bacaterus web banner retina

Sinopsis dan Review Film Netflix High Flying Bird (2019)

Ditulis oleh Dhany Wahyudi
High Flying Bird
3.5
/5
PERHATIAN!
Artikel ini mengandung spoiler mengenai jalan cerita dari film/drama ini.

Dalam masa lockout di kompetisi bola basket profesional, seorang agen atlet membawa kliennya, seorang pebasket muda, ke dalam sebuah strategi bisnis yang kontroversial sekaligus menarik. Andre Holland membintangi film yang diarahkan oleh sutradara peraih Oscar, Steven Soderbergh, dengan naskah yang cerdas karya Tarell Alvin McCraney.

High Flying Bird adalah original film Netflix yang mengulik seluk-beluk agensi dan strategi bisnisnya di dunia olahraga, khususnya pada olahraga bola basket profesional atau yang lebih kita kenal dengan NBA (National Basketball Association). Penggunaan kamera dari iPhone 8 membuat kesan berbeda bagi kita saat menontonnya, terasa lebih realistis dan intim dengan para karakternya.

Pertama kali ditayangkan di Slamdance Film Festival pada 27 Januari 2019, film ini kemudian sudah bisa disaksikan secara streaming di layar Netflix sejak 8 Februari 2019. Bagi yang belum sempat menontonnya, baca dulu review kami tentang film yang di cap certified fresh oleh Rotten Tomatoes ini.

Sinopsis

High Flying Bird

Ray adalah seorang agen yang bekerja di perusahaan agensi olahraga yang sedang berada dalam kondisi terpuruk karena adanya lockout dari NBA. Kartu kreditnya dibekukan dan dia hanya memiliki sedikit uang tunai di dompetnya. Ray harus memutar otak untuk bisa selamat dari keadaan ini. Untuk memulai usahanya, Ray memajukan klien barunya, Erick Scott, dengan bantuan mantan asistennya, Sam.

Ray berbicara dengan ibu dari salah satu pebasket muda potensial lainnya, Jamero Umber. Tawaran Ray ditolak oleh ibu Jamero yang ingin tetap menjadi manajer bagi anaknya. Ray mendapat informasi lengkap dari Myra, mantan istri yang juga salah satu petinggi di perusahaan agensi, bahwa lockout ini bisa memakan waktu 6 bulan selama NBA belum mendapatkan kontrak dari TV yang sesuai.

Ray menghadiri sebuah acara tahunan di komunitas pebasket muda di daerahnya dengan menghadirkan Erick sebagai bintang NBA yang hadir tahun ini. Tidak disangka, Jamero pun hadir dan memanaskan suasana, terlebih lagi tweet mereka di media sosial sedang ramai diperbincangkan netizen. Pada akhirnya mereka tanding one-on-one yang direkam dan diviralkan di media sosial oleh salah satu penonton.

Ternyata video itu viral dan mendapat 24 juta penonton dalam waktu singkat. Ray memunculkan ide agar mereka melakukan pertandingan seperti ini lagi yang akan ditayangkan secara streaming oleh YouTube atau Netflix. Meski awalnya Erick tidak setuju, tetapi dia kemudian mengikuti apa kata Ray. Tetapi karena pernyataan Ray yang berubah, membuat Erick memecatnya.

Pihak NBA sendiri merespon dengan cepat berita yang sedang viral ini dengan berencana untuk membuka lockout secepatnya, karena mereka takut kehilangan uang yang lebih besar akibat pemain mereka bisa saja mendapat sponsor yang lebih besar tanpa ada bagian untuk mereka. Ternyata semua ini adalah rencana cerdik Ray yang hanya membutuhkan 72 jam untuk membuka lockout.

Manuver cerdasnya ini membuat dia promosi jabatan menggantikan bossnya yang hampir saja memecatnya. Semua ini karena klien mereka tidak ada satu pun yang lepas dari agensi selama lockout. Hal ini dianggap kesuksesan besar bagi agensi.

Langkah Bijaksana yang Mengasyikkan

Langkah Bijaksana yang Mengasyikkan

Masih ingat dengan film Ocean’s Eleven (2001)? Film karya Steven Soderbergh itu menggelar strategi pencurian yang cerdik dan nuansa seperti itu sedikit terlihat kembali di High Flying Bird ini. Kita diperlihatkan bagaimana strategi Ray dalam usahanya untuk menghasilkan uang di masa kompetisi yang sedang mengalami lockout. Para atlet tidak mendapat bayaran, apalagi dia sebagai agen atlet?

Sepanjang film kita melihat Ray seperti seolah kebingungan mengusahakan agar dirinya tidak dipecat dan selamat dalam masa sulit ini yang prediksi awalnya bisa sampai 6 bulan. Dia konsultasi dengan pelatih basket senior untuk melecut motivasinya, dia memberikan penawaran yang ditolak mentah-mentah,  dan mencoba membujuk mantan istrinya untuk bisa mencari celah supaya lockout cepat diangkat.

Ekspresi yang ditampilkan Andre Holland membuat kita juga merasa ketar-ketir seperti apa yang “seolah” dirasakannya. Padahal dia memiliki strategi rahasia yang jitu supaya lockout ini berakhir, tapi seolah-olah itu karena sistem yang berjalan, bukan karena usahanya. Ketika solusi sudah ditemukan dan lockout berakhir, barulah kita melihat wajah penuh percaya diri pada Ray.

Uniknya, kerahasiaan strategi ini terjaga dengan rapat dan baru terkuak menjelang film berakhir, layaknya sebuah film misteri saja. Ray yang bekerja dengan hati sangat memahami apa yang diinginkan oleh atlet juga para petinggi di organisasi yang menaungi kompetisi papan atas itu. Seorang atlet hanya ingin bermain basket di NBA dan pihak NBA tidak ingin kehilangan potensi keuntungan finansial yang besar.

Secara tidak langsung, para petinggi NBA disinyalir adalah orang-orang yang rakus akan uang. Mereka melakukan lockout karena masih belum mendapat harga yang sesuai untuk hak siar di TV, tetapi justru mereka dengan cepat mengangkat lockout karena takut para pebasket mendapat bayaran tinggi tanpa ada potongan buat mereka.

Sedangkan bagi para pebasket tidak ada yang lebih mereka inginkan selain turun dan bertanding di lapangan, berkeringat dan menghibur para fansnya. Hal ini dibuktikan lewat hasil wawancara dengan tiga pebasket NBA yang menceritakan pengalaman mereka ketika mengawali karir di NBA yang diselipkan secara cerdas beberapa kali yang mendukung mood film ini secara baik.

Eksperimen yang Sukses

Eksperimen yang Sukses

Steven Soderbergh merupakan salah satu sineas yang diperhitungkan di perfilman Hollywood, terutama karena keberaniannya bereksperimen dalam mengarahkan film. Memang dia juga sukses dalam film berskala besar seperti Ocean’s Eleven (2001) dan sequel-nya, tapi mayoritas filmography-nya berisi film-film yang cenderung tidak biasa.

Lihat saja bagaimana dia menampilkan salah satu proyek ambisiusnya, Che (2008), yang dibagi menjadi dua film dengan mood yang berbeda. Lalu ada The Girlfriend Experience (2009) yang menampilkan bintang film dewasa Sasha Grey dengan menggunakan kamera murah Red One. Dia pun berani mengangkat Gina Carano yang merupakan juara MMA wanita dalam film action Haywire (2011).

Terobosan barunya ialah menggunakan iPhone 7 Plus dalam membuat film Unsane (2018) yang kemudian eksperimen ini dilanjutkan dengan High Flying Bird ini. Di film ini, Soderbergh menggunakan iPhone 8 dengan lensa anamorphic dari Moondog Labs yang kemudian diolah dengan aplikasi video FiLMic Pro. Seperti yang sudah disinggung tadi, efek dari penggunaan kamera ini membuat film tampak realistis.

High Flying Bird memang bukanlah film bertema olahraga yang biasa kita tonton. Tidak ada pertandingan seru yang klise untuk memacu adrenalin kita dengan penuh motivasi sportivitas. Justru kita diperlihatkan kebobrokan sistem dan moral pada badan organisasi penyelenggara kompetisi basket terpopuler itu. Bagi yang tidak betah dengan drama berdialog cepat tapi memiliki tensi lambat, film ini akan membosankan.

Oleh karena itu, film ini tidak berada di posisi atas top streaming saat awal penayangannya dan sering dianggap sebagai hidden gems. Bahkan IMDb pun hanya memberikan rating 6,2 untuk film yang ide ceritanya berasal dari aktor utamanya, Andre Holland. Meski begitu, High Flying Bird sangat kami rekomendasikan untuk ditonton agar kita bisa menyimak strategi jitu “play the game on top of the game”.

cross
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram