperti itu, para tentara ini dipaksa untuk berperang. Mereka sudah rusak secara fisik dan mental untuk memenuhi perintah atasan yang meminta untuk terus berperang sebelum waktu gencatan senjata dimulai.

Sangat miris melihat hal yang tidak diinginkan justru terjadi sesaat sebelum sirine perdamaian didengungkan. Dan kita hanya bisa tertegun kaku melihatnya.

All Quiet on the Western Front berhasil menerjemahkan isi dan pesan novelnya dengan sangat baik. Terasa autentik karena diproduksi oleh Jerman, film ini menampilkan penggambaran kekejaman perang yang terasa realistis. Adegan peperangannya juga cukup mendebarkan meski durasi setiap pertempurannya tidak panjang.

Petualangan menyedihkan yang dialami Paul tersampaikan dengan baik sebagai pesan anti perang yang termaktub di dalam novelnya. Meski dianggap masih belum bisa melampaui pencapaian kualitas film produksi 1930, namun versi modern ini memiliki nuansa yang lebih dekat dengan novelnya.

Film ini sangat pantas untuk dimasukkan ke dalam daftar film perang terbaik. Apalagi mengingat Jerman memajukan film ini sebagai perwakilan mereka di ajang Academy Awards yang akan dilangsungkan pada bulan Maret 2023.

Jika kalian penikmat film bertema perang, maka film ini akan terasa sangat rugi apabila dilewatkan. Sudah bisa ditonton di Netflix sekarang juga. Selamat menonton!

cross linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram