bacaterus web banner retina

Sinopsis dan Review Film Netflix Seven Years in Tibet (1997)

Ditulis oleh Dhany Wahyudi
Seven Years in Tibet
3.3
/5
PERHATIAN!
Artikel ini mengandung spoiler mengenai jalan cerita dari film/drama ini.

Kisah nyata Heinrich Harrer, pendaki gunung asal Austria yang menjadi teman Dalai Lama di saat pengambilalihan Tibet oleh China. Brad Pitt membintangi film karya Jean-Jacques Annaud yang merupakan adaptasi dari buku perjalanan Heinrich selama di Pegunungan Himalaya yang diterbitkan pada tahun 1952.

Seven Years in Tibet menjadi salah satu film yang menceritakan kisah hidup Dalai Lama selain Kundun karya Martin Scorsese yang dirilis di tahun yang sama, hanya saja diceritakan dari sudut pandang sang pendaki gunung yang menjadi teman sekaligus guru penambah wawasan bagi Dalai Lama.

Film ini menceritakan dengan cukup detil peristiwa yang mengubah jalan sejarah Tibet hingga kini. Drama dengan durasi dua jam lebih bagi sebagian penonton terasa cukup melelahkan, tetapi beberapa kali mata kita akan disegarkan dengan indahnya panorama pegunungan dari film yang sudah bisa kita saksikan di layar Netflix ini.

Kami akan ulas film yang musiknya digubah oleh sang maestro John Williams dengan cukup mendalam, ditambah beberapa fakta sejarah yang berbeda dengan filmnya.

Sinopsis

Seven Years in Tibet

Heinrich Harrer (Brad Pitt), pendaki gunung terkenal asal Austria meninggalkan istrinya yang sedang hamil di tahun 1938 untuk menempuh perjalanan mendaki puncak Nanga Parbat, salah satu puncak tertinggi di Pegunungan Himalaya. Karena adanya badai, Heinrich dan tim ekspedisi yang dipimpin oleh Peter Aufschnaiter (David Thewlis) terpaksa harus turun gunung.

Sesampai di kaki gunung, mereka ditangkap oleh tentara India sebagai efek dari dimulainya Perang Dunia II, dimana Austria merupakan bagian dari Nazi Jerman yang diperangi oleh negara sekutu, salah satunya adalah Inggris yang berkuasa di India saat itu. Mereka ditahan di kamp Dehradun.

Beberapa kali Heinrich berusaha melarikan diri, tapi semua usahanya hanya berakhir dengan kegagalan. Pada akhirnya, dia dan Peter berhasil kabur dari kamp di tahun 1944 dan menuju Tibet. Awalnya mereka dilarang masuk ke Tibet oleh salah seorang gubernur di provinsi perbatasan negara, tetapi dengan berbagai cara akhirnya mereka bisa masuk ke ibukota negara, Lhasa.

Mereka ditampung oleh seorang diplomat negara di rumahnya. Peter menemukan cintanya dan menikah, sementara itu Heinrich berteman dengan Dalai Lama, pemimpin spiritual Tibet, yang saat itu masih berusia remaja.

Sambil menunggu berakhirnya perang, Heinrich memberikan banyak wawasan bagi Dalai Lama yang memiliki rasa ingin tahu yang besar tentang segala hal, dan Heinrich mengajarkan tentang geografi, ilmu pengetahuan, dan budaya barat kepadanya.

Ternyata, dekat dengan Dalai Lama mampu mengubah sifatnya yang semula arogan menjadi rendah hati. Di tengah keharmonisan dan kedamaian di Tibet, tiba-tiba China merusak semua itu dengan berusaha menginvasi Tibet sebagai bagian dari rencana penyatuan China di bawah kekuasaan rezim komunis.

China mulai merangsek melalui perbatasan dengan memusnahkan Chamdo. Dalai Lama kemudian dinobatkan sebagai kepala negara dan Heinrich kembali ke Austria di tahun 1951. Heinrich bertemu dengan anaknya, dan mendaki gunung Himalaya kembali di saat anaknya sudah berusia remaja demi menuntaskan ekspedisinya yang gagal beberapa tahun silam.

Heinrich Harrer dalam Fakta Sejarah

Heinrich Harrer dalam Fakta Sejarah

Heinrich Harrer adalah pendaki gunung dan ahli geografi berkebangsaan Austria yang lahir pada 6 Juli 1912. Namanya mulai dikenal ketika berhasil mencapai puncak Eiger di Pegunungan Alpen melalui jalur North Face yang memiliki medan yang sangat sulit, karena tebingnya nyaris vertikal dan selalu ditutupi oleh es yang licin dan dingin.

Keberhasilannya ini dia tuliskan dalam bukunya yang berjudul The White Spider yang terbit di tahun 1959. Ekspedisi selanjutnya adalah menaklukkan puncak Nanga Parbat di Pegunungan Himalaya yang disponsori oleh Nazi Jerman. Tidak seperti di dalam filmnya, dimana dia seperti tidak suka dikaitkan dengan Nazi, Heinrich merupakan anggota partai Nazi berpangkat sersan.

Setelah lama hidup di Tibet yang dituliskannya di dalam buku yang terbit di tahun 1952, Seven Years in Tibet, Heinrich kembali ke Austria. Kemudian Heinrich terlibat dalam beberapa ekspedisi lainnya. Di tahun 1953 dia mengarungi Sungai Amazon hingga ke sumbernya dan mencapai puncak Ausangate di Pegunungan Andes, Peru.

Di tahun 1954, dia berhasil mencapai puncak Gunung Deborah, Gunung Hunter, dan Gunung Drum, yang semuanya berada di Pegunungan Alaska. Di tahun 1957, bersama mantan raja Belgia, Leopold III, dia melakukan eksplorasi Sungai Kongo di Afrika. Di tahun 1962, dia menyambangi negara kita sebagai pimpinan ekspedisi mencapai Puncak Jaya di Pegunungan Jayawijaya, Papua.

Tahun 1966, dia bertemu dengan suku Indian Xingu di pedalaman Mato Grosso, Brazil. Tahun 1972, dia kembali ke negara kita dan mengeksplorasi hutan di Kalimantan. Selain semua ekspedisi itu, dia juga pernah melakukan perjalanan ke Nepal, Guyana Prancis, Greenland, Sudan, India, Ladakh, Kepulauan Andaman, Uganda, Kenya, dan Bhutan.

Di awal 1980an, Heinrich kembali ke Tibet hanya untuk membuat hatinya kecewa, karena semua yang pernah dia lihat dan alami dahulu semua sudah berubah menjadi lebih buruk karena pendudukan China.

Perjalanannya ini dia tuliskan di dalam buku Return to Tibet: Tibet After the Chinese Occupation. Hingga akhir hayatnya, Heinrich wafat pada 7 Januari 2006, dia masih bersahabat dengan Dalai Lama.

Lokasi Syuting Bukanlah di Tibet

Lokasi Syuting Bukanlah di Tibet

Sutradara Jean-Jacques Annaud mengambil lokasi syuting di Pegunungan Andes yang membentang melintasi tujuh negara di Benua Amerika Selatan sebagai ganti Pegunungan Himalaya. Tim produksi membuat Kota Lhasa di kaki gunung Andes, tepatnya di Provinsi Mendoza.

Mereka harus mengimpor Yaks dari Tibet, dimana masing-masing Yaks itu memiliki paspor, foto dan data gigi tersendiri. Untuk beberapa footage di Tibet, Annaud mengutus dua orang kru untuk mengambil gambar secara sembunyi-sembunyi dan hasil dari footage itu ditampilkan di dalam film, jika digabungkan semuanya, memakan durasi hingga 20 menit.

Efek Film yang Dibenci Pemerintah China

Efek Film yang Dibenci Pemerintah China

Secara politik, Seven Years in Tibet berada di sisi Tibet dan menjadikan China sebagai sosok antagonist. Efeknya, film ini dibenci dan dilarang tayang di China oleh pemerintah rezim komunis saat itu. Mereka menolak penggambaran militer China yang kasar, brutal, dan sadis. Selain itu mereka juga mencela penggambaran yang baik atas sosok Dalai Lama.

Tentu saja pencekalan film ini berakibat juga kepada orang-orang yang berada dalam produksi film ini, terutama Jean-Jacques Annaud, Brad Pitt dan David Thewlis. Annaud diperbolehkan masuk ke China di tahun 2012 sebagai juri Shanghai International Film Festival, dan Brad Pitt juga diperbolehkan berada di China untuk promosi film barunya di tahun 2014 dan 2016.

Dalam sebuah adegan, seorang jendral yang menjadi utusan pemerintah China untuk bertemu Dalai Lama menyebut “Agama adalah racun” setelah mendapat nasihat dan petuah Buddha dari pemimpin spiritual yang masih remaja itu. Kalimat itu tidak tercantum di dalam buku aslinya dan merupakan dramatisasi penulis naskah untuk kepentingan film.

Seperti yang kita ketahui, paham komunis tidak meyakini adanya Tuhan, atau sama dengan atheis. Mereka memisahkan agama dengan negara, atau biasa disebut sekularisme. Kalimat “Agama adalah racun” merupakan adaptasi dari kutipan Karl Marx dalam karya tulisnya yang dalam Bahasa aslinya, “Die religion…ist das opium des volkes (Agama…adalah opium bagi masyarakat)”.

Meski beberapa ahli filsafat menyebut kalimat ini sering disalahtafsirkan, tetapi para pemimpin komunis, baik di Eropa atau di Asia, memaknai kalimat ini sebagai anti-agama yang menjadi patokan mereka dalam mengembangkan paham dan turunannya dalam bernegara.

Dalam film diperlihatkan jika jenderal China itu sangat tidak menghargai peribadahan Buddha pada masyarakat Tibet dengan menginjak “mandala”.

Seven Years in Tibet, terlepas dari kurang akuratnya fakta sejarah yang dipaparkan dan terlalu banyak dramatisasi dari buku aslinya, merupakan sebuah film petualangan yang cukup menarik, terutama bagi kalian yang sedang mencari jati diri.

Performa akting Brad Pitt cukup baik dan terlihat menjiwai, tetapi itu tidak cukup membantu karakternya untuk kita memahami motivasi awal dia memulai ekspedisi.

Di ajang Golden Globe, Seven Years in Tibet hanya masuk sebagai nominator di kategori Best Original Score untuk John Williams, sang maestro. Jika dibandingkan dengan Kundun yang lebih fokus menceritakan kisah hidup Dalai Lama, film ini jelas kalah telak. Tetapi Seven Years in Tibet memiliki kelebihan tersendiri, yaitu panorama puncak “atap dunia” yang sangat indah.

Bagi kalian fans Brad Pitt dan penikmat film petualangan berbasis kisah nyata, maka Seven Years in Tibet adalah pilihan tepat dalam mengisi waktu luang. Muatan cerita yang tidak terlalu berat akan membuat pikiran kita sedikit santai dalam menyimaknya. Langsung klik saja film ini ke dalam watchlist, ya!

Oh iya, selain film barat, Indonesia juga punya beberapa film tentang pendakian gunung yang seru dan menantang. Untuk mengetahuinya, silakan kunjungi artikel Film Pendakian Gunung Indonesia ini, ya.

cross
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram