bacaterus web banner retina

Sinopsis & Review 12 Mighty Orphans, Kerja Sama Tim Panti Asuhan

Ditulis oleh Dhany Wahyudi
12 Mighty Orphans
2.9
/5
PERHATIAN!
Artikel ini mengandung spoiler mengenai jalan cerita dari film/drama ini.

Datang ke sebuah panti asuhan, seorang veteran perang mendedikasikan hidupnya untuk memajukan tempat itu melalui olahraga football.

Kesulitan menyatukan tim hanyalah salah satu diantara rintangan yang harus dihadapi, tapi dengan beberapa inovasi dalam skema permainan, mereka menjelma menjadi tim kuda hitam dalam kompetisi football antar SMA.

12 Mighty Orphans adalah film drama olahraga karya Ty Roberts yang dirilis oleh Sony Pictures Classics pada 18 Juni 2021.

Berdasarkan kisah nyata, film ini mengambil sumber ceritanya dari buku non-fiksi karya Jim Dent berjudul Twelve Mighty Orphans: The Inspiring True Story of the Mighty Mites Who Ruled Texas Football.

Memang sudah banyak sekali film dengan tema olahraga football, tapi apa yang membedakan film ini dengan yang lainnya? Simak review berikut untuk mengetahuinya lebih lanjut.

Baca juga: 10 Film Tentang Kerasnya Olahraga American Football

Sinopsis

Sinopsis

Texas, 1938. Rusty Russell, seorang veteran perang, datang ke sebuah panti asuhan di Fort Worth. Dia bersama istrinya adalah guru baru di tempat itu dan merangkap sebagai pelatih football.

Menyatukan hati para pemuda yang berjiwa pemberontak adalah kendala pertama yang dihadapi oleh Rusty. Namun, dia dibantu dengan kehadiran Doc Hall, dokter sekaligus asisten pelatih dan tim medis.

Mereka berdua melakukan seleksi dari seluruh pemuda di panti asuhan Masonic Home itu dan berhasil mendapatkan beberapa orang yang dianggap pantas masuk dalam tim.

Saat sedang membangun kekompakan dan melatih skill bermain timnya, Rusty dihadapkan pada peraturan baru yang mewajibkan para pemainnya memiliki nilai yang baik dalam pelajaran.

Rusty dan istrinya, Juanita, memotivasi mereka untuk lebih giat belajar. Dan hasilnya hanya menyisakan 12 orang yang lulus dengan nilai yang sesuai standar pemerintah.

Mereka juga belum memiliki perlengkapan yang cukup, hingga datang donasi berupa perlengkapan bekas. Bahkan bola yang dipakai untuk latihan dibuat sendiri oleh Juanita dari karung tepung.

Mereka sempat hampir tidak bisa mendaftar untuk ikut berkompetisi di tingkat SMA. Tapi berkat voting dari para pelatih dan tidak adanya peraturan khusus yang menghalangi, tim panti asuhan ini berhasil turun di kompetisi tersebut.

Pertandingan pertama mereka bukanlah sesuatu yang ingin diingat. Mereka hancur lebur di tangan tim rival tanpa bisa mencetak gol satupun.

Saat Rusty melihat coretan formasi tim milik putrinya, dia mendapat ide skema permainan yang baru. Dengan beberapa latihan intensif, mereka mulai memetik hasil positif dan menang di pertandingan selanjutnya.

Kemenangan demi kemenangan berhasil mereka raih dan membuat mereka terkenal, bahkan hingga sampai ke telinga Presiden Amerika Serikat.

Beberapa masalah pribadi hampir menghentikan langkah mereka. Temperamen tinggi Hardy Brown, indisipliner mereka dengan pergi dari panti asuhan tanpa izin, dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh salah satu staf hanyalah beberapa diantaranya.

Tidak hanya dari dalam, dari pihak luar pun datang menyerang. Salah satunya dugaan pemalsuan umur hingga membawa mereka ke pengadilan.

Tapi bahkan dengan adanya kesalahan bukti, mereka tetap dianggap gugur dan tidak bisa berkompetisi lagi. Namun setelah pimpinan kompetisi mendapat telepon langsung dari Presiden Roosevelt, mereka tetap bisa melanjutkan kompetisi.

Di pertandingan final, mereka berhadapan dengan lawan yang sangat kuat. Sebagian besar dari mereka mengalami luka-luka yang cukup serius selama babak pertama berlangsung.

Bisakah mereka memenangi kompetisi ini? Atau justru kalah? Dapatkan jawabannya dengan menonton film ini sampai selesai. Setelah adegan terakhir, kita akan disuguhkan profil dari seluruh tim dan pencapaian mereka setelahnya.

Sebuah Asa di Masa Resesi

Sebuah Asa di Masa Resesi

Sebagai negara maju, Amerika Serikat pernah juga mengalami masa suram dalam perekonomian. The Great Depression yang terjadi pada tahun 1929-1941 meluluhlantakkan kehidupan mayoritas warga Amerika, terutama dari kalangan menengah ke bawah.

Dengan kehidupan yang serba sulit, sebuah berita pemicu motivasi mampu membangkitkan semangat bangsa yang sedang terpuruk. Salah satu berita positif tersebut ialah munculnya tim panti asuhan di kompetisi football SMA yang awalnya dianggap tim underdog.

Perlu kita ketahui juga, banyak kisah menarik pada masa resesi ini yang telah difilmkan oleh Hollywood, dan semuanya sangat menginspirasi.

Film Bonnie and Clyde (1967) dan Public Enemies (2009) menyorot kisah kriminal yang menjadikan sosok penjahat layaknya idola masyarakat.

Sementara Seabiscuit (2003) dan Cinderella Man (2005) membangkitkan semangat warga Amerika secara positif lewat kegemilangan mereka di bidang olahraga.

Dan film berdurasi 1 jam 58 menit ini mencoba mengikuti jejak kedua film tersebut. Siapa yang tidak tergugah hatinya menyimak kisah kemenangan tim underdog dari kalangan miskin yang berjaya dengan segala keterbatasannya?

Film ini memaparkan berbagai jalan motivasi dari segala permasalahan dan rintangan yang dihadapi tim panti asuhan ini, baik secara tim maupun juga secara pribadi.

Kisah Formulaic dengan Akting yang Apik

Kisah Formulaic dengan Akting yang Apik

Memang secara garis besar, jalan cerita film ini tidak berbeda dengan film-film bertema football pada umumnya. Menampilkan berbagai kesulitan dalam menyatukan tim adalah menu appetizer yang harus ada di film sejenis ini.

Konflik dalam tubuh tim, memuncaknya masalah pribadi dan usaha penggembosan dari pihak luar menjadi menu main course yang sudah sering kita lahap dari film serupa.

Dan pada akhirnya, menu dessert yang dihadirkan sebagai penutup adalah kemenangan yang gemilang atau kekalahan secara terhormat.

Kesan formulaic ini sangat kental terasa dan terlihat, sehingga terkadang kita ingin membandingkannya dengan film-film bertema sama. Bahkan meski kisahnya berdasarkan kejadian nyata sekalipun yang juga sudah banyak diangkat ke dalam film.

Latar belakang karakter utamanya ditampilkan secara sekilas lewat beberapa adegan flashback. Cuplikan adegan peperangan yang diikuti oleh pelatih Russell awalnya kita anggap sebagai sebuah trauma.

Tapi seiring film berjalan, justru kisah dari masa lalunya tersebut menjadi inspirasi bagi skema bertanding timnya. Dan setelahnya, trauma perang itu tidak diungkit lagi. Sebenarnya ini merupakan kelemahan.

Beruntungnya film dengan sinematografi yang cukup apik dalam menampilkan nuansa era 1930an ini memiliki para pemeran yang tampil bagus. Luke Wilson dan Martin Sheen hadir membawakan karakter mereka masing-masing dengan baik.

Luke Wilson terlihat penuh wibawa sehingga sangat wajar dipatuhi oleh anggota timnya. Dan Martin Sheen tampak nyaman dengan perannya sebagai dokter tim.

Dari deretan aktor yang memerankan 12 pemuda panti asuhan, semuanya tampil cukup baik. Dan salah satu dari mereka, Jake Austin Walker yang berperan sebagai Hardy Brown, berhasil membawakan perannya secara maksimal.

Jiwa pemberontak dengan temperamen yang tidak terkontrol, membuat ketegangan tersendiri dalam jalan ceritanya.

Selain Martin Sheen, ada dua aktor senior yang juga hadir di film ini, meski perannya tidak banyak dan berpengaruh. Mereka adalah Robert Duvall dan Treat Williams.

Kedua aktor ini terlihat penuh kharisma dalam membawakan karakter masing-masing. Namun sayang, karakter mereka terlalu kecil untuk dikembangkan di dalam cerita.

Banyak Fakta yang Tidak Akurat

Banyak Fakta yang Tidak Akurat

Sebagai sebuah film yang bersumber dari kisah nyata, banyak fakta yang tidak akurat ditampilkan di dalamnya.

Di film, Rusty Russell mulai melatih tim Masonic House pada tahun 1938 dan enam bulan kemudian sudah berada di final kompetisi football SMA se-Texas.

Faktanya, Rusty direkrut oleh panti asuhan itu pada tahun 1927 dan melatih disana hingga tahun 1942.

Dan tim Masonic House ini berhasil masuk kompetisi tingkat nasional pada tahun 1932.

Tim terbaik yang pernah Rusty miliki ialah tim tahun 1941 yang tidak pernah terkalahkan selama kompetisi di tahun tersebut.

Rusty mengundurkan diri di tahun 1942 setelah dia mengetahui ada salah satu pemainnya yang terkena kasus pemalsuan umur.

Di dalam film juga, kasus ini diceritakan menimpa Hardy Brown. Faktanya, pemain ini tidak pernah tersandung kasus tersebut.

Dan Hardy Brown sendiri sudah tinggal di panti asuhan sejak berusia 4 tahun, bukan sudah remaja seperti yang diceritakan di dalam film.

Selain itu, Rusty bukanlah anak yang dibesarkan di panti asuhan seperti dalam film, melainkan dibesarkan dalam keluarga petani.

Beberapa fakta yang dipelintir demi penekanan dramatisasi sudah biasa dilakukan di dalam sebuah film. Tetapi akan cukup membuat kecewa bagi mereka yang tahu fakta sebenarnya.

Khusus film ini adalah para pembaca bukunya. Untuk itu, sebaiknya kita tidak perlu mencari dan membaca sumber aslinya terlebih dahulu sebelum menonton film ini, agar kita bisa menikmati film dengan khusyuk.

Pada akhirnya, 12 Mighty Orphans adalah satu tambahan lagi dalam daftar film bertema olahraga yang menginspirasi.

Dengan dukungan performa apik para pemerannya, jalan cerita yang formulaic tetap akan terasa berisi dan memberikan motivasi.

Abaikan beberapa fakta yang tidak akurat, karena semuanya itu dikorbankan demi dramatisasi ceritanya saja. Dan hasilnya, kisah ini cukup mengena dan bisa menyentuh hati kita dengan banyak pesan positif yang tersirat dalam kisahnya. T

entunya film seperti ini tidak boleh dilewatkan dan 12 Mighty Orphans layak untuk masuk dalam watchlist kalian. Selamat menyaksikan!

cross
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram