bacaterus web banner retina

Sinopsis & Review A Classic Horror Story, Horor Klasik Italia

Ditulis oleh Dhany Wahyudi
A Classic Horror Story
3
/5
PERHATIAN!
Artikel ini mengandung spoiler mengenai jalan cerita dari film/drama ini.

Sekelompok penumpang menuju desa terpencil terjebak di tengah hutan saat mobil yang mereka tumpangi menabrak pohon. Mereka kemudian menemukan sebuah kabin menyeramkan di dalam hutan dimana mereka mengalami teror dari orang-orang yang misterius. Satu persatu dari mereka dibunuh. Akankah ada yang selamat dan berhasil pergi dari tempat itu?

A Classic Horror Story adalah original film Netflix produksi Italia yang menampilkan kisah horror menegangkan dengan nuansa kelam. Dirilis pada 14 Juli 2021, film ini sepertinya menyuguhkan elemen-elemen film horror klasik yang pernah ada yang sesuai dengan judul filmnya. Dengan premis seperti ini, apakah kisah yang disajikan masih misterius? Simak review kami sebelum menontonnya.

Sinopsis

  • Tahun Rilis: 2021
  • Genre: Horror, Drama, Thriller, Mystery
  • Produksi: Colorado Film Production, Netflix Studios, Rainbow S.p.A.
  • Sutradara: Roberto De Feo, Paolo Strippoli
  • Pemeran: Matilda Lutz, Will Merrick, Yuliia Sobol

Elisa memilih menggunakan carpool untuk kembali ke kampung halamannya di Calabria. Di dalam kendaraan berupa trailer yang cukup besar itu ada beberapa penumpang lainnya, yaitu Fabrizio sang pemilik trailer, dr. Riccardo, dan pasangan muda Sofia dan Mark. Mereka saling berbincang dalam perjalanan untuk mengenal satu sama lain, meski Elisa dan Riccardo lebih banyak diam saja.

Ketika Elisa merasa mual, mungkin karena terlalu banyak minum bir padahal dia sedang hamil, Fabrizio menghentikan trailer sehingga Elisa bisa muntah terlebih dahulu. Kemudian setelah itu Mark meminta izin Fabrizio untuk berada di belakang setir di sisa perjalanan. Karena sambil berbincang seru dengan Fabrizio, Mark kurang waspada dan membuat trailer menabrak pohon karena menghindari seekor kambing di jalan.

Seisi trailer semua pingsan. Elisa tersadar ketika melihat penumpang lain sedang mengobati kaki Mark yang patah. Riccardo meminta Elisa untuk mencari pertolongan di jalan. Tapi masalahnya, mereka sudah tidak ada di pinggir jalan lagi, melainkan di sebuah tanah lapang yang luas di dalam hutan yang lebat. Mereka melihat ada sebuah kabin, tetapi mereka memilih untuk tidak masuk ke dalamnya.

Tensi emosi meningkat diantara mereka ketika Riccardo menimpakan kesalahan kepada Mark. Fabrizio menemani Riccardo untuk menemukan jalan menembus hutan. Mereka menemukan tiga orang-orangan sawah dengan setumpuk kepala babi di meja altar. Sementara itu, Elisa masuk ke dalam kabin dan menemukan lukisan yang menggambarkan tentang legenda tiga dewa.

Ketakutan, mereka memutuskan untuk menginap di dalam trailer saja. Mereka kemudian mendengar suara jeritan dari dalam kabin, mereka memutuskan untuk mencari asal suara dan menemukan seorang gadis yang lidahnya dipotong terjebak di dalam sebuah kepompong jerami di ruang atap. Tiba-tiba suara sirene bergaung diiringi lampu merah yang menyorot ke kabin.

Mereka menyaksikan Mark diseret oleh tiga sosok yang mengenakan topeng misterius dan dibawa ke dalam kabin lalu diletakkan di atas meja. Mata Mark kemudian ditusuk dengan benda tajam dan kakinya dipukul dengan palu. Mereka menunggu pagi untuk pergi dari tempat itu. Dalam perjalanan, mereka menemukan sebuah tempat yang penuh dengan tumpukan mobil-mobil.

Mereka menduga jika mereka bukanlah korban pertama. Gadis yang lidahnya dipotong memberi tahu namanya, Chiara, kepada Elisa yang paham bahwa Chiara adalah salah satu anggota yang selamat dari korban kelompok misterius itu. Tiba-tiba sirene kembali berbunyi dan mereka segera pergi dari tempat itu. Tetapi mereka ternyata berjalan kembali ke lokasi kabin berada, tapi trailer mereka sudah hilang.

Malam pun tiba, mereka duduk bersama di dalam kabin sambil meminum bir terakhir. Elisa tiba-tiba terbangun dan melihat Sofia, Chiara dan Riccardo sudah disekap di atas tempat ritual di hadapan sekelompok orang yang diduga penganut sekte sesat. Tiga orang menjadi representasi tiga dewa legenda dan mulai melakukan penyiksaan kepada mata Sofia dan telinga Riccardo.

Kemudian Sofia dan Riccardo digorok tenggorokannya hingga tewas seiring dengan Elisa yang menyadari jika Fabrizio memasukkan obat tidur dalam minumannya dan dia memakai alat komunikasi di telinganya. Elisa kemudian dibawa keluar dari kabin dan dipukuli hingga pingsan.

Elisa terbangun dalam kondisi dia terikat di kursi dalam sebuah jamuan makan yang diselenggarakan oleh walikota yang ternyata adalah pendukung sekte ini. Elisa dibawa ke ruang kontrol dimana dia melihat bahwa semua lokasi direkam oleh kamera yang digunakan untuk dibuat film dengan Fabrizio sebagai sutradaranya. Elisa berhasil melarikan diri dan berada di camp tempat tinggal tim produksi.

Elisa mendengar perbincangan Chiara yang ternyata adalah aktris untuk film Fabrizio yang juga adalah adiknya yang selalu menyepelekan film-film karya Fabrizio. Ketika Chiara hendak keluar dari trailer-nya, Elisa menembaknya dengan shotgun. Fabrizio pun ditembak kakinya. Sempat meminta belas kasihan, Elisa membunuh Fabrizio.

Elisa kemudian berlari menembus pagar yang bertuliskan “area militer” dan sampai di pantai yang membuat pengunjung pantai terheran-heran dengan kehadirannya. Setelah menerima pesan dari ibunya, Elisa kemudian berenang ke laut.

Di adegan post-credit, seorang pengguna aplikasi berjudul Bloodflix terlibat dalam chat dengan pengguna lainnya yang mengomentari film karya Fabrizio yang menampilkan pembunuhan yang dilakukan Elisa yang telah diunduh. Ternyata komentarnya mayoritas bernada negatif.

Rangkuman Premis Horror Klasik

Jika kalian adalah penikmat film-film horror sejati, tentu film A Classic Horror Story seolah menjadi déjà vu dengan banyaknya adegan yang nyaris mirip dengan film-film horror klasik populer. Banyak elemen serupa disana-sini yang sebenarnya bisa saja mengurangi kenikmatan kita saat menontonnya dan kita pasti langsung berkomentar atas kemiripan adegannya.

Tapi bagi kalian sebagai penikmat film secara umum, kemiripan adegan ini tentu tidak jadi masalah, karena yang dicari dari film horror adalah ketegangan yang bisa memacu adrenalin kita. Nyatanya, film berdurasi 1 jam 35 menit ini cukup menegangkan dan kita akan dibuat selalu menebak-nebak apa yang akan terjadi berikutnya.

Akhir yang Sulit Ditebak

Sejak awal film kita diperkenalkan dengan beberapa karakter yang nantinya akan menjadi korban dari kengerian yang disajikan, nuansa kelam sudah mulai terasa. Sinematografi yang suram seolah ingin mengungkap sisi negatif dari para karakternya. Sayangnya, sisi personal para karakternya kurang tergali dengan dalam meski sudah banyak dialog yang dilontarkan.

Belum apa-apa, nuansa seperti di franchise Friday the 13th langsung terasa. Mereka tersesat seperti di film Wrong Turn (2003). Ketika sosok misterius mulai hadir dan melakukan penyiksaan, nuansa film terasa seperti dalam franchise Saw. Dengan adanya kabin terpencil, mengingatkan kita dengan film The Cabin in the Woods (2011). Sedangkan adanya sekte sesat hampir serupa dengan film Midsommar (2019).

Dengan banyaknya referensi film ini membuat kita pasti bertanya-tanya akan seperti apakah ending-nya? Jangankan ending, di setiap adegan kita selalu menebak-nebak dibuatnya, dan ketika mencapai akhir film twist yang dihadirkan cukup membuat kita gemas sekaligus kesal, karena ternyata semua yang terjadi dilakukan hanya demi sebuah karya film dari sutradara ambisius yang diremehkan.

Kisah Klasik, Presentasi Modern

Sebenarnya tidak ada hal yang baru yang dipersembahkan oleh duet sutradara De Feo dan Strippoli disini. Semua sudah pernah ditampilkan dalam film-film horror terdahulu, bahkan dibesut dengan lebih baik. Hanya saja penggunaan teknologi terkini menjadi kelebihan film ini yang memposisikan dirinya berada di era modern.

Teknologi seperti aplikasi smartphone yang digunakan untuk mencari alat transportasi yang diperlihatkan di awal film memberi sedikit perbedaan. Selain itu, aplikasi Bloodflix yang ditampilkan di akhir film tampak seperti perpaduan YouTube dan Netflix yang cukup menyegarkan suasana. Tapi hanya ini saja yang membuat film ini berbeda.

A Classic Horror Story dirilis di bulan yang sama dengan film horror Netfilx lainnya, yaitu trilogy Fear Street, membuat film ini seolah hanya menjadi selipan yang tidak berarti. Mungkin akan sedikit membosankan ketika film bergerak lambat di awal tapi menjadi menegangkan sejak setelah kecelakaan terjadi. Tidak rugi juga sih untuk ditonton. Play saja langsung di Netflix, ya!

cross
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram