bacaterus web banner retina

Sinopsis & Review The Devil All the Time, Sisi Buruk Manusia

Ditulis oleh Yanyan Andryan
The Devil All the Time
4.3
/5
PERHATIAN!
Artikel ini mengandung spoiler mengenai jalan cerita dari film/drama ini.

Film yang satu ini diadaptasi dari sebuah novel dengan judul yang sama karya Donald Ray Pollock. Sang penulis juga ternyata terlibat di film ini dengan menjadi seorang narrator.  The Devil All the Time menjadi film paling banyak ditonton di Netflix selama dua hari pertama setelah perilisannya.

The Devil All the Time juga dibintangi oleh aktor-aktor yang pernah bermain dalam film bertemakan superhero, seperti Tom Holland, Sebastian Stan, hingga Robert Pattinson di film Batman terbaru karya Matt Reeves. Lewat hadirnya mereka membuat film ini tentunya semakin menarik untuk ditonton.

Tom Holland dan Robert Pattinson pun mendapatkan pujian yang positif dalam memerankan karakternya di film ini. Sementara itu untuk filmnya sendiri, The Devil All the Time memiliki rating 65% dari Rotten Tomatoes, dan mendapatkan nilai 6.28/10.

Sinopsis

The Devil All the Time

Willard Russell adalah seorang tentara yang sedang bertugas di pulau Solomon selama Perang Dunia II. Setelah perang berakhir, Willard memutuskan pulang menemui pamannya di Coal Creek, West Virginia.

Di sana, ia bertemu dengan seorang gadis pelayan restoran yang bernama Charlotte. Keduanya saling menyukai, dan memutuskan untuk menikah, hingga akhirnya memiliki seorang anak laki-laki bernama Arvin. Mereka selanjutnya pindah dan tinggal di Kota Ohio.

Sementara itu, Helen Hatton adalah tetangga dari keluarga Willard, dan ia menikah dengan seorang penceramah yang sangat fanatik, Roy Laferty. Mereka lalu dianugerahi seorang anak perempuan yang diberi nama Lenora.

Roy sangat terobsesi dengan Tuhan, dan ia percaya bahwa dirinya telah diberkahi oleh-Nya untuk bisa membangkitkan orang mati. Maka dari itu, ia membawa Helen ke hutan, membunuhnya dan mencoba menghidupkannya lagi. Namun sialnya, ia gagal dan menyadari bahwa tindakannya sangat salah. Roy terlihat kebingungan atas kelakuannya, dan ia segera pulang untuk bertemu dengan anaknya.

Ia memutuskan menumpang sebuah mobil yang di dalamnya ada sepasang suami istri, Carl Henderson dan Sandy. Roy tidak mengetahui jika mereka adalah pembunuh berantai yang sedang mencari korban. Carl lalu membawa Roy ke sebuah hutan, dan memaksanya untuk berhubungan intim dengan Sandy. Ia kemudian menembak kepalanya Roy karena dia menolak untuk melakukan hal tersebut.

Di lain sisi, saudara laki-laki Sandy, Lee Bodecker adalah seorang sheriff yang korup. Ia mengetahui jika Sandy terlibat dalam kasus pembunuhan berantai yang sedang ramai diperbincangkan. Karena ia ingin terpilih kembali menjadi sheriff, ia malah melindungi Sandy dengan membakar semua bukti-bukti yang mengarah kepadanya.

Di Ohio, Charlotte didiagnosis menderita kanker stadium akhir. Namun, Willard percaya bahwa Tuhan dapat menyembuhkan, ia pun mengajak Arvin untuk berdoa di depan salib yang terletak di hutan di belakang rumahnya.

Willard mulai panik karena kesehatan istrinya semakin memburuk. Ia kemudian membunuh anjing milik Arvin di depan salib untuk “dipersembahkan” kepada Tuhan agar Charlotte bisa sembuh. Tapi, usahanya sia-sia, dan dirinya malah bunuh diri karena dilanda rasa kesedihan serta frustasi.

Arvin kini menjadi yatim piatu, dan tinggal bersama nenek serta pamannya di Coal Creek. Di rumah barunya itu, Arvin bersahabat dengan Lenora yang sama-sama tidak mempunyai ayah dan ibu. Mereka tumbuh menjadi remaja, dan dekat seperti sebuah keluarga.

Beberapa tahun kemudian, Arvin dihadiahi sebuah pistol milik ayahnya oleh sang paman sebagai kado ulang tahunnya. Sedangkan Lenora, ia tengah didekati oleh seorang pendeta baru yang bernama Preston Teagardin. Pendeta tersebut ternyata memanfaatkan kepolosan dari Lenora, dan mengajaknya untuk berhubungan intim sehingga dia hamil.

Karena merasa hina, dan tidak ingin mempermalukan keluarga, Lenora memilih jalan untuk bunuh diri. Arvin yang marah lalu datang ke gereja, dan membunuh Preston dengan pistol hadiah ulang tahunnya. Setelah membunuhnya, ia mencoba melarikan diri dengan menumpang mobil Carl Henderson dan Sandy.

Arvin yang merasa curiga dengan mereka lalu membunuh Carl dan Sandy dengan pistolnya lagi. Kejadian tersebut diketahui oleh Lee Bodecker, dan sang sheriff pun memburu Arvin yang sudah menembak mati saudara perempuannya.

Kelam dan Penuh dengan Tragedi

Kelam dan Penuh dengan Tragedi

Begitu banyak karakter yang terlibat dan saling terkait satu sama lain di dalam film ini. Mereka ditampilkan dengan porsi yang sangat pas, serta menunjang keseluruhan cerita yang dibangun dari awal hingga akhir.

Semua karakter tersebut tentunya hadir menawarkan latar belakang personal yang berbeda-beda. Tapi, pada akhirnya mereka mempunyai kesamaan karena memperlihatkan sisi kelamnya masing-masing.

Penggambaran tersebut terlihat mulai dari sosok Arvin (Tom Holland) yang mempunyai trauma buruk di masa kecilnya. Kemudian, pendeta Preston (Robert Pattinson) yang memanfaatkan agama untuk pemuas nafsu seksualnya, dan Roy Laferty (Harry Melling) yang terlalu fanatik dengan mengandalkan Tuhan secara berlebihan sehingga ia tak sadar membunuh istrinya.

Lalu ada juga sepasang suami istri, Carl (Jason Clarke) dan Sandy (Riley Keough), yang berpura-pura baik dengan mengantar orang-orang yang tersesat. Padahal, keduanya mempunyai pekerjaan kotor dengan melakukan aksi pornografi yang mempermalukan korbannya, dan tak jarang juga mereka dibunuh oleh Carl.

Apa yang diperlihatkan oleh mereka, dan sebagian karakter lainnya, membuktikan bahwa film ini menyuguhkan kisah-kisah tragis yang memilukan. Maka jangan kaget ketika adegan bunuh diri, dan saling bunuh membunuh menghiasi pertikaian di dalam The Devil All the Time.

Film ini kemudian tidak memberikan sosok yang pantas disebut sebagai antagonis maupun protagonisnya. Kebenaran dan kebaikan terlihat buram karena sisi gelap dari setiap karakter begitu mendominasi jalan ceritanya. Meski begitu, The Devil All the Time bukanlah sebuah film kontroversial, dan konsep ceritanya hanya menampilkan sisi terburuk manusia yang diperlihatkan secara pahit dan sedih.

Tom Holland Tampil Lebih Dewasa dengan Sisi Gelapnya

Tom Holland Tampil Lebih Dewasa dengan Sisi Gelapnya

Mendengar nama Tom Holland kita pasti langsung teringat dengan karakternya sebagai Peter Parker alias Spiderman dalam Marvel Cinematic Universe (MCU). Karakter superhero tersebut tentu saja sangat melekat kepada dirinya hingga sampai sekarang ini. Tom Holland seolah tak bisa lepas dari bayang-bayang karakter Peter Parker yang slengean mulai dari cara bicara hingga kelakuannya.

Namun, apa yang ditampilkan Tom di film ini jauh berbeda dengan karakternya di film MCU atau mungkin di film-filmnya yang lain. Tom sebagai Arvin diperlihatkan semakin lebih dewasa, dan serius. Tidak ada lagi lelucon-lelucon konyol yang terlontar dari mulutnya. Ia nampaknya berhasil melepaskan diri dari sosok Peter Parker yang menempel pada dirinya sejauh ini.

Karena film ini membawa narasi thriller psikologi, Tom memperlihatkan kualitas aktingnya lebih baik, dan menyajikan sosoknya yang gelap kepada karakter Arvin. Ia tidak canggung, dan justru terlihat sangat menjanjikan ketika harus menjadi seorang yang pendendam akibat trauma masa kecil yang dialami oleh Arvin.

Tom muncul di film ini ketika sosok Arvin beranjak remaja, dan ia mendapatkan porsi tampil paling banyak diantara para aktor lainnya. Kepercayaan sang sutradara, Antonio Campos, kepada dirinya dibayar dengan sangat baik lewat aktingnya yang solid. Kita yang menontonnya mungkin akan kagum karena keberanian Tom dalam memilih peran yang menantang, dan memperlihatkan dirinya lebih kelam.

Meski pengalaman aktingnya tidak sebanyak Bill Skarsgard, Robert Pattinson, hingga Jason Clarke, Tom Holland tampil sangat mengesankan. Di sini, ia mampu beradu akting bersama pemeran lainnya secara baik, dan berhasil menciptakan satu koneksi dengan mereka yang dilandasi oleh rasa ketakutan, amarah, hingga perasaan traumatis.

The Devil All the Time bisa dibilang cukup sukses menampilkan bobot cerita yang mumpuni lewat sajian thriller psikologi. Film ini juga menyuguhkan kualitas akting dari setiap pemeran yang terlibat secara maksimal. Pada akhirnya, The Devil All the Time menjadi sebuah film yang layak untuk dinikmati.

cross
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram